Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : Jaring Labirin
Langkahnya semakin cepat, seolah ingin melarikan diri dari bayangan Vina yang masih menempel di benaknya. Dari tatapan sinis Pak Hendra yang menanti, dari ancaman terselubung Ibu Ratna, dan terutama, dari gejolak di hatinya sendiri. Ia seperti berada di tepi jurang, diapit dua tebing curam. Tebing kewajiban, masa depan Arya yang harus ia pertahankan dengan cara apa pun, dan tebing gairah terlarang yang memanggil namanya lewat sosok Arfan.
Napasnya tercekat saat tiba di depan pintu ruang rapat kecil yang sudah dijanjikan. Pak Hendra sudah duduk di sana, menyunggingkan senyum tipis yang terasa dingin. Ruangan itu kedap suara, seolah sengaja diisolasi dari seluruh hiruk pikuk kantor, dari semua mata yang mungkin mengawasi.
"Ayana, silakan masuk," sambut Pak Hendra, menunjuk kursi di hadapannya. Nada suaranya ramah, terlalu ramah untuk sebuah percakapan formal, pikir Ayana.
Ia duduk, menegakkan punggung, berusaha terlihat profesional meski jantungnya berdebar tidak karuan. Ada firasat tidak enak menyelimuti.
"Saya tidak akan bertele-tele," kata Pak Hendra, menyatukan jemari di atas meja. "Saya tahu situasimu. Janda muda, dengan seorang anak yang harus dibiayai. Posisi di perusahaan ini memang cukup strategis, tapi persaingan tidak sehat, kan?"
Ayana menahan napas. Pria itu langsung menusuk ke titik terlemahnya.
"Ini bukan tentang evaluasi kinerja, Ayana," lanjut Pak Hendra, matanya menatap tajam, seolah membaca isi pikirannya. "Ini tentang tawaran. Sebuah 'peluang' emas, jika kau mau melihatnya."
"Peluang apa, Pak?" Ayana berusaha menjaga suaranya tetap datar, meskipun ada kekhawatiran yang merayap di dadanya.
"Begini," Pak Hendra bersandar, ekspresinya berubah menjadi lebih santai, namun Ayana merasa justru ini yang lebih berbahaya. "Perusahaan kita sedang ada proyek besar, pembangunan resort di Bali. Proyek ini sangat krusial, dan saya membutuhkan seseorang yang bisa saya percaya untuk mengawasi langsung di sana. Posisi manajer proyek."
Ayana terkesiap. Manajer proyek? Itu adalah jabatan tinggi, dengan gaji dan tunjangan yang jauh melampaui posisinya sekarang. Sebuah lompatan karier yang luar biasa.
"Tapi, Pak... saya..." Ia tergagap, tidak mengerti mengapa tawaran sebesar ini justru datang padanya, yang notabene adalah bagian dari keluarga Arfan, yang kini sedang bersaing dengan Pak Hendra di jajaran direksi.
"Jangan meremehkan dirimu," potong Pak Hendra cepat. "Saya sudah mengamati kinerjamu. Kau cerdas, teliti, dan memiliki potensi besar. Dengan pengawasan langsung dariku, kau akan berkembang pesat."
"Namun, Pak, Bali itu jauh..." Ayana mencoba mencari alasan, memikirkan Arya. Meninggalkan putranya selama berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun, demi proyek itu? Tidak terbayangkan.
"Tentu saja. Dan kami akan menyediakan akomodasi terbaik untukmu dan anakmu," Pak Hendra menyela, seolah sudah membaca keberatannya. "Arya bisa sekolah di sana, di sekolah internasional. Kau tidak perlu khawatir soal biaya. Proyek ini akan menjamin masa depan kalian berdua."
Ayana terdiam. Tawarannya terlalu sempurna. Terlalu manis. Ada udang di balik batu, ia yakin itu.
"Apa... ada hal lain yang perlu saya lakukan, Pak?" tanyanya, suaranya pelan, mencoba menyelami maksud tersembunyi di balik kemurahan hati yang tiba-tiba ini.
