Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH
“Sini kamu.” Syan menarik kuat pergelangan tangan seorang gadis yang berlinang air mata dengan mulut yang terus saja memohon balas kasihan darinya.
“A-mpun a-yah,” lirihnya begitu pelan. Kaki kecilnya mengikuti langkah besar Syan.
“Tidak ada ampun untuk anak tidak tahu diri seperti kamu!” Wajah Syan sangat merah menandakan dia sedang dikuasi amarah.
Syan memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar mandi, mendorong tubuh kecil itu dengan keras ke lantai kamar mandi tersebut. Mengisi bathtub hingga airnya penuh, lalu menarik tubuh gadis itu dengan cepat dan kasar.
“A-yah.”
“Mati saja kamu anak sialan!”
Syan menekan kuat kepala gadis tersebut hingga sepenuhnya tenggelam ke dalam air itu, seolah buta, pria tua itu semakin menekan kepala tersebut tanpa menghiraukan pemberontakan dari gadis yang sedang dia siksa.
Syan kembali mengangkat kepala tersebut, lalu menarik kuat rambut gadis itu sehingga wajahnya sedikit mendongak. “Saya bisa membunuh mu sekarang jika saya ingin, tetapi karena saya masih belum puas menyiksa mu. Melihat mu memohon ampun seperti itu membuat saya merasa senang anak pembawa sial.”
Gadis itu masih berusaha mengatur nafasnya, menghirup udara dengan rakus. Air matanya tidak terbendung lagi akibat siksaan yang ia dapatkan, menatap punggung lebar itu yang semakin hilang dalam pandangannya yang perlahan menghitam.
Gadis itu pingsan dengan wajah yang tidak bisa di katakan baik-baik saja, dinginnya lantai tersebut semakin menambah rasa sakit pada tubuhnya.
&&&
Di salah satu perumahan elit di Ibu Kota Jakarta terdapat satu rumah bak istana yang megah, salah satu rumah yang mungkin menjadi impian beberapa orang.
Di meja makan, tengah berlangsung sarapan pagi seperti biasanya. Tiga anggota keluarga menikmati sarapan mereka tanpa ada yang mengeluarkan suara, sang kepala keluarga baru saja kembali dengan wajah dinginnya.
“Ayah berangkat sekarang, ada meeting.” Syan mengambil ponselnya di atas meja makan tanpa menatap istri dan kedua anaknya.
“Mas tidak sarapan dulu?” Tanya sang istri. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri suaminya.
Syan menatap istrinya. “Tidak, kalian saja,” jawabnya
dengan wajah tanpa ekspresi. “Kaliyah, berangkat sekolahnya sama abang,” lanjutnya.
“I-ya ayah,” balas seorang gadis dengan seragam putih abu-abunya menatap bingung kepergian ayahnya.
“Bunda, abang berangkat sekarang.” Seorang anak laki-laki yang juga menggunakan seragam sekolah putih abu-abunya menghampiri wanita yang dipanggil bunda itu.
“Ah iya, hati-hati bawah motornya jangan ngebut-ngebut. Ingat, kamu bonceng adek kamu,” katanya mengingatkan putranya itu.
“Siap bund,” balasnya. Melihat adik perempuannya, lalu mengatakan. “Lo lama, gue tinggal.” Setelah itu berlalu dari sana.
“LOH, ABANG TUNGGUIN.”
“SAYANG, TAS SEKOLAH KAMU KETINGGALAN.”
“IYA BUNDA, AKU BERANGKAT BUNDA!”
Wanita itu hanya terkekeh pelan melihat kelakuan anak-anaknya, setelah melihat pintu gerbang itu tertutup kembali. Istri dari pengusaha dan pembisnis sukses itu pun kembali masuk kedalam rumah yang megah itu, langkahnya membawanya ke salah satu kamar tamu dengan wajah menahan amarahnya.
“Ckkk, menyusahkan.”
Kakinya menendang kasar kaki seorang gadis yang masih terbaring dengan wajah pucatnya, tanpa ada rasa kasihan wanita tua it uterus membangunkannya dengan kakinya tanpa berniat membangunkan dengan benar.
“Bangun anak malas, bisanya cuman nyusahin orang!”
Eeghhh
Gadis tersebut perlahan membuka matanya dengan pelan, sedetik kemudian dia tersadar siapa yang berdiri tepat di depannya dengan mata tajam mengarah kepadanya. Walau rasanya sulit untuk bangun, dia tetap menahan rasa sakit pada tubuhnya termasuk pada kepalanya yang terasa amat berat.
“B-bun…,”
“Jangan panggil saya seperti itu, saya tidak sudi mendengar dari mulut kotor mu itu menyebut saya sebagai bunda.”
“Ma-af nyonya,” lirihnya menunduk dalam. Merutuki kebodohannya yang selalu lupa untuk tidak menyebut wanita itu bunda melainkan nyonya.
“Ckkk, bersihkan rumah, saya akan kebutik hari ini. Sebelum saya kembali, rumah ini harus sudah bersih dan makan malam untuk suami dan anak saya sudah harus siap sebelum saya tiba.”
“Baik nyonya.”
Wanita itu memandang gadis yang tertunduk di depannya dengan tatapan jijik, segera berlalu dari sana meninggalkan gadis tersebut yang kembali membuat tubuhnya duduk di lantai yang dingin itu.
&&&
Namanya Ayra, gadis itu terlihat fokus pada pekerjaannya tanpa peduli rasa pusing yang sedari tadi ketika dirinya terbangun dari pingsan setelah ayahnya memberinya hukuman.
Ayra tengah mengepel ruang tamu, tetapi pergerakannya terhenti saat tubuhnya tepat berada di depan sebuah bingkai foto dengan ukuran besar. Senyum tipis terukir dibibir tipisnya, melihat semua orang pada gambar tersebut tersenyum penuh kebahagiaan membuatnya ikut bahagia walau dirinya tidak ada dalam gambar tersebut.
“Kalau aja kakek masih ada, kira-kira aku bakal di ajak juga ngak ya foto bersama?” Gumamnya pelan.
Beberapa menit berlalu, pekerjaannya telah selesai. Tetapi, karena semua waktunya habis untuk membereskan rumah seorang diri membuatnya harus terburu-buru menyiapkan makan malam untuk keluarganya.
Tangannya begitu sibuk menyiapkan hidangan makan malam untuk keluarganya, menatanya di atas meja makan yang mewah itu dengan rapi tanpa terjadi kesalahan sedikit pun.
“Selesai juga,” ucapnya dengan senyum lega. Menatap puas pada hasil masakannya, walau dia sendiri tidak tahu seperti apa masakannya itu.
“Lo ngapain masih di situ? Nge harap lo di ajak makan? Jangan harap bocah sialan, lo hanya pembantu di rumah ini.”
Deretan kalimat itu mengalihkan tatapan Ayra, senyumnya kembali luruh dengan pandangan tajam Maverick di susul oleh Kaliyah yang berjalan angkuh menuju meja makan.
“Ngak k-kak,” lirihnya menunduk takut.
“Terus lo ngapain masih di sini? Sana,” hardik Kaliyah menatap penuh jijik kepada Ayra.
Ayra mengangguk patuh, dengan segera berlalu dari sana. Dirinya tidak mau memancing masalah lagi dan berakhir dirinya juga yang harus menjadi amukan dari ayahnya ataupun bundanya.
&&&
Ayra memandang keluarganya tengah menyantap masakannya dengan lahap membuatnya ikut tersenyum, merasa puas karena keluarganya tidak pernah menolak apapun yang dia hidangkan di atas meja makan walau dirinya selalu mendapat perlakuan tidak adil di rumah ini.
“Kapan juga ya bisa ikut makan dengan kalian?” Gumamnya pelan.
Ayra melihat luka pada kedua lengannya, menyentuh beberapa luka yang masih terlihat baru itu dengan pelan. “Cuman karena kelahiran ku tidak diinginkan, aku harus mendapatkan luka ini.”
“Ayah, bahkan ayah tidak pernah menatap ku seperti itu.” Ayra melihat ke depan.
Terlihat Syan memandang kedua kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, cinta dan perhatian. Dadanya kembali bergemuruh, mengingat Syan selalu saja memandangnya dengan tatapan tajam dan penuh amarah.
“Aku iri,” ucapnya dengan senyum getir.
Ayra menggeleng pelan, dirinya berlalu dari sana karena membuat hatinya tidak baik. Lebih baik dia ke kamarnya saja yang berada di belakang dapur. Bukannya dia seorang anak di rumah ini? Lalu kenapa kamarnya berada di tempat pembantu?
Itu semua karena Vynessa yang tidak mau jika Ayra memiliki kamar yang layak di rumah besar ini. Bagi Vynessa, Ayra hanya anak pembawa sial dan tidak pantas menikmati kemewahan dari rumah ini.
Dengan kamar yang terbilang kecil, hanya muat untuk satu kasur saja serta lemari kayu yang usang berukuran kecil menjadi saksi bisu pertumbuhan Ayra kecil yang sudah mendapatkan perlakuan tidak adil hingga Ayra berumur delapan belas tahun.
“Huh, besok semoga hari yang baik.” Ayra menatap langit-langit kamarnya. “Boleh mengeluh ngak si?”
Tok, tok, tok.
Ayra memejamkan matanya saat suara ketukan pintu terdengar dari luar, dengan wajah yang terlihat lelah itu berusaha mengukir senyum kecil.
HAYYY, BALIK LAGI NIH😁😁
SETELAH ADIRA DKK MAKA TERBITLAH AYRA, JANGAN BOSAN-BOSAN DUKUNG AUTHOR YA👍
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 👋👋👋🙆♀️
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "