Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Kandang Kuda
Shuang Mei's POV
Sebenarnya, beberapa jam sebelum pengumpulan pagi itu, ketika matahari belum naik dan suara ayam baru satu-dua kali terdengar di kejauhan, Shuang Mei sudah berjalan ke dapur belakang.
Pengawas dayang, seorang wanita paruh baya dengan wajah kaku, sedang duduk menghadap cangkir tehnya.
Shuang Mei datang dengan langkah pelan, membawa baki kecil berisi teh hangat dan sepiring kudapan. Ia membungkuk sedikit, sopan tapi tak berlebihan.
“Selamat pagi, Nyonya Pengawas. Tehnya masih hangat. Hari ini kelihatannya akan panjang, ya?”
Pengawas mengangguk kecil, menerima cangkir tanpa bicara.
“Dengar-dengar, akan ada pembagian tugas lagi,” lanjut Shuang Mei ringan, seolah mengobrol biasa. “Pasti berat mengurus semua dayang baru. Banyak yang belum paham tempatnya.”
“Makanya mereka ditempa dulu,” sahut pengawas pendek.
“Oh, tentu. Saya setuju sekali. Kalau tidak dibiasakan dari awal, nanti jadi sulit dibentuk.”
Shuang Mei berhenti sejenak, lalu menatap ke arah luar jendela. Angin pagi menyapu tirai tipis di ujung dapur.
“Omong-omong, saya perhatikan satu dayang baru—Yu Zhen, namanya. Duduk di pojok kemarin. Wajahnya tenang, tapi… tidak terlihat akrab dengan yang lain.”
“Tidak semua harus akrab,” sahut pengawas. “Selama bekerja baik.”
“Benar,” ucap Shuang Mei cepat. “Saya pun tak masalah. Hanya saja, kadang yang terlalu pendiam justru menyimpan rasa tinggi hati. Apalagi katanya dia bisa baca-tulis.”
Kata-katanya diucapkan lembut. Tidak langsung menuduh, tapi cukup untuk menanamkan kesan.
“Kalau saya boleh usul,” lanjutnya, sambil menata letak piring di baki. “Mungkin tugas yang agak berat di luar akan lebih baik untuk dayang baru seperti itu. Supaya lebih menyatu dengan irama istana. Tidak cepat merasa nyaman.”
Pengawas menyesap tehnya. Tidak menjawab.
Tapi Shuang Mei tahu… tak perlu ada balasan. Ia telah menempatkan kata-katanya dengan tepat.
Dan pagi itu, ketika nama Yu Zhen disebut untuk membersihkan jalur luar kandang kuda—sendirian, dari gerbang timur hingga pagar belakang—Shuang Mei tak perlu bertanya hasilnya.
Ia hanya menoleh sesaat ke arah gadis itu, lalu tersenyum kecil.
---
Pengawas Ning's POV
Setelah Shuang Mei membungkuk sopan dan melangkah pergi dari dapur kecil itu, Pengawas Ning tetap duduk di tempatnya. Uap dari cangkir tehnya mengepul pelan, mengambang di udara dingin.
Tadi malam, seorang utusan dari bagian dalam datang diam-diam.
“Ada mata-mata yang menyatakan, ada rencana sabotase kecil di jalur kuda barat yang akan dilakukan pagi ini. Sepele, tapi disengaja. Belum bisa diumumkan, tapi pihak Kediaman Pangeran Keempat sedang menyelidiki. Butuh satu mata di tempat itu. Harus dayang. Harus yang baru. Jangan terlalu pintar, tapi juga jangan bodoh.”
Mereka tidak meminta bantuan. Mereka memberi instruksi.
Pengawas Ning menghela napas.
Kandang kuda bukan tempat yang nyaman, apalagi untuk hari pertama.
Tapi lalu datanglah dayang baru yang satu itu.
Yu Zhen. Wajah tenang. Bicara seperlunya. Tak menjilat siapa pun. Bisa baca-tulis. Diam, tapi tajam.
Bukan orang yang menyenangkan… tapi mungkin itulah yang dibutuhkan.
Dan lucunya, Shuang Mei, kandidat baru senior yang dekat dengan pengawas sendiri yang menyeret nama itu pagi ini. Pengawas pun sebenarnya hanya mau terlihat dekat karena Kepala Dapur adalah bibinya Shuang Mei.
“Kadang yang terlalu diam justru merasa tinggi hati,” kata Shuang Mei tadi, dengan senyum manis dan nada ringan.
Pengawas Ning tidak tertawa. Tapi dalam hati, ia mencatat:
“Kadang yang terlalu banyak bicara… menyembunyikan rasa takut.”
Ia pun membuka catatan tugasnya, menyilangkan satu nama, dan menulis nama lain di bawahnya:
Yu Zhen – jalur luar kandang kuda.
Status: diperhatikan.
Ia menyesap teh yang sudah mulai dingin, lalu berdiri.
Hari ini, satu bidak sudah diletakkan di papan.
Dan permainan baru saja dimulai.
---
Pagi itu, embun belum benar-benar mengering dari dedaunan saat Yu Zhen tiba di jalur luar kandang kuda. Angin membawa aroma jerami, tanah lembap, dan samar bau kuda yang khas. Matahari menggeliat malas di balik kabut pucat, dan langit tampak seperti kain sutra abu-abu yang belum disetrika.
Yu Zhen mengeratkan sabuk kainnya dan melangkah ke gudang samping kandang. Di sanalah tempat tugasnya dimulai. Ia menyapu jalur tanah berbatu yang memanjang dari gerbang timur hingga pagar belakang. Tempat itu sepi. Hanya sesekali terdengar derap kaki kuda atau suara ringkikan dari dalam.
Meski tubuhnya mungil dan belum terbiasa bekerja fisik berat, Yu Zhen tidak mengeluh. Ia tak suka disayangkan. Ia lebih suka dianggap mampu.
Saat ia mengangkat timba air untuk menyiram jalanan, seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu samping. Pakaiannya lusuh tapi rapi, dan di pinggangnya tergantung sikat besar serta sabuk kunci besi.
"Kau dayang baru itu?" tanyanya, tanpa basa-basi.
Yu Zhen mengangguk sopan. "Yu Zhen. Hari ini saya ditugaskan membersihkan jalur luar."
Pria itu menyipitkan mata, mengamati wajahnya. "Kecil. Tapi tenang."
Ia menunjuk ke arah tumpukan jerami. "Mulai dari sana. Kalau ada yang aneh, jangan sentuh. Bilang ke saya."
Yu Zhen mengangguk lagi. "Baik, Bapak..."
"Panggil saja Paman Li. Aku yang jaga kandang ini."
Paman Li tidak banyak bicara. Setelah memberikan petunjuk, ia kembali masuk ke dalam. Yu Zhen memulai tugasnya.
Ia menyapu perlahan, menarik nafas dalam-dalam. Ada ketenangan aneh di tempat ini—berbeda dari hiruk-pikuk barak para dayang. Namun ketenangan itu bukan berarti nyaman. Justru sebaliknya. Ada sesuatu yang… menggantung di udara.
Saat ia menyusun jerami di dekat pagar belakang, langkah kaki asing terdengar. Cepat, hati-hati, dan berat. Yu Zhen refleks menoleh, tapi yang terlihat hanya punggung seseorang yang melintas cepat di antara lorong sempit gudang samping. Orang itu mengenakan penutup kepala, membawa ember besar di tangannya.
Yu Zhen mengernyit. Siapa itu? Kenapa tak menyapa?
Ia tidak mengejar. Hanya mendekat pelan dan memperhatikan dari sudut tumpukan karung. Ember itu diletakkan di dekat salah satu kandang.
Dan beberapa detik kemudian, orang itu menghilang.
Yu Zhen berdiri diam. Ada bau aneh dari ember itu. Tidak seperti pakan biasa.
Tapi ia kembali ke pekerjaannya. Dalam hati, ia hanya menandai kejadian itu. Belum paham. Tapi... dicatat.
Ia tidak tahu bahwa dari atap sayap barat, sepasang mata memperhatikan.
Pangeran Keempat berdiri tenang di balik bayang tiang, jubah luarnya berwarna gelap, wajahnya tersembunyi sebagian di balik tirai bambu. Di sampingnya, seorang ajudan berbisik.
"Dayang itu melihat."
Pangeran Keempat tidak menjawab. Matanya mengikuti gerakan Yu Zhen yang kembali ke timba air.
"Siapkan orang. Jaga dari kejauhan. Kalau ada yang menyentuhnya, pastikan mereka tidak lolos."
"Dan pakan itu, Yang Mulia?"