Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1.
"Yes, lo bisa berhenti gak baca novel tentang dark love itu? Ngeri tahu, gak?"
(Yessi Naomi Martin)
Yessy menurunkan sedikit buku dari wajahnya. Matanya melirik malas Mentari berada disamping.
"Nggak bisa! Malahan gue pengen punya cowok obses gila kayak gini," celetuk Yessi bersemangat.
"Psikopat?" Mentari menarik napas dalam. "Lo yakin?"
"Yakin dong," jawab Yessi dengan senyum lebar. Tanpa tahu, ada seseorang mendengar obrolan absurb keduanya.
"Eh, Mas Regan. Mau naik ke lantai atas juga?"
( Regan Alexis Venom)
Pria jangkung mengenakan seragam biru berbalut jaket hitam dengan masker menutup wajahnya tersebut mengangguk.
Di salah satu tangannya, terdapat ganggang pel beserta ember. Ketiganya menunggu pintu lift terbuka. Mentari memperhatikan dengan siapa Yessi berbicara, menyikut perut sahabatnya tersebut.
"Sakit, Tar. Apa sih?!" keluh Yessi cemberut.
Mentari mendekatkan bibirnya ditelinga Yessi. "Dia OB di gedung ini?"
"Iya," sahut Yessi dengan alis bertaut karena pertanyaan Mentari. "Sebelum kita tinggal disini, kayaknya dia emang udah kerja deh. Kenapa?"
"Ganteng, njir," bisik Mentari mengerling. "Tapi, kayaknya cool banget."
Yessi mengangguk. Ia juga heran, baru kali ini melihat tampilan seorang office boy sangat tampan. Rambut gelap dengan poni menjuntai hingga batas mata senada dengan iris sekelam malam yang tajam, alis lebat tersusun rapi di topang rahang kokoh dan kulit sangat putih.
Office boy macam apa ini?
"Jangan tanya. Gue aja sampai ngira dia bisu karena gak pernah dengar dia ngomong," kompor Yessi.
"Ehem," dehem Regan. Telinga tajamnya mendengar obrolan dua gadis remaja di depannya ini.
Yessi dan Mentari serempak saling menjauh dan berdiri tegak. Kebetulan pintu lift terbuka, keduanya dengan cepat melangkah masuk. Yessi dan Mentari melirik Regan dari ujung mata yang berjalan bagai robot untuk mengambil posisi di belakang mereka.
Keduanya saling colek setelah pintu lift tertutup, aura mencekam sangat kental. Apalagi ini nyaris jam 11 malam, gedung apartemen itu jadi sepi. Hanya segelintir orang yang berlalu-lalang. Yessi memasukan buku novelnya ke dalam tas.
Ting!
"Gue duluan, Yes," ujar Mentari siap melangkah keluar karena tiba di lantai apartemennya. Sedangkan milik Yessi masih sepuluh lantai lagi.
Yessi menarik tangan Mentari hampir keluar. Bibirnya turun ke bawah karna cemberut.
"Gak mau temanin gue apa?" ujarnya memelas.
"Gak bisa. Gue belum ngerjain pr. Lo kan belum juga. Takut hantu? Gak masuk akal, Yes. Lo aja suka cowok rada sinting. Noh, ada mas OB juga nemenin lo," tunjuk Mentari terang-terang membuat Yessi menepis kasar telunjuknya itu. Sedang Regan terlihat tak perduli.
"Tar--"
"Bisa cepat? Saya ada kerjaan," sela Regan.
Suara beratnya membuat Yessi terpaksa melepas tangan Mentari yang seketika keluar dengan berlari riang seraya melambai padanya dengan senyuman mengejek.
"Babay, Yessi ... Moga selamat ya."
Yessi menekan tombol lantai miliknya dengan kesal lalu mengacungkan jari tengah pada Mentari sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup.
'Sialan, Mentari! Awas aja besok,' gerutu Yessi dalam hati seraya menghentakkan kesal kakinya ke lantai.
Yessi rasanya mati gaya, entah mengapa Yessi merasa ada mata tajam memperhatikan tiap gerak-geriknya. Regan? Tidak mungkin. Tadi saja, pria dingin itu enggan menatap dirinya.
"Habis dari mana?"
Yessi membeku, kepalanya berputar sedikit demi sedikit ke arah Regan yang ternyata bersandar di dinding lift sambil memperhatikan angka lantai yang berubah-ubah dengan kedua tangan masuk ke saku celana denim model sobek di lutut.
"Mas Regan, nanya saya?"
Yessi menelan ludahnya, mata gelap Regan menatapnya tapi hanya sebentar lalu menengadah kembali.
"Pikir sendiri," sahutnya bernada sangat datar.
Yessi tercengir malu, mengusap belakang lehernya kaku. "Hehee ... Iya disini hanya ada kita ya. Habis ke mall, mas," jelas Yessi.
"Pacaran?"
Yessi kali ini mengerjab bingung. Ia memang pergi bersama laki-laki, tapi itu teman sekelasnya. Bima dan Bimo, si kembar energik.
Tunggu, bagaimana Regan bisa menafsirkan begitu?
"Maaf, mas ...."
Regan menaikan alisnya satu pada Yessi yang terlihat tidak enak melanjutkan kata-katanya.
Masa ia menuduh Regan seorang penguntit?
"Saya lihat, kamu pulang dengan dua laki-laki." Jakun Regan naik turun mengontrol nada suaranya. "Di parkiran," tambahnya.
Yessi mengangguk mengerti. "Itu teman dekat, Mas. Bukan pacar," sahut Yessi tersenyum tipis.
"Kalo Mas Regan habis darimana?"
Sebenarnya Yessi sangat tidak nyaman memanggil 'mas' tapi, menebak dari visual Regan.
Pria di belakangnya ini, terlihat lebih dewasa. Kemungkinan, nyaris kepala tiga. Tidak sopan, jika Yessi memanggil nama saja. Masalah nama Regan? Yessi tahu dari papan tag di baju pria itu.
"Minimarket."
"Beli pel ya?"
Yessi tercengir kembali. Kenapa dirinya tiba-tiba jadi wartawan seperti ini?
Dalam hati, Yessi menyumpah serapahi lift yang baginya berjalan lambat itu.
"Rokok." Regan mengeluarkan bungkus rokok mahal dari sakunya.
"Jangan sering merokok, mas. Nanti paru-parunya rusak, lho. Kan sayang, mana belum nikah lagi," peringat Yessi.
Setelahnya, menepuk mulutnya sendiri karena merasa lancang menasehati orang yang lebih tua darinya. Apalagi, dirinya dan Regan tidak terlalu dekat.
"Kamu mau saya nikahi?" tanya Regan spontan sambil membuka maskernya.
Yessi di buat takjub untuk pertama kali, melihat wajah tampan Regan dengan senyum tipis tersungging miring.
'Busyeet. Ini sih visual manwha, cok,' batin Yessi menjerit.
Tiba-tiba, lift berhenti bergerak dan lampu disana mati total. Yessi amat terkejut berteriak, kakinya tanpa sadar melangkah ke arah Regan.
Berdiri di depan pria tersebut. Kedua tangan mungil Yessi, merangkum tubuh besar Regan yang terasa liat namun empuk di bagian dada dan sialnya, begitu hangat.
"Mas ... Tolong, mas. Saya phobia gelap," cicit Yessi nyaris menangis.
"Lepas!" sentak Regan tanpa terduga.
Berusaha melepas belitan tangan Yessi dari tubuhnya, tapi Yessi semakin menguatkan belitannya lantas menggeleng cepat.
"Jangan, mas. Tolong saya!"
"Lepas, Yessi atau saya dorong?"
Punggung Regan membentur dinding lift karena Yessi tiba-tiba melompat ke pelukannya. Mau tak mau, Regan menompang bokong gadis itu. Napas hangat Yessi menerpa perpotongan leher putih Regan.
Tanpa sadar, pria itu mengeram dengan mengeratkan gigi-giginya.
"Mas, n-napas saya s-esak ...," adu Yessi. Ia memang seperti ini, jika berada di kegelapan dengan ruangan sempit.
"Ponsel saya ambil di saku celana," titah Regan. Karena tangannya menyangga tubuh Yessi yang mulai menggigil.
Yessi membentang jarak antar keduanya, di kegelapan tangannya meraba-raba area pangkal paha Regan.
Yessi tanpa sengaja, meremas sesuatu.
"Eh, empuk," celutuk Yessi. Regan mengigit bibir dalamnya.
"Biar saya saja." Regan menepis tangan Yessi yang lancang hinggap di area pribadinya itu.
Ruangan tersebut, seketika terang benderang. Perlahan, Yessi bisa bernapas dengan normal. Regan memencet tombol darurat beberapa kali namun tidak ada respon.
"Aduh ... Gimana ini?"
Yessi mengigit telunjuknya karena panik. Jika terkunci sampai besok, bagaimana dengan pr-nya?
Regan duduk di lantai dengan satu kaki di tekuk. Terlihat amat tenang. Yessi mondar-mandir mendekatinya lalu duduk di samping Regan.
"Mas, usaha dong biar kita bisa keluar!"
Regan melirik dingin Yessi. "Di luar hujan. Mereka gak akan dengar."
Yessi mendengus. Apa Regan ini pawang cuaca, bagaimana bisa tahu?
"Kok mas bisa tahu? Terus apa hubungannya dengan lift mati? Ya kali, gak ada cadangan kayak pembangkit listrik di gedung sebesar ini!" seloroh Yessi.
Regan mengangkat bahunya acuh. "Disini saat hujan sering konsleting listrik."
Yessi baru tahu fakta satu ini, dirinya baru pindah seminggu yang lalu bersama Mentari. Dulu Yessi tinggal di mansion. Karena apartemen ini dekat dengan sekolahnya, Yessi memutuskan pindah.
Yessi memeluk tubuhnya sendiri merasa udara kian dingin.
"Maaf mas buat yang tadi," cicit Yessi dengan pipi memerah malu.
Regan membuka jaket hitam yang membalut seragamnya. Ia bentangkan di depan tubuh Yessi yang seketika mematung. Terkejut akan perbuatan baik hati Regan.
"Dingin?" tanya Regan dengan tangan mengusap lembut sebelah pipi Yessi yang panas.
"O-oh ... Iya, dingin," sahut Yessi gagap.
'Karena mas dekat-dekat hawanya jadi panas nih,' pikir gadis itu.
"Eh?"
Regan mengangkat Yessi duduk di antara pahanya. Regan menekan kening Yessi agar tubuh keduanya menempel. Tangan kekar Regan memeluk perut Yessi di bawah sana. Jelas saja, Yessi bergerak tidak nyaman.
Dirinya masih perawan ting-ting, lho!
"Kenapa?" bisik Regan di telinga Yessi.
"Jangan begini, mas. Geli, ya ampun!" Yessi mengurai jari-jari panjang Regan.
"Mau lebih geli?"
Yessi menggosok telinganya. Barang kali, ia salah dengar.
"Maksudnya ... Ge-geli apa?" tanya Yessi takut-takut.
Pikirannya sudah melalang-buana. Ayolah, ia sudah terkontaminasi novel dark love kelas berat.
"Saya gelitik."
Sial! ternyata tidak sesuai ekspektasi Yessi.