Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanghulu Sate Buah Viral
Pemuda itu bernama Wijaya Kusuma, dia adalah Kepala Desa termuda yang pernah tercatat dalam sejarah Desa Talaga Seungit. Sebuah desa terpencil yang masih memegang adat istiadat leluhur.
Berbeda dengan perkampungan lain yang sudah terjamah oleh teknologi, para penduduk di Desa Talaga Seungit enggan menggunakan peralatan elektronik, bahkan mereka pun menolak mentah-mentah tawaran pemerintah pusat: dipasangi listrik gratis dan diberi kompor gas beserta tabung gasnya.
Penduduk desa lebih memilih menggunakan cara-cara tradisional yang sudah diajarkan oleh leluhur mereka secara turun menurun dan Wijaya Kusuma sebagai Kepala Desa saat ini akan tetap menjaga 'kemurnian' desanya dari pengaruh luar.
Satu-satunya desa terdekat dengan desa mereka adalah Desa Karajaan Sagara yang menjadi satu-satunya akses antara desa mereka dengan wilayah luar. Desa Karajaan Sagara berada di bawah kaki pegunungan berbatasan langsung dengan jalan lintas provinsi yang dibangun oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu, kehadiran jalan raya itu kini membuat desa tersebut terpisah menjadi dua bagian dan mulai menerima budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan mereka.
Wijaya Kusuma terlihat berkeringat, dia dan para pemuda desa baru saja menukar hasil panen dengan ikan-ikan segar dari para nelayan yang menghuni Desa Sagara Dua; dahulu menjadi bagian dari Desa Karajaan Sagara namun kini sudah memiliki nama lain.
"Teman-teman lihat ya pasti wanita itu muncul lagi," bisik seorang pemuda ke pemuda lainnya, mereka sudah hapal betul dengan wanita yang selalu menggoda Wijaya Kusuma, tinggal beberapa langkah lagi mereka akan sampai di depan rumah wanita itu.
"Selamat sore Aa Wijaya, sini atuh masuk dulu?" seorang wanita tiba-tiba menghadang mereka.
"Selamat sore Ningsih," jawab Wijaya, meskipun wanita itu selalu genit padanya tapi Wijaya selalu memperlakukan dia dengan baik.
"Aa teh pasti capek, ayo atuh Neng buatin minuman dingin, mau es soda atau es teh manis? Pasti capek ya habis jalan jauh, Neng pijitin mau?"
"Es susu ada Teteh?" seorang pemuda bertanya balik pada wanita yang tergila-gila pada Wijaya Kusuma itu.
"Ih, da Neng mah cuma nawarin sama Aa Wijaya bukan sama kamu! Apalagi kamu!" tegas Ningsih emosi sambil menunjuk muka mereka karena kesal dengan tingkah genit para pemuda itu.
"Maaf Ningsih, kami tidak minum es. Kan Aa sudah bilang berapa kali, kami pantang minum es dari kulkas."
"Aa teh kenapa sih terlalu lurus hidupnya? Kan kalian cuma berempat, penduduk desa kalian gak ada yang tahu minum es dari kulkas. Lihat nih desa kami mah semenjak menerima bantuan listrik dari pemerintah pusat, kami jadi lebih maju," gerutu Ningsih.
Wijaya Kusuma lalu tersenyum, "sudah ceramahnya Ningsih? Aa harus segera pulang, terima kasih ya udah nawarin es."
"Jangan pergi dulu, tunggu ih!" tegas Ningsih, dia berlari ke dalam rumah mengambil makanan yang sudah dia siapkan dalam kresek putih, "ini atuh cemilan buat Aa. Namanya tanghulu, ini teh buah yang udah dilumuri gula putih terus di bekuin."
"Alah siah, tanghulu! Ini mah sate buah atuh Ningsih!" celetuk pemuda lain.
"Ih kalian teh kuper! Ini teh makanan viral! Tau gak viral! Udah ah capek ngejelasinnya juga! Pokoknya ini mah buat Aa Wijaya bukan buat kalian, jadi gak usah banyak komentar!"
Wijaya Kusuma lalu mengambil makanan pemberian Ningsih karena ia tidak ingin membuat wanita itu sedih. Mereka lalu pamit melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Talaga Seungit, meninggalkan Ningsih yang tatapannya tak pernah lepas dari sosok Wijaya Kusuma yang memiliki postur tubuh tegap dan kekar.
Saat mereka sudah jauh dari rumah Ningsih, tak disangka Wijaya Kusuma malah memberikan makanan itu kepada anak-anak kecil yang sedang berkumpul dan bermain di sebuah lapangan. Hal itu membuat para pemuda desa Talaga kesal, mereka sangat penasaran dengan sate buah yang disebut tanghulu itu, mereka hanya bisa menelan ludah melihat anak kecil yang sedang mengigit buah-buahan beku itu.
Wijaya sangat memegang teguh peraturan Desa Talaga Seungit yang melarang apapun yang bukan berasal dari budaya mereka, termasuk sate buah yang disebut sebagai tanghulu.
Wijaya Kusuma lalu mengajak mereka melanjutkan perjalanan pulang, keempat orang pemuda itu membawa ikan laut dengan cara ditandu, masing-masing dari mereka memikul ujung bambu di atas bahu mereka yang keras, hampir seluruh pemuda Desa Talaga Seungit memiliki tubuh yang kuat dan kekar karena mereka sudah terbiasa bekerja keras setiap hari, berbeda dengan pemuda di Desa Karajaan Sagara yang memiliki postur tubuh cenderung buncit berlemak.
Mereka kini melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Talaga Seungit. Desa yang letaknya di atas pegunungan. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang sudah dicemari polusi udara.
Meskipun menolak perkembangan jaman, warga Desa Talaga Seungit hidup dengan damai dan bahagia.
"Kang, tadi sate buahnya kenapa dikasih ke anak-anak, kami teh penasaran da dengan rasanya."
"Lebih enak buah segar yang baru dipetik dari pohon atuh, nanti sesudah menyimpan ikan-ikan ini kita makan buah sepuasnya," jawab Wijaya.
"Iya, tapi penasaran juga sama tanghulu buatan Ningsih," keluh pemuda yang memikul tandu bersama Wijaya Kusuma.
Malam ini, di Desa Talaga Seungit akan diadakan pesta panen untuk merayakan berakhirnya masa panen, biasanya warga desa akan berkumpul di balai desa, makan bersama sambil menonton pertunjukan kebudayaan.
Ini menjadi acara pertama yang dihadiri oleh Wijaya Kusuma sebagai seorang Kepala Desa, Wijaya Kusuma terpaksa menjadi Kepala Desa menggantikan bapaknya yang meninggal dunia.
Wijaya Kusuma akan menjabat selama tiga tahun kedepan, meskipun ada beberapa warga yang tidak setuju dipimpin oleh seseorang yang masih muda namun peraturan adat tidak boleh dilanggar.