Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita yang di cintai Arjuna
Di dalam apartemen kecil Kirana, suara derit pintu terdengar ketika ia dan Arjuna masuk. Kirana meletakkan tasnya di sofa, meregangkan tubuh setelah seharian bekerja.
"Hari ini gajian," katanya dengan nada puas, membuka kantong belanjaannya dan mengeluarkan beberapa botol bir. Ia menatap Arjuna sambil tersenyum jahil. "Kau mau coba?"
Arjuna, yang masih mengenakan pakaian kasual yang Kirana berikan, menatap botol itu dengan ragu. "Apa ini?"
Kirana terkekeh. "Minuman manusia. Kau belum pernah mencobanya, kan? Jangan khawatir, ini hanya untuk bersantai."
Arjuna mengambil botol itu, memperhatikannya dengan seksama. "Di Gunung Meru, kami tidak minum ini. Kami minum nektar dewa, yang memberi energi dan keabadian."
Kirana tertawa kecil. "Yah, di sini, bir tidak akan membuatmu abadi, tapi cukup untuk melupakan masalah sejenak."
Ia membuka botolnya, meneguk sedikit, lalu menatap Arjuna. Dengan sedikit ragu, Arjuna membuka botolnya dan mencoba meneguk minuman itu. Ia langsung mengernyit. "Ini… pahit."
Kirana tertawa lagi. "Itulah kenikmatannya."
Mereka duduk di lantai, bersandar ke sofa. Kirana memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota Jakarta yang berkelap-kelip.
"Tahu, Ju? Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat malah menindas mereka. Pejabat-pejabat sibuk memperkaya diri sendiri, sementara rakyat kecil harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup."
Arjuna menatapnya dengan serius. "Lalu, mengapa manusia tidak bangkit melawan?"
Kirana mendesah. "Karena kekuasaan selalu ada di tangan yang kuat. Mereka punya uang, pasukan, dan hukum di pihak mereka. Tapi bukan berarti tidak ada yang melawan."
Ia menatap Arjuna. "Pernah dengar tentang The Closer?"
Arjuna menggeleng.
Kirana melanjutkan, "Dia adalah superhero pertama yang benar-benar melawan sistem. Dia punya kekuatan luar biasa dan tidak takut menentang para pejabat korup."
Kirana meneguk birnya lagi. "Lalu ada Tigravara, dari Sumatra. Dia bukan hanya seorang pahlawan, tapi juga pelindung ekosistem. Dia melawan para perusak hutan dan para pemburu liar."
Arjuna mendengarkan dengan saksama.
"Di Kalimantan, ada Asvara. Dia melindungi keseimbangan alam, bertarung melawan kekuatan gelap yang ingin menghancurkan harmoni dunia."
Arjuna menatap Kirana dengan tajam. "Dan siapa lagi?"
Kirana menghela napas. "Yang satu ini… lebih rumit. Adharma. Dia bukan pahlawan seperti yang lain. Dia tidak hanya menentang pemerintah korup, dia membantai mereka. Dia membunuh tanpa ampun, membakar sistem dari dalam. Orang-orang takut padanya, tapi mereka juga mengaguminya."
Arjuna terdiam, mencoba memahami semua informasi yang baru saja ia terima.
"Dunia manusia… jauh lebih kacau daripada yang kubayangkan," gumamnya.
Arjuna terdiam sejenak setelah mendengar nama Asvara dari Kirana. Ia meletakkan botol birnya dan menatap Kirana dengan serius.
"Asvara… apakah dia seorang Penyihir Alam?" tanyanya.
Kirana mengangguk. "Ya, dia bisa dibilang begitu. Dia adalah pelindung terakhir yang menjaga keseimbangan alam."
Mata Arjuna membesar. "Jadi benar… Penyihir Alam itu masih ada?"
Kirana mengernyit. "Tunggu, kau tahu tentang Asvara?"
Arjuna menundukkan kepala, mengingat sesuatu yang telah lama ia kubur dalam pikirannya. "Aku pernah bertemu dengannya… jauh sebelum zaman ini."
Kirana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Maksudmu?"
Arjuna menarik napas panjang. "Dulu, sebelum aku menjadi seperti sekarang, aku pernah turun ke bumi di masa kerajaan Nusantara. Saat itu, aku bertemu dengan seorang wanita… Kumala."
Kirana menelan ludah. "Kumala?"
Arjuna tersenyum pahit. "Dia adalah wanita yang sangat aku cintai. Berbeda dengan wanita lain yang selalu terpikat oleh ketampananku, Kumala tidak pernah menyerah begitu saja. Dia menolak pesonaku, tidak peduli seberapa besar aku mencoba mendekatinya."
Kirana semakin tertarik. "Lalu, apa yang terjadi?"
Arjuna mendesah. "Karena aku tidak bisa memilikinya, aku menikahi seribu wanita di Gunung Meru dan menjadikan mereka selir. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menggantikan Kumala. Aku tetap merindukannya, tetap mencintainya…"
Kirana terdiam. "Jadi… Asvara yang sekarang bukan Kumala?"
Arjuna menggeleng. "Tidak. Tapi jika dia masih memakai gelar Asvara, berarti dia adalah penerus Kumala. Penyihir Alam tidak mati, mereka bereinkarnasi untuk menjaga keseimbangan."
Kirana menatap Arjuna dengan pandangan yang berbeda. "Jadi, kau pernah mencintai seorang manusia? Seorang wanita yang lebih memilih melindungi dunia daripada menjadi milikmu?"
Arjuna tersenyum tipis. "Ya… dan itu adalah salah satu hal yang tidak pernah bisa kulupakan."
Kirana menatap Arjuna lebih lama. Ia mulai memahami bahwa di balik kesombongannya, ada luka yang dalam. Seorang dewa yang jatuh cinta pada manusia, namun tak pernah bisa memilikinya.
Kirana meneguk birnya dengan cepat, seolah ingin menenggelamkan sesuatu yang tiba-tiba muncul di dadanya. Ia tidak tahu mengapa, tapi mendengar Arjuna berbicara tentang Kumala dengan begitu dalam, begitu penuh perasaan… ada sesuatu yang mengganggunya.
Ia mencoba tersenyum, meskipun dalam hatinya ada rasa aneh yang mulai tumbuh. "Jadi… kau punya seribu istri di Gunung Meru?" tanyanya dengan nada yang terdengar ringan, meski ada sedikit nada sindiran di dalamnya.
Arjuna mengangkat bahu. "Ya. Tapi seperti yang kukatakan, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menggantikan Kumala."
Kirana menghela napas panjang. "Seribu istri… dan kau masih bisa bilang hanya mencintai satu wanita? Kau sadar betapa gila kedengarannya?"
Arjuna tersenyum tipis. "Aku seorang dewa. Bukan hal yang aneh bagi dewa untuk memiliki banyak pasangan. Tapi cinta? Cinta itu berbeda. Aku hanya benar-benar mencintai satu orang dalam hidupku."
Kirana mengerutkan kening. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa sesak, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Kenapa aku harus peduli? pikirnya. Kenapa aku harus merasa seperti ini hanya karena seorang pria sombong yang baru kukenal beberapa hari?
Ia mengambil botol bir dan meneguknya lagi, mencoba mengabaikan perasaan yang mulai bercampur aduk dalam dirinya. Tapi semakin ia mencoba, semakin jelas ia menyadari satu hal—ia tidak suka mendengar Arjuna berbicara tentang wanita lain, apalagi tentang seseorang yang begitu ia cintai.
Ia menggigit bibirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Jadi, kalau Kumala masih hidup sekarang, kau akan mencarinya?" tanyanya, berpura-pura terdengar santai.
Arjuna menatapnya, ekspresinya sulit ditebak. "Aku tidak tahu. Mungkin."
Jawaban itu membuat Kirana semakin tidak nyaman. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menyindir atau mungkin sekadar mengejek, tapi ia tidak bisa. Perasaannya terlalu berantakan.
Ia tertawa kecil, meski terdengar sedikit dipaksakan. "Kau benar-benar seperti raja di kisah-kisah lama. Seribu istri, tapi tetap mengejar satu wanita yang tidak bisa kau miliki."
Arjuna mengangkat alis. "Kau terdengar seperti sedang cemburu."
Kirana tersentak. "Cemburu? Aku? Tidak mungkin!" Ia tertawa lebih keras, meski dirinya sendiri tidak yakin apakah itu benar atau tidak.
Arjuna hanya tersenyum penuh arti, seolah mengerti sesuatu yang Kirana sendiri belum bisa akui. "Baiklah, kalau kau bilang begitu."
Kirana memalingkan wajahnya, menatap langit malam di luar jendela. Hatinya masih terasa aneh, tapi ia tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
Ia hanya berharap perasaan ini akan hilang seiring waktu.