"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Asing
"Naa...!!" seorang lelaki berteriak memanggil temannya yang sedang mengobrol dengan temannya yang lain.
Perempuan yang merasa dipanggil namanya itu membalas dengan lambaian tangan. Tak lupa juga dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
"Dari tadi?" tanya perempuan itu setelah menghampiri teman lelakinya
"Enggak juga. Sudah selesai belum?" lelaki itu balik bertanya.
"Eeem, sudah." balasnya.
"Yuk, aku antar pulang. Sudah mau sore ini." kata lelaki itu sambil melihat jam tangannya.
"Oke."
Mereka adalah Liana dan Damar. Dua sejoli yang terkenal sangat dekat di kampus. Karena saking akrabnya, mereka kerap kali dikira pasangan kekasih.
Setelah menempuh jarak hampir 30 menit, akhirnya mobil yang dikendarai Damar sampai di jalan menuju rumah Liana. Dari kejauhan tampak mobil ayah Liana di halaman.
"Ayahmu sudah pulang rupanya." ujar Damar.
"Ah, iya. Beberapa hari ini ayah memang selalu pulang lebih awal. Katanya tidak banyak pekerjaan di kantor." jawab Liana.
"Oh..." sahut Damar.
"Akhirnya, sampai juga. Capek banget..." gumam Liana.
"Tinggal duduk manis saja capek. Lebay...!!" balas Damar.
"Otaknya capek, bro. Seharian full tugas. Ya sudah, aku turun ya. Terimakasih yaa..., Damar yang baik hati dan tidak sombong...!!!" ujar Liana sambil memamerkan senyum dan mengedipkan matanya.
"Iya. Sudah, buruan turun sana!" kata Damar
Setelah mobil Damar berlalu, Liana bergegas masuk ke rumah.
"Ayah...!!" seru Liana ketika berada di dalam rumah.
Pak Gani, ayah Liana, keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi.
"Sudah pulang?" begitu sapa ayahnya.
"Ayah buat kopi sendiri, ibu dan Rosa memangnya kemana?" tanya Liana.
"Entahlah, ayah sampai mereka sudah tidak ada." jawab pak Gani
"Ooh..., kalau begitu aku ke kamar dulu ya." kata Liana.
"Iya, nak."
Liana menoleh ke arah ayahnya yang sedang duduk di ruang makan. Dia menatap nanar bagian belakang tubuh sang ayah.
"Andai bunda masih hidup. Dan andai saja ayah tidak menikah lagi. Mungkin ayah tidak akan seperti ini. Maafkan aku ayah, aku masih menjadi beban hidup ayah."
Liana kemudian masuk ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca.
......................
Tok... Tok... Tok...
Malam itu pintu rumah pak Gani diketuk oleh seseorang. Pak Gani terpaksa menghentikan pekerjaannya sejenak. Dan pergi membuka pintu.
"Selamat malam, bisa bertemu dengan nyonya Ranti?" ujar seseorang dengan setelan hitam dan wajah garang.
"Dia sedang tidak di rumah. Ada apa ya? Mari masuk dulu..." ajak pak Gani.
Pak Gani sangat tahu, tiga orang tinggi besar yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Pak Gani merasakan firasat yang tidak mengenakkan malam itu
Ketiga pria garang itu memasuki rumah sederhana milik pak Gani. Lalu duduk di sofa jadul dengan sopan setelah dipersilahkan.
"Maaf sebelumnya pak. Kalau kedatangan kami mengganggu bapak. Karena kami harus bertemu dengan nyonya Ranti." ujarnya.
"Iya, pasti ada hal yang sangat penting sehingga kalian datang malam-malam begini. Ada apa? Katakan saja, saya suaminya." balas pak Gani.
"Jadi begini, pak. Nyonya Ranti membawa kabur uang bos kami senilai 500 juta."
DEG...!!
"APA...?!" seru pak Gani. "Li..., lima ratus, ju..., juta...?!!"
"Betul sekali, pak. Nyonya meminjam uang tersebut dengan dalih untuk membuka usaha. Dan akan dikembalikan dalam tempo satu bulan. Tapi ini sudah hampir dua bulan, dan nyonya Ranti tidak bisa dihubungi. Toko yang katanya dia dirikan ternyata juga palsu. Ketika kami ke lokasi, di sana hanya ada gedung kosong terbengkalai."
