Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Mario masih membuat Peter marah dengan membuat seolah-olah dirinya orang suci. Padahal, sudah jelas dialah yang membuat Aarav mendekam dalam penjara.
Sebisa mungkin, Peter menahan diri. Tidak sekarang, pikirnya. Tidak di depan Alesia. Gadis itu masih terlalu muda untuk memahami betapa kotornya permainan orang-orang dewasa.
Alesia berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya penuh kebingungan. Matanya berkali-kali melirik Peter, seolah meminta jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia berharap kalau Peter tak berbicara dengan orang asing, tapi berbicara dengan papah yang sangat Alesia rindukan.
"Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Peter," katanya dengan suara licik. "Kadang, keadilan tidak sesederhana hitam dan putih."
"Aku tahu apa yang kau lakukan, Mario," ujar Peter dengan nada rendah. "Dan aku bersumpah, cepat atau lambat, aku akan membuktikan semuanya."
Mario terkekeh. "Oh? Kau yakin bisa melakukannya? Bukti di pengadilan sudah jelas, Peter. Aarav bersalah. Dan kau tahu apa yang lebih menarik? Tak ada seorang pun yang peduli dengan kebenaran jika mereka sudah punya cerita yang mereka sukai."
Peter terdiam. Ia membenci betapa benarnya kata-kata itu. Aarav sudah dicap bersalah oleh publik. Media telah menyebarkan cerita versi Mario—sebuah kisah di mana Aarav adalah dalang dari kejahatan yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Masyarakat lebih suka percaya pada narasi yang sensasional, bukan pada fakta.
Alesia tiba-tiba menarik lengan Peter. "Paman Peter," suaranya lirih, nyaris putus asa. "Kamu bicara dengan Papa, kan?"
Peter menatap gadis itu, dan dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan harapan di mata seorang anak?
"Tentu saja iya," jawab Peter, suaranya lebih lembut dari yang Alesia harapkan. Peter dengan cepat memutus panggilan telepon itu.
Alesia menggenggam tangannya erat, seolah kata-kata Peter adalah satu-satunya harapan yang ia miliki.
"Papa bilang apa?"
"Papamu bilang, Alesia harus tidur."
"Benarkah Papa bilang begitu?"
"Iya sayang."
Alisa terlihat menyedihkan. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Peter, yang sejak tadi hanya bisa menggenggam tangannya, akhirnya menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya.
Ia tidak mengatakan apa-apa—tidak ada kata yang cukup untuk menghapus kesedihan yang begitu mendalam. Hanya ada kehangatan tubuhnya yang berusaha menjadi tempat berlindung bagi Alisa yang tersedu-sedu.
Tangisan gadis itu tidak langsung mereda. Bahunya masih terguncang, dan suara isakannya memenuhi keheningan ruangan. Peter menyesap napas dalam-dalam, lalu dengan lembut mengangkat tubuh kecil Alisa dan menggendongnya.
Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya, Alisa tidak perlu menangis seperti ini. Seharusnya, dia masih berada dalam pelukan papanya—bukan dirinya.
Peter mengayun tubuh gadis itu perlahan, mencoba membuatnya nyaman. “Tidak apa-apa,” bisiknya, meskipun ia sendiri tidak yakin apakah kata-kata itu benar adanya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Tak berapa lama kemudian, Alesia tidur. Napasnya sudah teratur, matanya terpejam dengan sisa-sisa air mata yang mengering di pipinya. Peter mengamati wajah polos gadis kecil itu dalam keheningan, merasakan beban yang semakin menekan dadanya.
Ia mengusap pelan rambut Alesia, memastikan bahwa tidurnya tetap nyaman. Meskipun ia berhasil menenangkan gadis itu untuk sementara, Peter tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Esok pagi, Alesia akan bangun dan kembali mengingat kenyataan pahit yang menunggunya—kenyataan bahwa ayahnya masih mendekam di dalam penjara.
Peter mendesah pelan. Ia tidak bisa terus membiarkan Alesia hidup dalam ketidakpastian. Aarav harus segera dibebaskan. Namun, bagaimana caranya? Bukti yang ada sudah terlalu berat, dan Mario terus berjalan dengan penuh percaya diri seolah yakin bahwa ia akan lolos dari semua ini.
Perlahan, ia berdiri dari sofa, memastikan bahwa Alesia tetap terlelap. Gadis itu tampak damai sekarang, tidak seperti beberapa jam yang lalu ketika air matanya terus mengalir.
Peter menarik napas dalam, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kontak dan mencari satu nama—seseorang yang mungkin bisa membantunya menggali kebenaran lebih dalam.
Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya menekan tombol panggil.
Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya seseorang mengangkat.
“Peter?” suara di seberang terdengar mengantuk, namun waspada.
“Aku butuh bantuanmu,” ujar Peter, suaranya rendah namun tegas. “Ini tentang Aarav.”
Keheningan menyelimuti sejenak, lalu suara itu menjawab, “Di mana kita bisa bertemu?”
Peter melirik Alesia sekali lagi sebelum menjawab, “Satu jam lagi di tempat biasa. Kita tidak punya banyak waktu.”
Ia menutup telepon, lalu merasakan tekadnya semakin menguat. Malam ini, ia akan memulai langkah pertama untuk mengungkap kebenaran.