Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Berapa uang yang harus aku ganti untuk menukar waktumu?" tanya pria itu dingin. Tanpa menatapnya dengan benar.
Jleb
Seketika sakit hati Nahla mendengar pernyataan seorang pria, yang bahkan sejak dari awal pertemuannya sampai sekitar empat bulan ini belum pernah senyum padanya. Bahkan, selalu menyapanya dengan wajah datar.
"Maaf, tapi saya tidak bisa izin sesuka hati, jika tidak penting dan mendesak," tolak perempuan itu dengan sopan. Mencoba meminta pengertiannya.
"Kamu pikir anak saya tidak penting?" tandas pria itu menatap dingin.
"Bukan begitu maksudku Pak, tapi besok saya harus mengajar, lagi pula kenapa tidak Bapak saja yang ngantar, ini kan acara putri bapak dan sifatnya penting." Bukan maksud Nahla tidak sopan, tetapi ia merasa permintaan Pak Hanan sedikit berlebihan mengingat di antara dirinya dan putrinya tidak ada hubungan selain guru dan muridnya.
"Kenapa jadi kamu yang memerintah, ini semua juga atas permintaan Icha, kalau bukan tentu saja saya akan mempertimbangkan merekomendasikan kamu sebagai pendamping Icha," jelas Pak Hanan lugas.
"Sekali lagi maaf, Pak, saya tidak bisa. Lagi pula saya hanya orang luar," tolak Nahla tak enak hati. Sedikit kesal ternyata ayah dari si cantik Icha yang manis itu benar-benar kaku dan cukup ngeyelan.
Nahla hanya seorang guru les untuk Icha. Besok ada acara study tour ke luar kota bertepatan dengan pria itu ada urusan pekerjaan dengan klien besar. Tentu saja urusan yang mendesak itu tidak bisa diwakilkan. Namun, pria itu selalu mengusahakannya untuk putrinya. Sayang sekali hari itu Icha rewel dan meminta Bu guru Nahla menemaninya.
"Apa harus menjadi orang dalam dulu baru mau berangkat?" tandas pria itu menyorot tajam.
"Maksud Bapak?" tanya Nahla tidak paham. Menelan ludah gugup ditatap sedemikian intens oleh manusia pelit senyum itu.
"Menjadi istri saya," jawabnya tenang, jelas dan yakin.
Seketika Nahla melongo di tempat. Apa katanya, istri? Yang benar saja, jadi maksudnya Pak Hanan barusan melamarnya. Tentu saja tidak mungkin, ia bahkan tidak pernah tersenyum padanya barang seulas, bagaimana bisa tiba-tiba menikah. Sungguh pria itu random sekali.
"Hehe, Bapak becanda ya. Pak, maaf, sebelumnya saya permisi dulu," pamit Nahla merasa harus mengakhiri obrolan mereka yang sedikit aneh tetapi nyata itu.
Di mana-mana orang mengajak nikah itu akan meminta dengan lembut dan anggun. Bukan seperti ngajak perang apalagi debat. Dasar pria irit senyum bin kaku.
"Berhenti! Apa perkataan saya terlihat guyonan dan lucu sampai kamu tertawa. Perlu aku hubungi kedua orang tua kamu malam ini juga untuk membuktikan perkataanku ini," ucap pria itu serius. Terlihat tidak ada keraguan di wajahnya sama sekali. Membuat seketika Nahla mengerem langkahnya.
Ini orang ngomong apa sih, serius kah? Haruskah aku mengaminkan? Rasanya tidak mungkin sekali mengingat hubungan mereka bahkan tidak dekat sama sekali.
"Izin untuk satu hari saja memang tidak bisa, haruskah aku menikahimu dulu agar kamu bersedia menemani putriku?" jelas Pak Hanan sedikit meninggikan suaranya.
Semakin tidak jelas dan menyebalkan. Mentang-mentang punya duit atau bagaimana ini.
Nahla menghela napas sepenuh dada. Kenapa terdengar serius sekali. Membuat seketika langkahnya menjadi rumit.
"Akan aku pikirkan nanti, saya permisi Pak," pamit Nahla mengangguk sopan.
Sementara Icha hanya mengintip dari dalam obrolan kedua orang dewasa itu. Gadis enam tahun itu terlihat murung.
"Bagaimana bisa memikirkan nanti, acaranya itu besok, malam ini juga seharusnya sudah ada keputusan yang membuatku tidak menunggu. Karena besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali," ujar Hanan kembali membuat hati seorang Nahla galau.
Perempuan itu terdiam beberapa saat, harus jawab apa? Apakah harus mengiyakan saja, bagaimana dengan tanggung jawabnya besok di sekolahan.
"Berikan nomor kedua orang tuamu, sepertinya kamu perlu bukti autentik," ujar pria itu menyodorkan ponselnya.
"Untuk apa?" tanya Nahla kebingungan.
"Untuk meminta izin dan restu pada orang tuamu, kalau kita akan menikah," ucapnya tenang, santai tetapi terlihat begitu serius.
Nahla tentu saja bingung, ngobrol saja bahkan tidak pernah, kenapa sekalinya keluar suaranya mengajak nikah. Seram sekali rasanya. Walaupun itu yang diinginkan Nahla sejak dulu, tanpa pacaran langsung menikah dengan seseorang yang tepat. Apakah pria itu yang tepat?
"Baiklah, saya akan mengabari selambatnya nanti malam," ucapnya sedikit galau.
"Masukan nomor orang tuamu di sini, nanti malam terlalu lama," ucap pria itu tak mau dibantah.
Ini orang maunya apa sih! Ini masalah hati dan kehidupan, kenapa terlihat menggampangkan sekali. Dia pikir menikah itu cuma tentang mereka berdua. Sudah ngeyelan, tidak tahu aturan juga.
"Tulis, saya tidak suka menunggu terlalu lama," ujarnya cukup mendesak.