“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lampu neon berkilauan memantul di dinding kaca, sementara dentuman musik DJ menggema memenuhi ruangan. Syanas berdiri di tengah kerumunan, menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang menghentak.
Rambut panjangnya yang bergelombang menari liar di bawah sinar lampu strobo, membuat sosoknya mencuri perhatian siapapun yang berada di sekitarnya. Ia menikmati setiap hentakan bass, seakan dunia luar yang penuh masalah tak pernah ada.
Disisi lain beberapa temannya ikut larut dalam suasana. Gelas-gelas koktail berdenting, suara tawa dan teriakan euforia menggema.
“Syanaaas! Tambah lagi dong gelasnya! Jangan setengah-setengah!” teriak Rido, salah satu teman lelaki Syanas yang sudah mulai kehilangan kendali.
Syanas menoleh, lalu tertawa sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Santai Do! Gue masih bisa lebih lama dari lo!” teriaknya balik, suaranya hampir tenggelam dalam hingar bingar musik. Ia meneguk habis isi gelasnya dalam satu kali tegukan, lalu menjentikkan jari ke arah pelayan, meminta minuman tambahan.
Rido mendekat dengan senyum miring, menepuk pundak Syanas. “Gila lo Syas. Gue makin yakin lo ini cewek paling gila di sini.”
“Dan itu kenapa lo selalu balik buat party bareng gue kan?” balas Syanas dengan nada menggoda, matanya menyipit penuh percaya diri.
Setelah beberapa lagu berlalu, kerumunan mulai semakin padat. Rido dengan wajah yang sudah memerah akibat alkohol, menyelinap lebih dekat ke arah Syanas. Ia menundukkan tubuhnya, membisikkan sesuatu yang membuat napasnya terasa di telinga Syanas.
“Syas, gimana kalau malam ini kita cabut? Gue punya tempat yang asyik buat kita lanjutin, cuma kita berdua.”
Syanas menghentikan gerakannya. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Rido dengan tatapan tajam yang membuat pria itu sedikit mundur. Lalu, bibir Syanas melengkung membentuk senyuman sinis.
“Lo pikir gue cewek murahan yang gampang lo ajak gitu aja?” tanyanya dengan nada dingin, tapi matanya tetap memancarkan rasa menantang.
Rido terkekeh, mencoba terlihat santai. “Santai dong Syas. Gue cuma ngajak santai. Lagian, siapa sih yang nolak cewek cantik kayak lo?”
Mendengar itu, Syanas maju selangkah, membuat jarak di antara mereka hampir tak ada. Wajahnya mendekati wajah Rido, tapi bukan dengan kelembutan. Matanya menatap tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya.
“Oke, gini aja Do,” ujarnya pelan namun tajam, membuat Rido semakin gugup. “Kalau lo beneran mau ngajak gue, tunjukin dulu nyali lo. Lompat dari bar ke lantai dansa di sana, di depan semua orang. Kalau lo berhasil, gue ikut lo. Kalau nggak, jangan pernah coba-coba deketin gue lagi.”
Rido menelan ludah. Tawanya mendadak hilang, wajahnya berubah kaku. Ia melirik ke arah bar yang disebut Syanas, lalu kembali ke wajah wanita itu yang kini penuh rasa menantang.
Semua mata di sekitar mereka mulai tertuju ke arah keduanya, menunggu bagaimana Rido akan merespons.
“Lo serius?” Rido berusaha mempertahankan wajah santainya, meskipun nada suaranya mulai bergetar.
Syanas mengangguk santai, lalu menyilangkan tangan di depan dada. “Gue enggak main-main Do. Sekarang atau enggak sama sekali.”
Kerumunan di sekitar mulai bersorak, beberapa bahkan mendorong Rido untuk melakukannya. Musik yang sebelumnya terasa memompa adrenalin kini menjadi tekanan yang tak bisa diabaikan oleh Rido.
Dengan mendadak, Rido menggelengkan kepala, lalu meninju udara kosong dengan frustrasi. “Lo gila Syas!” teriaknya sebelum berbalik pergi, menghilang di tengah kerumunan.
Syanas hanya tertawa kecil, lalu menoleh ke teman-temannya yang masih terkejut melihat kejadian itu. Ia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Lihat? Cowok kayak dia nggak bakal pernah punya nyali buat hadapin gue.”
Teman-temannya saling pandang, beberapa terkikik geli. Tapi mereka tahu, ini adalah Syanas, wanita yang selalu penuh percaya diri, meskipun kadang caranya membuat orang lain menghela napas panjang.
Namun, di balik semua itu, Syanas tahu ada rasa kosong yang terus ia hindari. Dentuman musik, lampu strobo, dan gelas-gelas koktail hanyalah pengalih perhatian.
Di dalam hatinya, ia masih merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini ia tolak untuk dihadapi. Tapi untuk malam ini, ia memilih menutupinya dengan tawa dan tarian.
