NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: tamat
Genre:Misteri / Tamat / Mafia / Harem / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Chicklit / Agen Wanita
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 1

Langit Paris meleleh dalam semburat oranye keemasan. Di antara gedung-gedung tua yang menyimpan sejarah dan rahasia, cahaya senja menari di kaca-kaca jendela, memantulkan siluet kota yang tak pernah benar-benar tidur.

Amina De La Croix menghela napas pelan. Ia menyampirkan jas panjangnya yang berwarna hitam ke pundak, menyembunyikan kemeja putih yang rapi meski sedikit lecek. Hijabnya, warna navy tua, terikat rapi tanpa celah, menunjukkan ketegasan dalam setiap detail.

Ia mengunci pintu kantor detektif kecilnya—lantai dua dari sebuah bangunan tua yang letaknya tersembunyi di antara toko bunga dan bengkel sepeda. Di dalam, hanya ada satu meja kayu, dua kursi, rak buku penuh folder kusam, dan papan dinding penuh benang merah yang saling bersilangan seperti jaring laba-laba. Tempat itu mungkin tidak mewah, tapi bagi Amina, itu markas. Medan perang.

"Akhirnya, satu kasus selesai tanpa luka bakar atau ancaman pembunuhan. Kemajuan," gumamnya sambil menyelipkan tangan ke saku.

Baru tiga hari lalu, seorang pemilik butik menangis tersedu-sedu karena kalung berlian warisan ibunya raib. Amina tak butuh lebih dari dua malam begadang dan satu kunjungan ‘santai’ ke toko perhiasan bekas di distrik Montmartre untuk mengendus pelakunya: asisten pribadi yang baru dipekerjakan dua bulan lalu.

“Mereka selalu bilang ‘aku percaya padanya’. Tapi ya, manusia itu… unpredictable,” pikir Amina, sambil tersenyum kecut.

Ia menuruni tangga sempit yang mengelupas di beberapa sisi. Malam mulai merayap, menyelimuti jalanan berbatu yang masih menyimpan sisa hujan sore tadi. Udara lembab membawa aroma khas Paris setelah hujan—bau debu basah, daun-daun tua, dan sedikit bau roti dari boulangerie di ujung gang.

"Aku lapar," bisiknya. "Atau mungkin butuh tidur seminggu penuh."

Namun, ketenangan itu rapuh.

Beberapa kilometer dari tempatnya berdiri, di sebuah hotel bintang lima yang menjulang di distrik Champs-Élysées, seorang pelayan kamar memekik. Suaranya mengiris keheningan lorong lantai atas seperti pisau.

Di suite 1507, tubuh seorang pria tergeletak di atas ranjang. Kepalanya miring tidak wajar, matanya terbuka lebar menatap langit-langit seperti baru melihat sesuatu yang mustahil. Seprai putih ternoda darah yang masih segar—merah menyala seperti mawar yang baru dipetik. Tangannya tergenggam, seolah memeluk kematian sendiri.

"Mon Dieu..." gumam Inspektur Leclerc, yang baru masuk ruangan bersama tim forensik. Ia menatap luka di leher korban—luka bersih, presisi, dan sangat sunyi. Terlalu sunyi.

"Bukan perampokan. Tidak ada tanda kekerasan masuk. Tidak ada barang yang hilang. Tapi lihat ini," kata salah satu analis forensik, mengangkat potongan kecil kertas dari saku korban. Tulisannya: "Vous n'avez jamais eu le contrôle"—You never had control.

“Psycho?” tanya petugas muda di belakang Leclerc.

“Psycho dengan pendidikan tinggi,” jawab Leclerc datar. "Atau… ini pesan untuk seseorang. Bukan untuk korban."

Di luar jendela, sirene polisi menyalak. Wartawan sudah mulai berdatangan seperti burung pemakan bangkai mencium bau darah.

Kembali ke Amina.

Ia baru saja duduk di bangku taman kecil dekat Sungai Seine, sebuah kebiasaan diam-diam yang hanya ia izinkan sekali seminggu. Tak ada buku. Tak ada catatan kasus. Hanya udara malam, suara air, dan dirinya sendiri.

“Aneh, kenapa aku gelisah?” pikirnya.

Ia melihat tangannya bergetar sedikit. Tak biasa.

"Biasanya, gelisah berarti badai. Dan aku benci badai."

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari kontak bernama "Leclerc".

"Perlu bantuanmu. Ini beda. Lokasi terkirim."

Amina membaca dua kali. Kemudian berdiri.

Suite 1507 kini seperti museum kejahatan. Garis polisi kuning menghalangi akses, tapi Leclerc melambai ketika melihat sosok berhijab yang tenang namun membawa aura badai mendekat.

“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ujar Leclerc.

“Aku sedang tidak punya hidup sosial,” jawab Amina ringan.

Mereka berjabat tangan. Tatapan mata keduanya seperti dua jenderal lama yang saling mengukur kekuatan musuh di medan yang belum dikenal.

"Pria itu bukan orang biasa," kata Leclerc sambil menunjuk korban. “Julien Moreau. Konsultan keuangan. Tapi aku yakin dia terlibat hal lain. Terlalu bersih untuk orang biasa.”

Amina melangkah mendekat. Matanya menyapu ruangan cepat, seperti pemindai.

“Luka di lehernya... itu tidak biasa. Tidak seperti tusukan biasa. Lebih seperti—”

“—sayatan,” sambung Leclerc. “Tepat di titik arteri. Butuh presisi.”

Amina mengangguk. "Ini bukan pembunuhan acak. Ini pesan. Tapi untuk siapa?"

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah fokus mereka. Bukan dari Amina atau Leclerc, tapi dari meja kecil di dekat ranjang. Sebuah ponsel burner, masih menyala.

Amina meraihnya. Layar menampilkan satu notifikasi.

Pesan baru: “Selamat datang di permainan, Detektif.”

Ia menatap Leclerc. “Kau memberitahuku, atau mereka tahu lebih dulu aku datang?”

Wajah Leclerc mengeras. “Aku baru menghubungimu sepuluh menit lalu.”

“Lucu. Jadi aku sedang ditonton?”

Amina menyandarkan punggung ke dinding, wajahnya kembali tenang.

“Kau tahu apa artinya ini, kan?” tanya Leclerc.

“Ya,” jawab Amina, lirih.

Senyumnya muncul—kecil, tajam. Bukan karena senang, tapi karena otaknya mulai bekerja.

“Ada seseorang yang mengatur semuanya. Dan dia tahu aku akan mengejarnya.”

Kepergian matahari meninggalkan jejak kemerahan di langit Paris. Sinar terakhir yang menghitam perlahan berlarian di antara gedung-gedung tua kota ini. Amina De La Croix menatap layar ponselnya, terkejut melihat seberapa cepat berita tentang pembunuhan di hotel mewah itu menyebar. Dari stasiun metro hingga kafe pinggir jalan, semua orang berbicara tentangnya. Pembunuhan yang seolah menjadi batu loncatan bagi rumor-rumor yang kian liar.

Di sudut kafe kecil tempat Amina duduk sambil menyeruput secangkir kopi pahit, sepasang pria dan wanita di meja sebelah mendiskusikan rincian yang mereka dapatkan dari televisi.

"Katanya si korban adalah konsultan keuangan. Begitu kaya, tapi mati dengan cara seperti itu... ngeri," ujar si pria, matanya terbuka lebar, seolah ingin percaya tapi takut.

Amina menatap mereka sekilas, tidak tertarik. Sudah sering ia mendengar gosip seperti itu. Tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa kali ini beda.

Sambil menurunkan gelasnya dengan pelan, Amina merasakan ketegangan yang menyelusup ke seluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang menjalar di udara. Sebuah perasaan yang tak bisa ia definisikan. Hanya saja, ia tahu, ini bukan pembunuhan biasa. Ada yang lebih besar yang sedang bergerak di balik layar. Hanya tinggal menunggu waktu.

"Percayalah, Amina," pikirnya, menekan kepala ke tangan. "Ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa."

Belum lagi ia bisa menenangkan dirinya, sebuah suara pelan membuatnya terjaga. Pintu kantornya terbuka. Di sana, seorang pengantar berdiri memegang surat bersegellkan hitam.

"Untuk Anda, Nona De La Croix," kata pengantar, sambil mengulurkan surat dengan ekspresi datar. Tidak ada rasa takut, tidak ada keraguan. Hanya tugas yang harus diselesaikan.

Amina menerima surat itu, membuka segelnya dengan teliti. Dalam beberapa detik, ia membaca isinya, mata melesat ke setiap kata.

"Selesaikan ini, atau lebih banyak darah yang akan tertumpah."

Dia mengatupkan bibirnya, berpikir sejenak. Kenapa perasaan ini datang lagi? Seperti sebuah permainan yang baru dimulai. Surat tanpa pengirim, segel hitam dengan simbol yang tak dikenalnya. Setiap inci tubuhnya mendeteksi bahaya, namun juga tantangan. Sekali lagi, ia harus menghadapi dunia yang penuh teka-teki ini, dan kali ini, jauh lebih rumit.

"Aku harus tahu lebih banyak," gumamnya pada diri sendiri. "Ini lebih dari sekadar kasus pembunuhan."

Amina bangkit dari kursinya, matanya yang tajam menilai dunia luar. Paris tetap hidup dengan suara kendaraan dan keramaian, namun hatinya berdegup cepat, mengikuti alur takdir yang tak bisa ia hindari.

Hotel mewah itu terasa lebih sepi di bawah langit yang kelabu. Tidak ada gemerlap, tidak ada kebisingan—hanya keheningan yang menekan. Begitu Amina melangkah masuk ke ruang hotel, aroma desinfektan menyambutnya, mengingatkan bahwa kematian baru saja menghiasi ruang ini. Polisi masih berjaga di beberapa sudut, wajah-wajah serius, dan suara desis peralatan forensik yang menggeletar, memberi kesan seolah dunia mereka hancur dan berat.

"Amina De La Croix," kata Amina dengan tegas saat ia mendekati petugas yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. "Saya mendapat izin untuk masuk."

Petugas itu memandangnya sekilas, agak ragu. Namun, setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Hati-hati, Nona De La Croix. Ini bukan kasus biasa."

Amina masuk. Kamar suite 1507 terasa kosong meski penuh dengan orang-orang yang sibuk bekerja. Di sudut ruangan, lembaran darah kering masih tampak di bawah cahaya temaram. Tubuh korban, seorang pria dengan penampilan berkelas, tergeletak kaku di atas ranjang, matanya terbuka lebar, seolah terkejut dengan kematiannya sendiri.

Amina mengamati, langkahnya tenang, meski otaknya sudah bekerja keras. Setiap gerakan tubuhnya penuh kehati-hatian, setiap langkah penuh perhitungan. Ia mengamati luka-luka di tubuh korban—luka yang begitu presisi, bukan luka yang dilakukan secara terburu-buru.

"Sesuatu tidak beres," bisiknya pada diri sendiri. "Ini bukan pembunuhan biasa."

Matanya melintas ke seluruh ruangan, menilai setiap detail. Di dinding sebelah kiri, sebuah simbol samar terlukis di balik tirai yang terjatuh. Amina mendekat. Ada sesuatu yang aneh dengan simbol itu—seperti lukisan lama yang sengaja disembunyikan.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan, dan menyentuh simbol itu. Ada rasa dingin yang menyelip di antara jari-jarinya. Sesuatu yang menakutkan namun menantang.

"Pesan atau sekadar kebetulan?" pikir Amina. Tetapi ia tahu, ini bukan kebetulan. Ini pesan, dan pesan ini ditujukan padanya.

Ia mengamati lebih dekat, menemukan sebuah pola yang sangat samar di balik simbol itu—seperti garis yang menghubungkan titik-titik tertentu. Garis-garis itu membentuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum dapat ia pahami sepenuhnya.

Tiba-tiba, ada suara di luar ruangan—langkah kaki yang berat dan teratur. Amina mundur cepat, menyembunyikan dirinya di balik tirai yang terjatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

"Siapa itu?" pikirnya, matanya memusat pada setiap gerakan yang ada di luar. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, kecuali detak jantungnya yang kian cepat.

Ketika suara langkah itu berhenti, Amina bisa merasakan kehadiran seseorang. Ia mendengar napas pelan, seolah orang itu sedang memperhatikannya. Tanpa bergerak, Amina menunggu. Tak ada ketegangan yang tampak di wajahnya, hanya fokus dan kewaspadaan.

Tunggu beberapa detik lagi, dan setelah itu… dia bisa keluar. Ia tahu ada lebih banyak yang harus ditemukan, lebih banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Tetapi, untuk saat ini, semuanya terasa seperti bayangan yang mengintai di balik cahaya.

Malam itu, saat Amina duduk di meja kerjanya, ponselnya berdering. Suara pria yang berat dan seram terdengar dari ujung telepon.

"Saya tahu apa yang Anda temukan," kata suara itu. "Tetapi berhati-hatilah. Mereka lebih kuat dari yang Anda bayangkan."

Amina tersenyum tipis. "Jangan khawatir," jawabnya dengan nada rendah. "Saya selalu suka tantangan."

Dengan itu, ia menutup telepon dan menatap simbol yang masih terbayang di matanya. Keberanian dan keinginannya untuk memecahkan misteri ini semakin menguat. Satu hal pasti: ia tidak akan mundur. Paris baru saja memperkenalkan bagian gelapnya—dan Amina baru saja menemukan jalannya ke dalamnya.

Amina siap mengungkap lebih banyak rahasia—meskipun jalan yang ia tempuh semakin gelap.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!