NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Dinding Bicara, Rahasia Mengintai

Keheningan yang mencekik itu terasa lebih berat daripada beban batu nisan. Tidak ada suara lagi, tidak ada gerutuan, hanya detak jantung Risa yang memukul-mukul gendang telinganya sendiri dengan irama panik. Aroma melati yang tadi begitu pekat, kini seperti uap tipis yang menempel di setiap sudut ruangan, mengingatkan pada kehadiran tak kasat mata yang baru saja mengawasi mereka.

Kevin menelan ludah, matanya masih terpaku pada dinding di belakang lemari pakaian. Otaknya yang logis seolah mencoba mencari penjelasan rasional, tapi ekspresi wajahnya mengkhianati ketakutan yang merayap. "Ris... lo yakin itu cuma suara rumah yang berderit?" bisiknya, suaranya serak.

"Enggak," jawab Risa pelan, tangannya yang menggenggam erat liontin kunci ibunya kini terasa dingin, namun keringat dingin membasahi telapaknya. "Bukan. Terlalu dekat. Dan... hawa dinginnya itu. Persis kayak pas gue ngerasain kehadiran Ibu dulu." Ia menunjuk dengan dagunya ke arah dinding. "Rasanya kayak ada yang berdiri di sana. Atau... bersembunyi di baliknya."

Kevin mengernyit. "Bersembunyi di baliknya? Maksud lo, ada lorong rahasia atau apa gitu?" Ia mulai melangkah maju, sangat perlahan, seolah takut menginjak ranjau. Setiap langkah kecilnya diiringi bunyi decitan lantai kayu yang berumur, menambah horor di suasana yang sudah mencekam.

Risa buru-buru menahan lengannya. "Jangan, Vin! Jangan bergerak dulu." Ia memejamkan mata sesaat, mencoba memfokuskan indra keenamnya yang samar. Aroma melati itu semakin kuat, menusuk hidungnya. Kali ini, ia juga bisa merasakan sensasi seperti ada ujung jari-jari dingin yang menyentuh kulit lengannya, merambat pelan ke bahu. Bulu kuduknya meremang. Bukan, bukan hantu ibunya. Ini beda. Ini lebih... jahat. Lebih licik.

Sebuah bisikan tak jelas melayang di telinganya, seperti suara angin yang melewati celah sempit, membawa potongan-potongan kata yang tak bisa ia tangkap. Tapi ia mengerti pesannya. Peringatan. Bahaya.

"Ris? Lo kenapa? Muka lo pucat banget." Kevin menyentuh pipi Risa yang dingin. "Lo ngerasain sesuatu lagi?"

Risa membuka mata, menatap Kevin dengan tatapan campur aduk antara takut dan tekad. "Gue ngerasa... dia tahu. Dia denger semua yang kita omongin. Dan dia nggak suka." Risa melihat ke kalung kunci di tangannya, lalu ke buku harian ibunya yang tergeletak terbuka di lantai. "Mungkin dari awal dia udah ngawasin kita." Ia teringat kembali semua kejadian aneh: bayangan di cermin, pintu yang terbuka sendiri, bisikan-bisikan misterius. Itu bukan hanya arwah ibunya yang mencoba berkomunikasi, tapi juga sesuatu yang lain, yang menghalangi.

Kevin menarik napas dalam, berusaha tetap tenang. "Oke. Tenang, Ris. Kita nggak bisa panik. Kalau ada yang ngawasin, kita harus bersikap seolah nggak ada apa-apa." Ia kembali duduk di lantai, pura-pura memeriksa lembaran buku harian yang terbuka. "Kalau memang dia mendengar, dia nggak akan mau nunjukin diri sekarang. Dia cuma mau kita takut." Ia berusaha meyakinkan, bukan hanya Risa, tapi juga dirinya sendiri.