Pak Hendra tersenyum tipis. "Hanya loyalitas, Ayana. Loyalitas penuh pada orang yang sudah membukakan pintu untukmu. Tentu saja, juga laporan rutin tentang kemajuan proyek, dan... hal-hal lain yang mungkin kau temukan di lapangan."
'Hal-hal lain' itu terdengar seperti sebuah sandi. Seolah Pak Hendra berharap ia akan menjadi mata-mata, atau setidaknya, informan untuk kepentingannya. Melaporkan apa? Kelemahan proyek? Atau mungkin, informasi terkait Arfan, yang juga memiliki saham besar di sana?
"Pikirkan baik-baik, Ayana," Pak Hendra menekankan, bangkit dari kursinya. "Ini kesempatan sekali seumur hidup. Jika kau menerimanya, hidupmu dan Arya akan terjamin. Tak perlu lagi memikirkan tekanan dari keluarga mendiang suamimu, atau... yang lainnya."
'Yang lainnya' itu adalah Arfan. Pria itu tidak menyebut nama, namun Ayana tahu pasti. Pak Hendra ingin menjauhkannya dari Arfan, dan menjadikan Ayana pionnya.
Ia mengangguk pelan, otaknya berputar cepat. Menerima tawaran ini berarti kenyamanan dan keamanan, tapi juga pengkhianatan terselubung. Menolak berarti kembali ke pusaran intrik yang belum pasti, dengan risiko kehilangan pekerjaan dan masa depan Arya.
Ketika Ayana keluar dari ruang rapat, kepalanya terasa pening. Langkahnya gontai, melewati koridor yang kini terasa begitu panjang. Ia ingin berteriak, menangis, berlari. Namun, ia harus tetap tegar.
Tepat di belokan koridor, ia menabrak seseorang. Hampir terjatuh jika saja sebuah tangan kekar tidak menahannya.
"Ayana? Kau baik-baik saja?" Suara itu. Suara Arfan yang hangat, yang selalu berhasil menenangkan badai dalam dirinya.
Arfan memegangi lengannya, tatapan matanya khawatir. Ayana mendongak, melihat ke dalam mata cokelat Arfan yang dalam. Ada kehangatan, perlindungan, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan, yang selalu menariknya.
"Aku... aku baik-baik saja, Pak Arfan," jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
"Kau tidak terlihat baik-baik saja," Arfan menyentuh lembut pipi Ayana, ibu jarinya mengusap jejak air mata yang bahkan tidak Ayana sadari sudah jatuh. Sentuhan itu seperti percikan api listrik, menyambar ke seluruh tubuhnya, menghangatkan bagian-bagian dingin dan ketakutan dalam dirinya.
"Apa yang terjadi? Kau baru saja bertemu Pak Hendra, kan?" tanya Arfan, nadanya lembut namun penuh kepastian. Matanya meneliti wajah Ayana, mencari jawaban yang ia sembunyikan.
Ayana mengalihkan pandangan. Bagaimana ia bisa menjelaskan tawaran mengerikan sekaligus menggiurkan itu? Tawaran yang bisa menyelamatkan Arya, tapi juga memaksanya menjauhi Arfan, bahkan mungkin mengkhianati pria di hadapannya.
"Tidak ada apa-apa, Pak Arfan," dustanya, berharap bisa menyembunyikan kebenaran.
Arfan menggeleng pelan. "Jangan pernah membohongiku, Ayana. Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Matamu tidak bisa berbohong." Ia menarik tangan Ayana, menggenggamnya erat. "Ikut aku."
Tanpa menunggu jawaban, Arfan menarik Ayana menuju tangga darurat yang jarang digunakan. Jantung Ayana berdebar kencang, antara takut dan gairah. Ia tahu ia tidak seharusnya mengikutinya, tidak seharusnya membiarkan dirinya ditarik lebih jauh ke dalam jurang terlarang ini.
