Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Nala Sakit
Sudah jam 21.00 malam, Dana dan Raina belum ada tanda-tanda kembali. Nala merasa kesal dan marah, ditambah lagi saat ini tubuhnya sedang mengalami demam. Rasanya perasaan kesal itu bertubi-tubi.
Makanan dari sejak jam tujuh malam yang diantar Bi Marni ke kamar, belum Nala sentuh. Mulutnya terasa pahit dan tidak berselera makan.
"Ke mana saja kalian, Mas, sampai jam sembilan malam belum pulang, tidak tahukah kamu bahwa aku saat ini sedang benar-benar sakit?" gumamnya sedih, dan bulir-bulir itu akhirnya tidak bisa dibendung lagi.
Isak tangis menggema di dalam kamar, Nala sedang menumpahkan perasaan kesalnya dengan menangis.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar, Nala tidak menyadarinya karena ia tengah menangis. Menangis karena merasakan tubuhnya sakit dan menangis karena kecewa dengan Dana.
"Nala, Sayang. Kamu kenapa?" Dana menghampiri Nala lalu meraih tubuhnya. Seketika tangan Dana menjauh, karena tubuh Nala panas saat disentuhnya.
"Pergi, urus anak dan mantan istri Mas Dana. Aku tidak butuh uluran tanganmu. Pergilah," usirnya penuh emosi. Dana terdiam, dia merasa serba salah dengan sikap dan keadaan Nala saat ini.
"Ayo, aku bawa kamu ke RS. Tubuh kamu demam," ajaknya seraya meraih lengan Nala, berusaha mengangkatnya. Tapi Nala menepis uluran tangan suaminyaa, dia masih menangis dan emosi.
"Aku minta maaf, Raina ingin selalu aku temani. Tolong, kamu ngerti aku. Kamu sudah minum obat, aku ambilkan obat, ya?" Dana berdiri bermaksud mengambil obat di kotak P3K.
"Tidak perlu Mas Dana repot-repot. Pergilah urus Raina, dia butuh dikelon kamu," cegahnya semakin disesaki rasa emosi.
Dana terdiam, Nala sepertinya sedang cemburu pada Raina sang anak. Namun, dia juga seorang ayah yang wajib memberikan perhatian sama anaknya, terlebih selama ini Raina kurang kasih sayangnya imbas dari perceraiannya dengan Devana.
Nala meringis merasakan sakit di kepalanya, semakin ia menumpahkan emosi, maka kepalanya ikut sakit. Tapi rasa sakit hati dan kecewa dalam hatinya, mendorong dirinya untuk menumpahkan kemarahan atas sikap Dana.
Akhirnya Nala tertidur dalam isak tangis yang masih terdengar, rasa lelah dan kepala yang sakit juga tubuh yang demam memaksanya beristirahat meskipun sering kali Nala terbangun, dan mengigau.
Dana menatap khawatir tubuh Nala yang kini sudah terbujur tidur. Ia merasa bersalah terhadap istrinya. Tapi, semua yang dia lakukan saat ini, semata-mata demi sang anak. Dana ingin menumpahkan kasih sayang terhadap putri semata wayangnya saat ini, sebagai penebus rasa bersalahnya di masa lalu yang jarang dipertemukan dengan Raina oleh Devana.
Subuh menjelang, Nala sudah terbangun. Tubuhnya yang masih demam, ia paksakan untuk bangun. Nala harus turun ke bawah dan membuat ramuan obat untuk dirinya, dia tidak mau terlihat masih sakit dan menjadi bahan khawatir Dana lalu Dana pura-pura sibuk ke sana kemari membuatkannya obat atau mengambilkan air minum.
Sejak kepulangan suaminya malam tadi sehabis makan malam dengan anak dan mantan istrinya, hati Nala benar-benar dilanda kecewa berat, ia tidak bisa menerimanya.
Ini bukan semata rasa cemburu, tapi Nala ingin Dana bertindak tegas atas sikap Raina dan Devana mantan istrinya yang tanpa segan masuk rumah suaminya layaknya penghuni rumah. Dari sinilah emosi dan perasaan sakit hati Nala semakin besar.
"Non Nala, sudah bangun Non. Nona mau bikin apa, biar bibi buatkan?" Bi Marni menyambut Nala dengan keheranan, sebab tidak biasanya Nala turun ke bawah sepagi ini.
Meskipun Nala memang terbiasa bangun subuh untuk melaksanakan sholat Subuh, tapi Nala tidak pernah sampai turun ke dapur sepagi ini.
"Boleh Bi. Tolong buatkan air teh hangat saja. Badan saya demam dari kemarin. Dan sekujur tubuh saya sakit, sepertinya saya masuk angin dari kemarin," ujar Nala sembari memeluk tubuhnya merasakan hawa panas dingin di tubuhnya.
"Ya ampun Non Nala, apakah Non Nala sudah minum obat penurun panas?"
"Belum, Bi. Obat itu kan diminum harus setelah makan. Lagipula saya malas minum obat, saya kurang suka obat," sahutnya.
"Kalau begitu, sebaiknya Nona saya urut saja dengan bawang merah di sekujur tubuh, biar demamnya cepat sembuh. Sebentar ya, bibi bikinkan teh hangatnya."
Bi Marni segera membuat teh hangat untuk Nala, setelahnya ia mempersiapkan minyak zaitun dan bawang merah untuk mengurut Nala.
"Ini air teh hangatnya, Non." Nala langsung meraih gelas yang diberikan Bi Marni lalu meneguk teh hangat itu segera.
"Non Nala mau diurutnya di kamar atas atau ...."
"Di kamar tamu saja, Bi." Nala memotonh ucapan Bi Marni lalu bangkit dan menuju kamar itu. Bi Marni segera melaksanakan tugasnya mengurut Nala sesuai kemampuannya. Memang selama ini Bi Marni pandai mengurut, dan jika Nala masuk angin, ia sering minta tolong Bi Marni mengurutnya.
"Non Nala sudah berapa hari seperti itu, terus ada rasa mual tidak?" tanya Bi Marni menelisik. Bi Marni merasa ada yang beda dengan perut Nala, saat tadi merabanya, rahim Nala terasa mengeras.
"Apakah Non Nala sedang hamil, rahimnya berbeda seperti biasanya. Barusan saat aku raba terasa keras," duga Bi Marni dalam hati.
"Kalau masuk angin biasanya memang seperti ini, Bi. Mual dan kepala sakit," keluhnya membuyarkan kecurigaan Bi Marni.
Hampir setengah jam, Bi Marni mengurut sekujur tubuh Nala sampai majikannya itu tertidur. Bi Marni keluar dari kamar itu. Saat kembali lagi ke dapur, ia bertemu Dana yang sedang mencari Nala yang katanya sudah tidak ada di sampingnya pagi ini.
"Non Nala di kamar tamu Den, barusan saya sudah mengurutnya karena Non Nala masuk angin dari semalam," terang Bi Mimin.
"Ya sudah, Bi, terimakasih banyak," ucap Dana seraya bergegas menuju kamar tamu yang ditempati Nala. Tiba di sana, Dana melihat sang istri yang terlelap. Dana meraba tubuh Nala yang masih terasa panas.
"Aku minta maaf Sayang, terlalu mengabaikanmu. Kamu cepat sembuh, ya," bisiknya seraya meraih lengan Nala lalu dikecupnya. Kecupan Dana membuat Nala terbangun, dia membalikkan tubuh ke arah Dana, pada saat itu Nala berusaha menepis tangan Dana. Nala tidak mau bicara dengan Dana meskipun Dana mengajaknya bicara. Nala akan merajuk agar Dana bisa mengerti apa yang dirasakannya.
"Sayang, kamu masih marah? Kalau kamu marah karena aku lebih perhatian sama Raina, aku minta maaf. Kamu tahu, kan, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu kebersamaanku dengan Raina sia-sia begitu saja. Raina itu kurang kasih sayang dari aku sejak aku dan mamanya berpisah," tutur Dana berharap Nala mengerti.
"Aku mengerti Mas, dan itu tidak jadi masalah untuk aku. Yang jadi masalah adalah, kehadiran Mbak Devana dan sikap Raina sama aku. Aku hanya ingin Mas Dana tegas dan membuat peringatan pada Mbak Devana jangan berusaha mempengaruhi Raina dengan hasutan yang tidak baik. Karena aku yakin sikap Raina adalah atas hasutan mamanya."
"Kalau Mas Dana masih belum bersikap tegas, aku rela dilepaskan. Mumpung antara kita belum ada ikatan anak. Aku tidak apa-apa jika Mas Dana mau melepasku, karena jika melepasku tidak ada beban tanggung jawab atas diriku," lanjut Nala lirih sembari memiringkan tubuhnya membelakangi Dana.
"Ya ampun, Sayang. Itu lagi itu lagi yang kamu ucapkan. Sudahlah, saat ini kamu sedang sakit, kamu jangan emosi."
"Pergi, tidak usah sok perhatian sama aku," usirnya menepis tangan Dana, karena Nala terlanjur kecewa dengan sikap Dana yang dinilainya tidak tegas.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.