Risa mengangguk, mencoba mengikuti logika Kevin. Tapi ia tahu, rasa takut itu sudah menancap terlalu dalam. Ia memaksakan senyum tipis, menyembunyikan kalungnya di balik telapak tangan. "Oke. Sekarang kita lanjut baca buku ini aja. Mungkin ada petunjuk tentang suara tadi. Atau tentang siapa 'dia' itu." Ia berjongkok, kembali meraih buku harian itu.

Kevin dengan cepat mengambil posisi di samping Risa, melindunginya seolah-olah dirinya adalah perisai. Matanya masih sesekali melirik ke arah dinding, berjaga-jaga. "Oke. Mana yang tadi?" Ia menunjuk baris terakhir yang mereka baca.

Risa kembali fokus pada tulisan tangan ibunya, mencoba mengabaikan hawa dingin yang masih menyelimuti. Halaman itu terasa begitu rapuh, seolah bisa hancur kapan saja, membawa serta semua rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Ia membaca dengan suara pelan, suaranya sedikit bergetar:

*“...Ritual itu... mereka menyebutnya ‘Pemberkatan Bulan Purnama’. Sebuah cara untuk mengikat kekuatan. Tapi bukan hanya untuk melindungi. Juga untuk menguasai. Kekuatan yang bisa diambil dari garis keturunan kami. Kunci liontin ini, bukan hanya kunci fisik. Tapi juga kunci darah. Kunci untuk membangkitkan, atau mengunci selamanya. Lastri... dia tidak tahu kekuatan sebenarnya. Dia hanya tahu tentang harta. Bodoh. Harta yang dia inginkan itu hanyalah selubung. Kekuatanlah yang sesungguhnya dia incar. Kekuatan yang dia yakini bisa membuatnya abadi, tak terkalahkan. Tapi dia salah. Kekuatan itu punya harga. Harga yang sangat, sangat mahal. Dan aku... aku tidak akan membiarkan dia mendapatkannya. Tidak akan! Demi Risa, aku akan menguncinya. Selamanya.”*

Risa berhenti membaca, napasnya tercekat. Ia mengangkat wajah, menatap Kevin dengan mata membulat. "Kunci darah? Kekuatan? Harga yang sangat mahal?" Ia menunjuk liontinnya. "Ini... apa maksudnya?"

Kevin mengambil buku harian itu, membaca ulang paragraf tersebut dengan cermat. Matanya yang tajam menyusuri setiap kata. "Ini gila, Ris. Ritual, kekuatan, kunci darah... ini bukan cuma soal warisan rumah tua. Ini lebih besar dari yang kita duga. Dan 'harga yang sangat mahal'... apa maksudnya?"

Risa menunduk, memikirkan kata-kata ibunya. "Mungkin... nyawa?" bisiknya. "Apa jangan-jangan... Ibu dibunuh karena dia mau mengunci kekuatan itu? Melindungi gue?"

Udara di sekitar mereka terasa semakin berat. Kevin menggeleng pelan. "Itu mungkin saja. Kalau Lastri mengincar kekuatan yang bisa membuatnya 'abadi' atau 'tak terkalahkan', dia pasti nggak akan segan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Termasuk menyingkirkan orang yang menghalanginya." Ia menghela napas. "Tapi 'kunci darah' ini... apa yang membuatnya jadi kunci darah? Apa ada kaitannya dengan keturunan kalian?"

"Keturunan kami?" Risa mengerutkan kening. "Maksud lo... garis keluarga Ibu?" Ia tiba-tiba teringat percakapannya dengan Bibi Lastri beberapa waktu lalu, tentang kalung itu yang merupakan peninggalan leluhur.

Kevin mengangguk. "Iya. Biasanya dalam cerita-cerita kuno atau kepercayaan tertentu, ada kekuatan yang hanya bisa diakses oleh orang-orang dari garis keturunan tertentu. Makanya disebut 'kunci darah'."

Risa merasakan getaran aneh di dalam dirinya. Sebuah sensasi yang tak asing, namun kini terasa lebih jelas. Seolah ada sesuatu yang beresonansi dengan kata-kata Kevin. Ia memegang liontinnya yang kini terasa hangat di tangannya. "Berarti... gue? Gue juga punya kekuatan itu?"

Kevin menatap Risa, menyadari ekspresinya yang aneh. "Mungkin. Kalau lo memang keturunan langsung Ibu lo, dan Ibu lo bilang dia mengunci itu demi lo... bisa jadi kekuatan itu mengalir di dalam darah lo." Ia terdiam sejenak, lalu matanya terpaku pada liontin bulan sabit dan bintang. "Dan kunci ini... mungkin itu memang kunci untuk membangkitkan kekuatan itu dalam diri lo. Atau menguncinya, seperti yang Ibu lo lakukan."

Sebuah kilatan tajam melintas di benak Risa. Bukan ingatan, tapi seperti sebuah visi singkat. Ia melihat bayangan seorang wanita, dengan rambut panjang terurai, berdiri di tengah lingkaran aneh yang terbuat dari bunga-bunga kering dan lilin. Wanita itu mengangkat tangan, dan di telapak tangannya, liontin yang sama dengan miliknya bersinar terang. Lalu, bayangan itu bergeser, dan Risa melihat mata wanita itu. Mata yang penuh kesedihan, namun juga tekad. Mata ibunya. Dan di belakangnya, berdiri bayangan lain, lebih gelap, dengan senyum licik dan bekas luka samar di tangan kanan.

Risa tersentak, terhuyung mundur. Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya.

"Ris! Lo kenapa? Lo baik-baik aja?" Kevin dengan panik menahan Risa yang hampir jatuh. Ia melihat Risa berkeringat, napasnya terengah-engah, matanya terlihat ketakutan sekaligus bingung.

"Gue... gue ngelihat... Ibu," Risa tergagap. "Gue ngelihat Ibu. Lagi ngelakuin sesuatu. Dan... Bibi Lastri. Dia ada di sana. Dengan senyum licik itu. Dan bekas luka di tangannya!" Risa menunjuk-nunjuk tangannya sendiri, bergetar.

Kevin menatap Risa dengan tatapan khawatir. "Bekas luka? Lastri punya bekas luka?" Ia ingat Bibi Lastri selalu memakai sarung tangan atau baju lengan panjang.

"Iya! Di tangan kanannya! Sama persis kayak yang diceritain Ibu di buku harian!" Risa mencengkeram lengan Kevin. "Vin, ini bukan cuma firasat. Ini beneran. Ibu lagi ngasih tahu gue. Dia ngelakuin ritual itu. Dan Bibi Lastri ada di sana. Mungkin dia yang bikin Ibu nggak bisa nyelesain ritualnya!"

Logika Kevin mulai goyah di hadapan bukti-bukti yang Risa dapatkan lewat indra keenamnya. Bekas luka yang disembunyikan Bibi Lastri. Ritual yang disebut di buku harian. Visi Risa. Semua itu mulai membentuk sebuah gambaran yang mengerikan. Bibi Lastri bukan hanya mengincar warisan. Dia mengincar kekuatan. Dan dia terlibat langsung dalam malam kematian ibu Risa.

"Kalau begitu... suara *krak* tadi..." Kevin menatap dinding di belakang lemari lagi, kali ini dengan pandangan yang lebih gelap. "Mungkin itu bukan Bibi Lastri yang mengawasi kita. Tapi... dia. Entitas yang Bibi Lastri coba bangkitkan, atau kekuatan yang dia incar, sedang mengawasi kita." Suaranya merendah, nyaris tak terdengar. "Dan kalau memang benar, kekuatannya sudah ada di sini, di rumah ini. Terikat. Dan mungkin, sekarang sudah bangun."

Tiba-tiba, lampu di kamar Risa berkedip-kedip, lalu padam sama sekali, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Hanya cahaya rembulan yang samar menembus jendela, membentuk bayangan menakutkan dari pepohonan di luar. Suhu ruangan seketika anjlok. Aroma melati berubah menjadi bau anyir, menyeruak begitu kuat, mencekik.

Dan kemudian, dari arah dinding di belakang lemari, bukan lagi suara *krak* yang pelan. Tapi sebuah tawa. Tawa kering, serak, menusuk. Tawa yang terdengar sangat tua, sangat jahat, dan seolah datang dari banyak suara yang berbeda. Tawa itu menggema di seluruh ruangan, memenuhi setiap celah, merayap ke dalam telinga, ke dalam pikiran, mengancam untuk merobek kewarasan mereka.

Kevin spontan memeluk Risa, membalikkan badannya membelakangi dinding, melindunginya dengan tubuhnya. Ia merasakan Risa gemetar hebat dalam pelukannya. Tangannya meraih liontin kunci yang masih dipegang Risa, mencengkeramnya erat. Ia mendengar suara bisikan dari dinding, lebih jelas kali ini, seolah entitas itu kini berada tepat di balik kayu lapuk, berbicara langsung kepada mereka. Bukan lagi bisikan tak jelas, tapi kata-kata yang membentuk sebuah kalimat.

*“Kalian tak akan pernah bisa menguncinya. Kekuatan ini... adalah milikku. Dan kau, Risa... kau adalah kuncinya.”*

Kalimat itu, diucapkan dengan suara berdesir yang dingin, membuat darah Risa membeku. Dia adalah kuncinya. Kunci untuk membangkitkan kekuatan itu. Kekuatan yang diincar Bibi Lastri. Kekuatan yang ibunya coba kunci. Dan sekarang, entitas itu tahu. Entitas itu... tahu Risa ada di sini. Dan ia menginginkan Risa.

Kevin merasakan ada sesuatu yang merambat di kakinya, dingin dan lengket. Ia mencoba menggerakkan kakinya, tapi terasa ada yang mencengkeram, mengikat. Ia melirik ke bawah, dan di antara kegelapan, ia melihat bayangan hitam pekat, seperti akar-akar pohon yang bergerak sendiri, melilit pergelangan kakinya. Dan tidak hanya itu. Bayangan-bayangan serupa mulai bermunculan dari bawah lemari, dari celah-celah lantai, merayap cepat ke arah Risa. Rumah itu hidup. Dan kini, ia ingin menangkap mereka.

"Risa! Lari!" Kevin berteriak, mencoba mendorong Risa menjauh, tapi cengkeraman pada kakinya semakin kuat. "Sekarang! Lari!"

Risa melihat bayangan-bayangan itu merayap mendekat, dengan bau busuk yang kini menyengat. Visi ibunya, bisikan peringatan, semua itu kini menjadi kenyataan mengerikan. Ibunya tidak mengunci kekuatan itu untuk melindunginya dari Bibi Lastri semata, tapi juga dari entitas yang kini menghuni rumah ini, menunggu kesempatan untuk bangkit sepenuhnya. Dan Risa, dengan liontin di tangannya, adalah kuncinya. Kunci yang akan membuka gerbang neraka.

Ia harus lari. Tapi kemana? Seluruh ruangan terasa hidup, setiap bayangan adalah ancaman. Dan Kevin... Kevin sudah terperangkap.

"Kevin!" Risa berteriak, mencoba menarik tangan Kevin. Tapi terlambat. Bayangan hitam pekat itu sudah melilit seluruh tubuh Kevin, menyeretnya perlahan, sangat perlahan, menuju celah sempit di balik lemari, ke arah tawa menyeramkan itu berasal. Keheningan kembali memburu, hanya menyisakan derit pelan dan jeritan Kevin yang tertahan, perlahan menghilang ditelan kegelapan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!