"Eesshhh...!" pak Gani tampak sedikit meringis menahan sakit sambil memegang dadanya.
"Bapak kenapa?" orang yang sedari tadi berbicara itu menatap lekat pak Gani.
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit kurang enak badan. Kalian tinggalkan saja nomor telepon, saya akan hubungi kalian kalau dia kembali." tutur pak Gani.
"Tidak bisa seperti itu, pak. Setidaknya bapak memberi kami jaminan untuk hutang nyonya Ranti. Kami kesini untuk menagih hutang!" tandas pria itu.
"Tolonglah, kecilkan suara kalian...!" suara pak Gani semakin terdengar parau.
Melihat kondisi pak Gani yang tampak semakin pucat dan wajahnya berkeringat. Seseorang dari mereka memberi isyarat untuj pergi.
"Baiklah, katakan pada nyonya Ranti kami akan datang kembali."
Sepeninggal tiga tamu tak diundang itu, pak Gani tampak semakin meremas dadanya. Karena rasa sakit yang menjalar, juga amarah yang membuncah karena ulah istrinya.
Sementara di luar sana, Liana yang baru pulang dari minimarket dibuat penasaran dengan sebuah mobil yang beranjak dari depan rumahnya.
"Siapa ya...? Perasaan baru pertama ini mobil itu bertamu."
Liana terus menatap kepergian mobil hitam itu sebelum dia memasuki halaman rumahnya.
"Ayah, habis kedatangan ta..." ucapan Liana menggantung karena dia melihat sang ayah yang tengah merintih kesakitan.
"Ayah...!!!"
Plastik berisi belanjaan dia jatuhkan begitu saja. Dia berlari menghampiri ayahnya.
"O..., obat..." ujar pak Gani dengan suara lirih.
Liana yang paham betul kondisi sang ayah, segera berlari ke kamar untuk mengambil obat ayahnya.
Tak lama kemudian dia kembali membawa obat juga segelas air.
"Ayah istirahat dulu di sini ya." Liana menata bantal di atas sofa agar ayahnya bisa tiduran.
Liana tidak ingin bertanya apapun. Dia akan bersabar sampai kondisi sang ayah membaik. Dengan telaten Liana memijat kaki dan tangan ayahnya. Hingga pada akhirnya sang ayah terlelap.
Liana kemudian mengunci pintu. Tak peduli meskipun ibu dan saudara sambungnya belum pulang. Dia juga tidak berkeinginan untuk menghubungi mereka. Dia justru mengirim pesan pada sahabatnya, Damar. Setelah membereskan barang belanjaannya.
Liana : Ayah kambuh, Mar. Tapi sekarang sudah tidur setelah minum obat.
Damar : Mau dibawa ke RS tidak?
Liana : Ayah menolak, mau istirahat saja di rumah.
Damar : Baiklah. Kalau ada apa-apa kamu segera telepon aku ya.
Liana : Iya, Mar. Thanks ya
Damar : Iya. Sekarang kamu istirahat, jangan sampai sakit juga.
Selepas berkirim kabar pada Damar, Liana menarik selimut sang ayah. Kemudian dia mendaratkan tubuhnya di sofa yang dekat ayahnya.
"Apa yang terjadi...? Kenapa tiba-tiba sakit jantung ayah kambuh...? Apa ada hubungannya dengan tamu tadi...??"
"Kemana pula duo wanita sok iye itu pergi? Masa sampai jam segini belum pulang. Dasar benalu. Jadi anggota keluarga bukannya ngurusin keluarga. Malah sok sibuk dan jarang di rumah. Ayaaah..., ayah kenapa sih bisa menikah sama itu orang? Kan gini jadinya. Makan ati...!!!"
Liana terus bermonolog hingga rasa kantuk menghampirinya. Dan akhirnya dia tertidur dengan posisi meringkuk di sofa. Dia tidak ingin jauh-jauh dari ayahnya. Karena khawatir nanti ayahnya terbangun dan butuh sesuatu.
......................