“Udah yuk balik joget lagi! Gue belum selesai sama malam ini!” seru Syanas sambil menarik tangan Nindi ke tengah lantai dansa. Dan sekali lagi, ia menghilang dalam riuhnya kerumunan, seakan dunia ini adalah miliknya seorang.
Keramaian klub masih menggema. Dentuman musik DJ yang menghentak terus memompa semangat para pengunjung, membuat lantai dansa penuh dengan orang-orang yang bergerak liar.
Dengan rambut panjang bergelombang dan tubuhnya yang masih energik, Syanas akhirnya memilih mundur dari lantai dansa. Ia berjalan ke area VIP, tempat beberapa temannya sudah lebih dulu duduk.
“Capek banget, sumpah,” ujar Syanas seraya menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk. Ia meraih segelas mojito yang tersisa di meja, meneguknya hingga hampir habis.
Nindi, salah satu teman perempuan yang duduk di sebelahnya, menyenderkan tubuh ke sofa, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah karena keringat. “Syas, sini dulu bentar. Gue mau ngomong serius,” ujarnya sambil menoleh ke arah Jennie yang duduk di sisi lain.
“Ngomong serius? Di tempat kayak begini?” Syanas mengangkat alis, bingung. “Lo mabok ya Nin?”
Jennie tertawa kecil, tangannya memutar-mutar gelas margarita yang ia pegang. “Bukan mabok Syas. Ini beneran serius. Lo tau kan, gue baru nemuin platform investasi gitu? Nindi juga udah coba, hasilnya gede banget.”
“Investasi?” Syanas melirik mereka bergantian, matanya menyipit. “Lo ngapain sih bawa-bawa investasi di tengah party kayak begini? Lagi seru-seruan, malah ngomongin duit. Lo udah tua Nin?”
“Eh, lo jangan nyinyir dulu!” Nindi menyenggol lengan Syanas, lalu mendekatkan tubuhnya. “Gue kasih tau ya, kalau lo investasi sekarang, duit lo bakal ngembang dengan sendirinya. Bayangin aja, kerjaan lo cuma duduk cantik kayak gini, tapi saldo lo terus bertambah.”
Jennie mengangguk setuju, wajahnya terlihat penuh semangat. “Iya Syas. Duit lo di bank tuh nggak ngapa-ngapain selain jadi beban. Bunganya kecil banget, nggak sebanding sama inflasi. Kalau lo main investasi, minimal lo bisa punya passive income buat masa depan.”
Syanas memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Passive income, inflasi, bla bla bla. Lo semua beneran kelihatan tua banget, sumpah. Hidup itu simple aja. Duit gue di bank tuh aman. Kalau gue mau pakai, tinggal ambil. Gak perlu ribet mikirin ini itu.”
“Ya ampun Syas!” Nindi mendesah panjang, frustasi. “Lo tuh tau nggak, orang-orang kaya itu nggak cuma nyimpen duit di bank. Mereka bikin duit mereka kerja buat mereka!”
Jennie menambahkan, “Lo sadar nggak sih, uang lo tuh kayak nganggur. Nggak ada gunanya di bank. Mending lo muterin uang itu buat sesuatu yang lebih produktif. Kayak gue sama Nindi sekarang, udah dapet hasilnya loh.”
Syanas menyilangkan tangan di depan dada, matanya menatap teman-temannya dengan ekspresi datar. “Gue udah kerja buat dapet duit, jadi gue bebas ngelakuin apa aja sama itu duit. Kalau lo pikir gue salah, ya bodo amat. Hidup gue bukan buat nyenengin ekspektasi orang.”
Jennie menggeleng pelan sambil terkekeh sinis. “Lo tuh parah banget Syas. Gue nggak tau ya, apa lo terlalu malas buat belajar atau lo emang sengaja pura-pura nggak peduli.”
“Gue nggak peduli Jen. Bukan pura-pura.” Syanas menegaskan, lalu berdiri dari sofa dengan santai. Ia meraih gelas kosongnya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Dari pada ngomongin duit yang nggak bakal habis-habis, mending kita balik lagi ke lantai dansa. Hidup cuma sekali, nikmatin aja!”
Jennie dan Nindi saling pandang. Ada rasa frustasi di wajah mereka, tapi mereka tahu Syanas adalah tipe orang yang susah diubah.
Mau debat seperti apapun, wanita itu selalu punya jawaban santai yang entah kenapa membuat argumen mereka terdengar sia-sia.
“Udahlah, dia nggak bakal ngerti Nin. Lo tau kan, Syas itu selalu nunggu sampai segala sesuatunya meledak dulu sebelum dia mikir ulang,” ujar Jennie sambil menyeruput margarita di tangannya.
Syanas mendengar itu, tapi memilih mengabaikannya. “Gue nggak peduli apa yang lo omongin. Yang penting sekarang gue mau nikmati hidup gue.”
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..