Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Kecelakaan
Eva keluar dari kantornya dengan langkah pelan. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan udara malam yang lembap. Gedung-gedung tinggi di sekelilingnya mulai menyalakan lampu-lampu kantor, menciptakan siluet keemasan yang memantul di genangan air di jalanan.
Ia berjalan sendirian ke arah parkiran. Suasana di sekitarnya cukup sepi, hanya ada beberapa suara klakson dari kejauhan dan langkah kakinya sendiri yang terdengar.
Sebelumnya, ia baru saja menghabiskan waktu makan malam bersama Julia, sahabatnya sejak SMA. Mereka sempat tertawa, berbagi cerita, dan sesekali menyinggung soal Julian. Namun, momen kebersamaan itu berakhir lebih cepat ketika Julia tiba-tiba mendapat telepon dari kakaknya, Arsen. Sang kakak mengatakan bahwa Tante mereka baru saja tiba dari Amerika dan sudah menunggu di bandara. Tanpa banyak pilihan, Julia pun bergegas pergi, meninggalkan Eva sendirian di restoran itu.
Kini, Eva menghela napas pelan sembari membuka pintu mobilnya. Rasa lelah begitu terasa menggerogoti tubuhnya. Ia menguap panjang, menutupi mulut dengan tangan, lalu duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin.
"Harus pulang sekarang, Eva... jangan sampai ketiduran di mobil," gumamnya lirih. Ia menepuk-nepuk pipinya ringan, mencoba mengusir kantuk yang mulai menyerang. Matanya sayu, namun ia bertekad untuk sampai rumah dengan selamat.
Mobil perlahan keluar dari area parkiran kantor. Di radio, musik lembut mulai terdengar. Lampu-lampu jalan menemani perjalanan malam itu. Eva mengatur napasnya, mencoba tetap fokus. Namun, di balik ketenangan itu, ia tidak tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan mobilnya.
Beberapa jam sebelumnya, seseorang telah menyelinap ke area parkiran kantor. Dengan cekatan, orang itu membuka kap mesin mobil Eva dan mengutak-atik sistem pengereman. Kabel rem utama dilonggarkan—cukup untuk membuatnya gagal berfungsi saat dibutuhkan, namun tidak mencurigakan ketika mobil baru dinyalakan.
Dan kini, Eva yang tak mengetahui apapun melaju melewati jalan menurun. Rasa kantuk masih membayangi, namun ia berusaha tetap fokus. Saat melewati tikungan tajam, ia merasa kecepatan mobilnya mulai meningkat tanpa alasan.
"Aneh…," gumamnya, lalu menginjak rem.
Tidak terjadi apa-apa.
Matanya langsung melebar. Ia menginjak rem lebih keras—tetap tidak ada respon. Mobil justru melaju semakin cepat. Jalanan yang mulai menurun membuat kecepatannya bertambah drastis.
"Astaga! Rem-nya kenapa?!"
Jantungnya berdegup kencang. Kedua tangannya mencengkeram setir, mencoba mengendalikan laju mobil yang mulai tak terkendali. Ia menoleh kiri dan kanan, mencari jalan keluar—namun semuanya terasa sempit, dan lalu lintas mulai ramai.
"Jangan panik… jangan panik, Eva…" bisiknya, tapi napasnya sudah memburu.
Di depannya, lampu merah. Beberapa kendaraan lain sedang melintas. Ia mencoba membanting setir ke arah kiri, berharap bisa masuk ke jalan yang lebih sepi, namun roda mobil menabrak trotoar dan membuatnya kehilangan keseimbangan.
Terdengar suara logam bergesek keras, lalu dentuman hebat.
Mobil Eva terguling dua kali sebelum akhirnya terhenti di rerumputan pinggir jalan, hanya beberapa meter dari tiang listrik besar.
Suasana langsung ricuh. Orang-orang berlarian mendekat. Beberapa mengeluarkan ponsel untuk menghubungi ambulans.
Dari dalam mobil yang ringsek, Eva terdiam. Darah mengalir dari pelipisnya. Kesadarannya mulai memudar, namun di sela pandangan yang kabur, ia sempat melihat seseorang berdiri tak jauh dari kerumunan. Seseorang dengan hoodie gelap yang hanya memandang… lalu menghilang ke dalam bayangan malam.
***
-
Sirene ambulans memecah malam. Lampu merah-biru berputar cepat di jalan, menggambarkan urgensi situasi. Beberapa paramedis segera berlarian mendekati mobil itu, membawa tandu dan peralatan pertolongan pertama.
“Perempuan, sekitar tiga puluh tahun, masih bernapas tapi lemah,” ucap salah satu paramedis setelah memeriksa denyut nadi Eva. “Kita harus cepat!”