Mereka sampai di salah satu lantai kosong, jauh dari keramaian dan mata-mata. Arfan melepaskan genggaman tangan Ayana, lalu membalikkan tubuh Ayana agar menghadapnya. Tangannya kini menyentuh kedua sisi wajah Ayana, menangkupnya dengan lembut.
"Lihat aku, Ayana," bisik Arfan, suaranya serak, menusuk langsung ke relung jiwanya. "Beritahu aku apa yang membuatmu sesedih ini. Apa yang membuatmu takut?"
Ayana menelan ludah. Wajah Arfan begitu dekat, napasnya menerpa kulit Ayana, memicu sensasi yang tak terkendali. Aroma maskulinnya memenuhi indra penciumannya. Ia merasa rentan, namun juga aman dalam pelukan tak kasat mata ini.
"Pak Hendra... dia..." Ayana mencoba berbicara, tapi kata-katanya tertahan di tenggorokan. Mengungkapkan tawaran itu terasa seperti meludahi kebaikan Arfan.
Arfan menghela napas, ibu jarinya mengusap lembut tulang pipi Ayana. "Jangan khawatir. Apa pun yang dia tawarkan, jangan terburu-buru menerimanya." Tatapannya berubah intens, penuh keinginan yang tak lagi bisa disembunyikan. "Aku akan menjagamu, Ayana. Aku akan memastikan kau dan Arya aman."
Satu kalimat itu, begitu sederhana namun begitu kuat, menghantam pertahanan Ayana. Menjaga? Apa artinya itu? Apakah Arfan tahu tentang perasaannya? Atau perasaannya sendiri terhadap Arfan?
Kepalanya dipenuhi bayangan Arya, wajah polos putranya. Dan Arfan, dengan tatapan yang kini mengunci Ayana, menariknya lebih dalam.
"Aku tidak bisa," bisik Ayana, mencoba menarik diri, mencoba lari dari intensitas tatapan itu. Namun, kakinya terpaku.
"Tidak bisa apa?" Arfan memajukan wajahnya, kening mereka hampir bersentuhan. Suaranya kini nyaris tanpa suara, hanya embusan napas hangat.
"Aku tidak bisa... membiarkan ini terjadi," Ayana memejamkan mata, merasakan gejolak dahsyat di dadanya. Perasaan bersalah, gairah, dan ketakutan bercampur aduk.
"Terlambat, Ayana," bisik Arfan, tepat di bibirnya, sebelum ia menutup celah di antara mereka. Bibir Arfan mendarat lembut, membasahi bibirnya, lalu menekan dengan gairah yang membakar. Ayana merasakan dunianya berputar, semua peringatan Vina, semua ancaman Ibu Ratna, semua kalkulasi Pak Hendra, lenyap ditelan ciuman Arfan. Ia tahu ini salah, ia tahu ini dosa, tapi ia tidak bisa berhenti. Tangannya refleks melingkar di leher Arfan, menarik pria itu lebih dekat, membalas ciuman terlarang ini dengan seluruh jiwa dan raganya yang haus.
Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut, seolah Arfan ingin menyedot semua kekhawatiran dan ketakutan Ayana. Tubuhnya melengkung, merapat sempurna ke tubuh Arfan yang tegap. Ia merasakan detak jantung mereka berdua berpacu tak karuan. Ini adalah garis batas yang sudah lama mereka hindari, dan kini telah terlewati dengan tabrakan gairah yang tak terbendung.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari bawah, memecah kesunyian di tangga darurat. Suara itu semakin mendekat, bersamaan dengan bayangan yang bergerak di antara jeruji tangga. Jantung Ayana mencelos. Ia mendorong Arfan dengan panik, mata mereka saling berpandangan, dipenuhi keterkejutan dan ketakutan yang sama.
Siapa yang akan muncul di balik bayangan itu? Dan apa yang akan terjadi jika mereka tertangkap basah di tengah gairah terlarang ini?
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini