Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Suara dering handphone berbunyi terdengar, membuat Aira yang saat ini sedang sibuk mengenakan skincare serta make up sontak menoleh ke arah belakang. Perempuan berparas cantik itu menghentikan aktivitasnya, menaruh kembali beberapa peralatan yang sedang dirinya kenakan, lalu dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian mulai bangun dari atas tempat duduk, sebelum melangkahkan kaki menuju tempat benda pipih itu berada sekarang.
Aira mengambil handphone dari atas meja samping tempat tidur. Ia mendudukkan tubuh di sisi kanan kasur, lantas membuka benda pipih itu guna melihat sosok seseorang yang telah menghubunginya pada pagi hari ini.
Di dalam layar handphone, Aira dapat melihat nama ‘Ibu Rahayu—pengurus panti’ sedang berusaha melakukan panggilan telepon dengan dirinya. Ia terdiam sejenak saat melihat nama itu—seolah sedang memikirkan sesuatu—sebelum pada akhirnya mengangkat panggilan telepon dan menempelkan handphone ke telinga kanan agar dapat mendengar suara perempuan paruh baya itu di dalam sana.
“Halo, Bu …,” sapa Aira dengan suara pelan dan penuh kelembutan, saat panggilan telepon baru saja terhubung.
“Halo, Sayang … kamu lagi apa sekarang?” sapa balik Ibu Rahayu dari seberang telepon sana, suaranya terdengar begitu sangat hangat dan menenangkan.
Aira terdiam sejenak saat mendengar suara milik Ibu Rahayu, sebelum secara perlahan-lahan mulai mengukir senyuman manis penuh kelembutan dan membuka suara untuk memberikan jawaban. “Aira lagi siap-siap buat ngajar di kampus, Bu … ada apa, ya? Tumben banget Ibu nelepon Aira pagi-pagi gini … biasanya cuma chat.”
Ibu Rahayu tidak langsung memberikan jawaban, seakan perempuan paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu begitu sangat berat di seberang telepon sana, hingga membuat Aira spontan mulai mengerutkan keningnya—merasa takut ada hal-hal buruk yang kembali menimpa panti asuhan.
“Ibu … Ibu sama adek-adek panti nggak kenapa-napa, kan? Nggak ada orang yang gangguin kalian lagi, kan?” tanya Aira, nada suaranya mulai berubah dipenuhi oleh kekhawatiran sangat luar biasa saat berbagai macam delusi negatif mulai masuk dan memenuhi pikirannya.
Setelah Aira menanyakan akan hal itu, terdengar hembusan napas panjang dari seberang telepon sana, sebelum pada akhirnya Ibu Rahayu kembali membuka suara.
“Ibu sama adek-adek kamu baik, kok, Sayang. Panti udah nggak ada yang ganggu lagi … dan itu semua berkat kamu …,” jelas Ibu Rahayu, menghentikan ucapannya sejenak, sebelum kembali melanjutkan dengan nada suara terdengar penuh kekhawatiran serta keseriusan, “Kamu di sana baik-baik aja, kan, Sayang? Nggak ada hal-hal buruk yang lagi menimpa kamu, kan?”
Mendengar pertanyaan itu, membuat Aira spontan terdiam seribu bahasa. Ia menggigit bibir bawahnya cukup kencang lantas mulai menundukkan kepala, menatap perut rampingnya yang kini sedang mengandung janin milik mahasiswanya sendiri dengan begitu sangat sayu.
Detik demi detik berlalu, Aira menelan air liur dengan begitu sangat susah payah, lalu secara perlahan-lahan menggerakkan tangannya yang bebas untuk menutupi bibir mungilnya—berusaha menahan semua emosi yang hampir meledak begitu saja saat mengingat kembali semua kejadian buruk yang telah menimpanya. Perutnya terasa mengikat, seperti ada sesuatu yang mengganjal sangat kuat di dalam sana—sesuatu yang tidak bisa untuk dirinya katakan kepada satu orang pun—termasuk kepada Ibu Rahayu yang telah merawatnya dari kecil.
“Aira?” panggil Ibu Rahayu dari seberang telah sana, kini dengan nada suara semakin bertambah khawatir, “Kamu kenapa, Sayang? Suara kamu kenapa hilang … kamu lagi sakit?”
Aira memejamkan mata sejenak sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan—meskipun tahu bahwa Ibu Rahayu tidak akan bisa melihatnya. Napasnya mulai tersendat, tetapi dirinya berusaha keras untuk tetap menjaga suaranya agar stabil dan tidak menimbulkan kecurigaan.
“Aku … Aira baik-baik aja, Bu,” jawab Aira pada akhirnya, dengan suara yang begitu sangat pelan dan nyaris tidak terdengar sama sekali, “Cuma … akhir-akhir ini … Aira cape banget. Banyak hal yang harus Aira hadapi dan pikirkan.”
Ada jeda singkat dari seberang telepon—seolah Ibu Rahayu sedang berusaha mencari sesuatu dari jawaban yang telah Aira berikan.
“Kalau kamu cape, kamu pulang, ya, Sayang,” ucap Ibu Rahayu dengan suara sangat lembut, hangat, dan penuh cinta, “Ibu sama adek-adek kamu selalu nungguin kamu. Kamu nggak pernah sendirian di dunia ini, Aira.”
Ucapan itu membuat Aira semakin mengeratkan gigitan pada bibir bawahnya—usaha terakhir agar dirinya tidaklah mengeluarkan air mata. Tangannya yang ramping nan lentik secara perlahan-lahan mulai turun, menyentuh perutnya yang masih rata, tetapi kini sudah terasa sangat berbeda.
“Iya, Bu,” jawab Aira dengan begitu sangat lirih, sembari mengelus lembut perutnya, “Nanti … nanti Aira pulang.”
Setelah mengatakan hal itu, Aira dan Ibu Rahayu melanjutkan obrolan beberapa kata, sebelum menutup panggilan telepon sepenuhnya.
Aira menurunkan handphone dari telinga kanannya, menaruh benda pipih itu di sisi kiri kasur, lantas segera memeluk erat kedua lututnya.
“Maaf … maafin Aira, ya, Bu … Aira nggak bisa jaga diri baik-baik di sini … Aira benar-benar minta maaf ….”
•••
“Aish … aku benar-benar masih kepikiran sama mimpi barusan … kenapa aku tiba-tiba aja mimpi kayak gitu? Perasaan sebelum-sebelumnya nggak pernah … apa yang sebenarnya udah terjadi? Kenapa ada ibu Aira sama anak perempuan? Dan kenapa mereka berdua manggil aku dengan sebutan ‘papa’? … Argh … bikin pusing, Sialan!”
Azka mengusap-usap kasar wajah tampannya saat masih terus-menerus mengingat serta memikirkan tentang mimpi yang baru saja dirinya alami beberapa puluh menit lalu. Ia menghela napas panjang beberapa kali, lalu segera mengalihkan pandangan ke arah kanan—menatap ke luar melalui salah satu jendela ruangan tengah apartemen miliknya—berusaha mencari jawaban dari mimpinya itu.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena atensinya Azka seketika teralihkan ke arah depan saat tiba-tiba saja mendengar suara Pixel sedang mengeong kepada dirinya.
Dari tempatnya berada sekarang, Azka dapat melihat sosok Pixel yang sudah berada tepat di hadapannya—padahal, kucing itu tadi sedang makan serta bermain bersama Livia dan Rhea.
“Ada apa lagi, Pixel? Udah kenyang makannya?” tanya Azka, sembari menggerakkan kedua tangan untuk mengangkat tubuh mungil milik kucing barunya itu.
Pixel mengeong sekali lagi—lebih pelan, lebih lembut—seakan tahu bahwa pemilik barunya itu sedang tidak baik-baik saja.
Azka menghela napas panjang saat mendengar hal itu, menaruh Pixel di atas pangkuannya dan mulai memberikan elusan lembut. “Lu tahu kalau gue lagi mikirin sesuatu, ya? Tapi, gue yakin lu nggak akan bisa ngasih solusi … Jadi, gue nggak akan ceritain ini ke lu … mungkin bakal gue ceritain kalau benar-benar udah sangat mengganggu ….”
Setelah mengatakan hal itu, atensi Azka seketika teralihkan kembali ke arah depan saat tiba-tiba saja mendengar suara Rhea sedang memanggil namanya.
“Az, taruh dulu Pixel di rumahnya … kita harus berangkat ke kampus sekarang. Sejam lagi ada kelasnya ibu Aira,” ucap Rhea, seraya mengalihkan pandangan ke arah belakang saat mendengar Livia sedang bersenandung kecil.
Azka terdiam sejenak saat mendengar Rhea menyebut nama ‘Aira’, tetapi tidak berlangsung lama, karena dirinya sesegera mungkin menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban, sebelum bangun dari posisi duduk dan melangkahkan kaki menuju rumah kecil milik Pixel berada.
“Aku hampir lupa kalau sekarang ada kelasnya beliau. Kayaknya aku bisa nyari jawaban dari mimpiku di sana … semoga aja ….”
Azka menutup rumah kecil Pixel secara perlahan, lalu menarik napas panjang. Ada sesuatu dalam dadanya yang terasa mengganjal—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, satu hal yang pasti: ia harus melihat Aira hari ini.