Dengan penuh hati-hati, mereka mengevakuasi Eva dari dalam mobil. Luka di pelipisnya cukup dalam. Namun untungnya, ia masih hidup. Tubuhnya dibaringkan di atas tandu dan langsung dibawa ke ambulans.
Tak jauh dari lokasi, sosok pria berhoodie hitam itu masih berdiri di balik semak-semak. Ia mengangkat ponsel dan menelepon seseorang.
“Sudah selesai,” katanya datar. “Mobilnya terguling, tapi dia masih hidup… untuk sekarang.”
Suara di ujung telepon terdengar tenang. “Baik. Jangan lakukan apa-apa dulu. Kita lihat saja apakah kecelakaan itu cukup memberi peringatan. Kalau tidak, kita akan buat langkah berikutnya.”
Laki-laki itu mengangguk pelan, meski tidak terlihat oleh lawan bicaranya. “Mengerti.”
Setelah mematikan ponsel, dia berjalan pelan, menghilang ke lorong gelap di antara bangunan tua.
***
Beberapa jam kemudian, di rumah sakit...
Julia datang terburu-buru setelah mendapat kabar dari polisi yang menghubunginya sebagai kontak darurat Eva. Matanya sembab, napasnya masih memburu. Begitu sampai di ruang UGD, ia melihat tubuh sahabatnya terbujur di ranjang, dengan selang infus di tangan dan perban di kepala.
“Eva…” bisiknya, menggenggam tangan sahabatnya yang dingin.
Seorang perawat menghampirinya. “Pasien mengalami trauma kepala sedang, kemungkinan gegar otak ringan. Tapi dia sadar beberapa menit sebelum kami membawanya ke ruang observasi. Untuk saat ini, dia butuh banyak istirahat.”
Julia mengangguk lemah, tapi pikirannya tidak tenang. Ini bukan kecelakaan biasa. Ia mengenal Eva—sahabatnya itu sangat berhati-hati saat menyetir. Terlebih, insiden itu terjadi hanya beberapa jam setelah Julia meninggalkannya sendirian di parkiran.
Kecurigaan mulai tumbuh di benaknya.
Lalu ponselnya berdering. Nama Arsen muncul di layar. Ia mengangkat cepat.
"Bagaimana keadaan sahabatmu?" tanyanya
"Saat ini, Eva masih terbaring lemah, dia mengalami geger otak ringan, kak." jawab Julia dengan nada sedih
"Baiklah. Kakak akan ke sana sekarang."
Sambungan telepon pun dimatikan, Julia menatap tubuh Eva yang terbaring lemah tiada berdaya.
***
Sementara itu, Arsen yang sedang duduk bersama sahabatnya di sebuah bar tampak gelisah. Ia menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut, lalu mendesah pelan. Ia meletakkan gelas minumannya ke meja dan berdiri dengan tergesa.
"Lo mau ke mana?" tanya laki-laki yang duduk di seberangnya. Sosok itu adalah Richard, seorang pengacara cerdas yang tengah menangani kasus perceraian seorang klien bernama Eva — kebetulan juga dikenal oleh Arsen.
Arsen menoleh dengan raut wajah serius. "Gue mau ke rumah sakit. Teman adik gue kecelakaan… Perempuan yang kasusnya elo tangani itu, Eva."
Richard sontak terbelalak. "Serius? Eva? Astaga… Gue ikut!" serunya cepat, bangkit dari duduknya tanpa pikir panjang.
Arsen hanya mengangguk singkat, dan keduanya segera meninggalkan bar yang mulai ramai oleh musik dan suara pengunjung malam itu. Mereka berjalan cepat melewati kerumunan, menuju mobil Arsen yang terparkir tak jauh dari pintu masuk.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa tegang. Richard tampak gelisah, beberapa kali melirik jam tangannya.
"Lo tahu detail kecelakaannya gimana?" tanya Richard akhirnya, memecah keheningan.
Arsen menggeleng. "Nggak jelas. Yang ngabarin gue adik gue, Julia. Katanya Eva dibawa ke IGD, kondisinya lumayan parah. Gue cuma berharap dia masih sadar."
Richard menghela napas panjang. "Perempuan itu udah cukup banyak ngalamin hal berat... Gue nggak nyangka sampai kayak gini."
Tak lama, lampu-lampu gedung rumah sakit mulai tampak di kejauhan. Arsen mempercepat laju mobilnya, sementara Richard mulai mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menatap penuh waspada ke arah pintu masuk rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Arsen memarkir mobil dengan cepat, dan keduanya segera turun, berjalan cepat menuju ruang IGD tanpa sempat berkata apa pun.
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka