Gus Shabir merasa sangat bahagia saat ayah Anin datang dengan ajakan ta'aruf sebab dia dan Anin sudah sama-sama saling menyukai dalam diam. Sebagai tradisi keluarga di mana keluarga mempelai tidak boleh bertemu, Gus Shabir harus menerima saat mempelai wanita yang dimaksud bukanlah Anin, melainkan Hana yang merupakan adik dari ayah Anin.
Anin sendiri tidak bisa berbuat banyak saat ia melihat pria yang dia cintai kini mengucap akad dengan wanita lain. Dia merasa terluka, tetapi berusaha menutupi semuanya dalam diam.
Merasa bahwa Gus Shabir dan Anin berbeda, Hana akhirnya mengetahui bahwa Gus Shabir dan Anin saling mencintai.
Lantas siapakah yang akan mengalah nanti, sedangkan keduanya adalah wanita dengan akhlak dan sikap yang baik?
"Aku ikhlaskan Gus Shabir menjadi suamimu. Akan kuminta kepada Allah agar menutup perasaanku padanya."~ Anin
"Seberapa kuat aku berdoa kepada langit untuk melunakkan hati suamiku ... jika bukan doaku yang menjadi pemenangnya, aku bisa apa, Anin?"~Hana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Satu
Anindya Yalanda Ghaaliya, atau biasa dipanggil Anin tersenyum manis melihat seorang pria anak kyai yang biasa di panggil dengan Gus Shabir itu tersenyum ke arahnya.
Anin langsung menunduk setelah membalas senyuman itu. Dia tidak mau orang lain menilai salah karena mereka yang saling berpandangan.
"Kamu sedang apa di sini sendirian?" tanya Hana. Pertanyaan Hana cukup membuat Anin kaget.
"Aunty Hana, mengagetkan aku saja. Aku sedang mengulang menghafal ayat yang ustad berikan itu," jawab Anin.
Anin memang sering duduk di taman belakang pondok pesantren. Dia sering menyendiri. Tidak terlalu suka bergaul. Berbeda dengan adik ayahnya, Hana memiliki banyak teman. Anaknya supel.
"Masuk kamar lagi. Jam istirahat telah usai," ajak Hana.
Hana dan Anin, usia mereka hanya beda satu bulan. Sehingga mereka disekolahkan di pondok yang sama. Ghibran tidak pernah membedakan antara adik dan anaknya. Dia menyayangi keduanya.
Keduanya masuk ke kamar dan membersihkan diri. Sebentar lagi mereka akan melaksanakan salat magrib.
"Tak terasa kita sudah akan meninggalkan pondok pesantren ini satu bulan lagi. Aunty mau melanjutkan ke mana?" tanya Anin sambil berpakaian setelah mandi.
"Aku tak ingin melanjutkan pendidikan lagi. Aku ingin segera berumah tangga saja. Syukur-syukur dapat suami seperti Gus Shabir," ucap Hana dengan tawa renyahnya.
Anin membalas dengan senyuman ucapan tantenya itu. Siapa yang tak ingin memiliki suami seperti Gus Shabir. Dia tampan, mapan dan paling utama memahami agama.
Gus Shabir membantu ayahnya mengajar di pondok pesantren ini. Kehadirannya banyak mencuri perhatian kaum hawa termasuk Anin dan Hana.
Setelah mereka berpakaian, keduanya keluar dari kamar menuju musholla. Hari ini Gus Shabir yang akan memberikan tausiyah setelah salat magrib. Anin yakin semua murid wanita akan menyempatkan hadir.
Solat magrib juga diimami oleh Gus Shabir. Pria itu lulusan universitas Kairo, Mesir. Sehabis salat acara dilanjut dengan pembacaan ayat suci Alquran, oleh Anin.
Tidak ada yang tahu, Gus Shabir selalu saja mencuri pandang saat Anin membaca kitab suci Al-Qur'an. Sepertinya dia mengagumi kefasihan gadis itu dalam membacanya.
Setelah membaca Al-Qur'an, Anin kembali bergabung dengan teman wanita lainnya. Saatnya Gus Shabir memberikan tausiyah. Semua mata hanya tertuju pada pria itu.
Satu jam berlalu begitu cepat. Anin menunggu Gus Shabir untuk memberikan kitab suci yang tadi dia pinjam saat membacanya.
"Assalamualaikum, Gus! Ini Al-quran yang tadi saya pinjam. Terima kasih, Gus," ucap Anin sambil menunduk saat mengembalikan kitab suci itu.
"Waalaikumsalam. Terima kasih kembali. Boleh saya tahu nama kamu?" tanya Gus Shabir.
"Anin, Gus," jawab Anin masih dengan menunduk.
"Anin, besok kamu juga yang membaca Al-Qur'an nya. Nanti aku beritahu surat apa yang akan kamu baca. Boleh saya minta nomor ponselmu?" tanya Gus Shabir.
"Tentu saja boleh, Gus." Anin lalu menyebutkan sejumlah angka.
Setelah itu keduanya berpisah. Dalam perjalanan menuju kamarnya, Anin merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat dan kencang. Dia merasa gugup dan tangannya gemetar saat berdekatan dengan Gus Shabir tadi.
Sampai di kamar, ternyata Hana telah lebih dulu berada di dalam. Tantenya itu telah selesai membersihkan wajah dan bersiap tidur.
"Dari mana kamu, Anin?" tanya Hana.
"Nggak ada dari mana-mana. Aunty saja yang pulangnya tergesa," jawab Anin.
"Mataku ngantuk. Sudah tak sabar ingin membaringkan tubuhku," ucap Hana.
Jika dibandingkan dengan Anin, Hana lebih banyak bicara dan ramah pada siapa saja. Dia mudah bergaul dan bisa beradaptasi dengan mudah di lingkungan baru.
"Anin, kamu tau tak. Tadi saat Gus Shabir memberikan tausiah semua mata teman kita hanya tertuju padanya tanpa kedip. Memang dia seperti magnet yang membuat orang-orang terpesona, ya. Kamu juga begitu'kan?" tanya Hana.
Anin hanya menjawab dengan senyuman, tanpa sepatah kata pun. Apa yang Hana katakan emang benar, dia begitu terpesona dengan pria itu. Tapi, Anin masih menjaga mata dari pandangan tak semestinya, dia tak berani menatap lama pada pria itu.
**
Waktu terus berlalu, hingga sampai pada akhir pendidikan. Hari ini perpisahan pondok pesantren diadakan. Lagi-lagi Anin di daulat untuk membaca kitab suci Al-Qur'an. Hana menatap dengan sedikit iri.
"Padahal, aku juga ingin sesekali berada di atas panggung itu. Kenapa hanya Anin terus yang ditunjuk?" Hana bertanya dalam hatinya.
Rangkaian acara demi acara telah berlalu, hingga tiba pembagian hasil ujian. Kembali Anin mendapat juara. Ghibran dengan bangganya naik ke pentas mengambil ijazah putrinya. Aisha tak bisa menahan air mata melihat keberhasilan putri mereka.
Syifa tidak bisa hadir karena anaknya sedang demam tinggi, padahal Anin ingin kakaknya juga bisa menyaksikan keberhasilan dirinya. Gadis itu sangat dekat dengan kakaknya itu.
Ghibran dan Aisha menyalami semua ustad dan kiyai di pondok pesantren. Mengucapkan terima kasih karena telah mendidik putri dan adiknya.
Ghibran juga menyalami Gus Shabir beserta kedua orang tuanya. Pemilik pondok pesantren itu cukup dekat dengan papi dari Anin itu, karena dia sering memberikan sumbangan buat kemajuan atau operasional pondok.
***
Saat ini semua sedang berkumpul di rumah kediaman Ghibran. Mereka sedang makan malam. Masakan Aisha selalu habis di santap karena kelezatannya.
"Anin, kamu mau melanjutkan ke mana, Nak?" tanya Ghibran sambil menyantap makanannya.
"Ke fakultas kedokteran apa boleh, Pi?" tanya Anin dengan suara lembut. Dia persis seperti Aisha. Bicara dengan suara yang sangat lembut.
"Tentu saja boleh, Nak. Kamu sendiri, bagaimana Hana?" tanya Ghibran pada adik lain ibu itu.
"Aku tak ingin melanjutkan sekolah. Aku ingin segera berumah tangga saja agar tanggung jawab Mas berpindah pada suamiku," jawab Hana.
Semua terkejut mendengar jawaban dari gadis itu. Bagaimana dia bisa berpikir akan menikah di usia yang baru delapan belas tahun.
"Apa kamu yakin dengan pilihanmu ini, Hana?" tanya Ghibran lagi.
"Iya, Mas. Aku yakin sekali. Aku tidak mau membebani kamu lagi," balas Hana.
"Aku tidak pernah merasa kamu menjadi bebanku. Bagiku kalian sama saja. Anak dan adik, adalah tanggung jawabku. Namun, jika memang itu sudah menjadi pilihanmu, aku hanya bisa mendukung. Apa kamu sudah ada calon suami sehingga memutuskan menikah dini?" Kembali Ghibran bertanya.
"Tidak ada, Mas. Tapi jika Mas mau, bisa melamar seseorang untukku. Jika dia memang jodohku, pasti Allah akan mempermudahkan jalanku."
"Katakan siapa pria yang telah merebut hatimu. Biar aku dan Aisha datang ke rumah orang tuanya untuk melamar," ucap Ghibran.
"Aku salat istikharah dulu, Mas. Untuk meyakinkan hati ini dengan pilihanku," jawab Hana.
"Baiklah, Hana. Aku menunggu jawaban darimu!" kata Ghibran.
**
Hari ini Ghibran dan Aisha datang kembali ke pondok pesantren. Mereka ingin menemui Kiyai Samsudin ayah dari Gus Shabir. Ada pun maksud kedatangannya untuk melamar pemuda itu sebagai calon suami adiknya Hana.
...----------------...
kurang slg memahami
gk da manusia yg sempurna
tp cinta yg menyempurnakan.
bukan cr siapa yg salah di sini
tp jln keluar bgaimna mmpertahankan pernikahan itu sendiri.
Coba lebih memahami dari bab" sebleumnya , Anin bilang kalau kasih sayang aisha trhdp Anin dan Hana itu sama ,jika Anin dibelikan mainan maka Hana pun turut dibelikan.memang dalam hal materi oleh Gibran dan Aisha mereka tidak membedakan ,tetapi dalam hal kasih sayang mereka tetap membedakan ,bahkan Syifa juga pernah bilang kalau dia lebih sayang Anin drpda Hana .Nah poiinnya adalah kenapa Hana bersikap seperti itu terhadap Anin ,karena dia belum pernah merasakan kasih sayang yang begitu besar dari orang terdekatnya .Jadi wajar saja semenjak dia menikah dia mempertahankan suaminya karena hanya dia yang memiliki ikatan paling dekat dengan Hana . Hana hanya ingin ada seseorang yang mencintai ,menyayanginya dengan besarnya ,maka dari itu dia mepertahnkan suaminya .
Hana memiliki trauma akan dkucilkan oleh orang" disekitarnya .
yang melamar kan Hana duluan 😃