NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak yang Terkoyak di Antara Dua Dunia

Sena berjalan keluar dari gua pelatihan dengan langkah stabil—lebih stabil dari sebelumnya. Aura di tubuhnya tidak lagi berkobar liar. Ia terasa seperti bara yang dikendalikan oleh tekad yang tajam, bukan oleh kemarahan yang membutakan.

Irawa mengikuti di belakangnya, memperhatikan perubahan itu dengan perhatian seorang pemimpin yang jarang sekali menunjukkan kekaguman.

“Sena,” panggil Irawa. “Apa kau benar-benar yakin tubuhmu sanggup?”

Sena tidak berhenti berjalan. “Jika aku tidak mencoba, maka Cai sendirian di sana.”

Irawa menghela napas. “Aku tidak bertanya soal motivasimu. Aku bertanya soal batas tubuhmu.”

Sena menoleh sedikit. Tatapannya tajam, tetapi tidak meledak-ledak.

“Tubuhku akan menyesuaikan diri,” jawabnya. “Itu selalu begitu.”

Irawa ingin membantah, tetapi kemudian ia melihat sesuatu yang baru:

Ketika Sena melangkah, lantai obsidian di bawahnya tidak lagi retak oleh panas berlebih. Energinya terkendali. Itu cukup bukti bahwa teknik Bara Tua yang baru dipelajari Sena benar-benar menyatu dengan dirinya.

Akhirnya mereka tiba di area portal.

Di sana, retakan dimensi masih berputar pelan. Cahaya biru-perak membentuk lingkaran besar yang tidak stabil namun tidak sepenuhnya kacau. Pusaran itu kini tampak lebih besar dibanding sebelumnya—seolah bertambah kuat setelah Cai memasukinya.

Para penjaga Bara Lembut memalingkan wajah ketika melihat Sena kembali. Aura stabilnya membuat mereka tak bisa memprediksi kekuatannya. Ia seperti nyala api yang tenang, namun semua makhluk api tahu: ketenangan ialah tanda bahaya tertinggi.

“Siapkan perimeter,” perintah Irawa. “Tidak ada yang mendekat lebih dari sepuluh langkah.”

Para penjaga bergerak cepat.

Sena berdiri tepat di depan portal, merasakan tiupan energi air dan api yang bertabrakan di dalam retakan.

Suasana hening. Hanya suara pusaran dimensi yang seperti napas panjang dan berat.

Kemudian Sena menutup mata.

“Cai…” bisiknya. “Tunjukkan aku… jejakmu.”

Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi.

Lalu, perlahan, titik-titik cahaya kecil muncul dari dalam pusaran. Semacam serpihan perak yang bergerak seperti bulir air berbentuk pecahan kaca. Serpihan itu mengitari Sena, tidak menyakitinya, melainkan melingkari dirinya seolah mengenali jiwa yang ia cari.

Para penjaga terperangah.

“Apa itu?” tanya salah satu dari mereka.

Irawa memajukan diri. “Itu… jejak jiwa. Jejak milik Cai.”

Sena memandang serpihan itu. Setiap serpihan membawa kilasan ingatan atau emosi: suara tawa lembut Cai, dingin airnya yang anehnya menenangkan, bahkan rasa takut yang samar sebelum ia masuk.

“Dia masih hidup.”

Suara Sena terdengar sangat pasti—tak terbantahkan.

Irawa mengernyit. “Kau bisa merasakannya?”

Sena mengangguk. “Tidak hanya itu… dia memanggilku.”

Serpihan itu perlahan memanjang, membentuk sebuah garis tipis yang mengarah langsung ke pusat retakan.

Sena melangkah maju.

Namun Irawa segera memegang bahunya. “Tunggu.”

Sena menoleh.

“Teknik Bara Tua hanya menjaga jiwamu tetap stabil. Tapi tubuhmu… jika kau mendekat terlalu cepat, gelombang energi bisa meretakkan kulitmu.”

Sena memandang tangan Irawa yang menggenggamnya. “Maka buatkan jalannya. Kendalikan gelombang retakan. Itu bukan hal baru bagimu.”

Irawa terdiam sejenak.

“… Kau benar-benar berubah.”

“Aku tidak punya waktu untuk tetap sama,” jawab Sena datar.

Irawa akhirnya melepaskan bahunya. “Baik. Aku akan buka jalan untukmu—tapi hanya sampai batas aman.”

Sena mengangguk.

Irawa mengambil posisi.

Ia menekuk lutut, kedua lengannya terangkat ke depan. Api biru menyala dari matanya. Energi Bara Lembut yang biasanya lembut kini berubah menjadi badai yang liar namun terkendali.

“Kusutkan gelombang… arahkan ritme retakan…”

Irawa mulai melafalkan mantra Bara Tua. Setiap kata keluar seperti kilatan listrik yang merambat melalui dinding batu.

Ruang di sekitar portal bergetar.

Retakan dimensi merespons. Pusaran yang tadi kacau kini membentuk pola spiral lebih teratur, membuka celah kecil di antara gelombang energinya.

“Sena!” teriak Irawa.

Sena langsung melangkah.

Semakin dekat ia berjalan, tubuhnya bergetar hebat. Gelombang energi retakan menabrak tubuhnya seperti angin ribut yang mencoba merobek kulit.

Namun teknik Bara Tua bekerja.

Retakan di kulit Sena menyala merah-emas, menutup setiap kali gelombang menyerang. Ia menahan napas, fokus, menjaga inti apinya agar tetap stabil.

Hanya satu nama di pikirannya.

Cai.

Ia melangkah lagi.

Dan lagi.

Akhirnya ia sampai di batas terluar pusaran—tempat yang bahkan para penjaga tidak berani mendekat.

Sena mengangkat tangan ke retakan.

Serpihan cahaya perak yang mengikuti dari tadi berkumpul di sekitar telapak tangannya. Cahaya itu memanjang, membentuk semacam simbol kuno—lingkaran air yang berputar di dalam garis api.

Irawa menyipitkan mata. “Simbol perpaduan… simbol kuno yang hilang sejak zaman pecahnya dua dimensi…”

Sena tidak mendengar.

Ia menempelkan telapak tangannya ke pusaran.

Dan tiba-tiba—

BREDESSSSHH!

Gelombang cahaya menyeruak keluar, meledak seperti ledakan sunyi yang menggetarkan dada semua makhluk api di area itu.

Para penjaga tersungkur.

Irawa menancapkan tongkatnya ke tanah agar tidak terdorong mundur oleh gelombang itu. “Apa yang dia lakukan?!”

Cahaya mereda perlahan.

Sena masih berdiri di tempat, namun seluruh tubuhnya dipenuhi garis-garis cahaya merah dan perak yang saling melingkari.

Seolah tubuhnya menjadi jembatan.

“Aku…” Sena menarik napas panjang.

“Aku bisa melihatnya.”

Irawa menegang. “Melihat siapa?”

Sena membuka mata.

Mata itu—api merah bercampur kilatan perak—bukan mata Sena yang sebelumnya.

“… Cai.”

---

Di sisi lain retakan, Cai duduk bersandar pada dinding biru tua yang bergetar halus. Napasnya berat. Lengan kirinya penuh retakan putih dari energi retakan yang memaksa masuk ke tubuhnya.

Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berada di tempat itu.

Retakan dimensi berbeda dari ruang fisik mana pun. Tidak ada siang atau malam. Tidak ada waktu linear. Di satu titik, suara-suara terasa jauh, lalu tiba-tiba dekat. Kadang retakan membuka celah menunjukkan Air Biru. Kadang memperlihatkan Api Merah. Kadang memperlihatkan sesuatu yang bukan dari kedua dunia.

Namun Cai tidak menyerah.

Ia menggenggam kristal kecil—kristal retakan yang ia rebut dari makhluk penjaga dimensi beberapa waktu lalu. Kristal itu adalah kunci untuk menstabilkan sambungan retakan… sekaligus untuk membuka jalur pulang.

“Tinggal sedikit lagi…” gumam Cai.

Namun tiba-tiba ia mengangkat wajah.

Sebuah cahaya merah bercampur perak muncul dari kejauhan retakan, seperti garis api yang menembus kabut dimensi.

Dan suara itu—

“Cai.”

Cai membeku.

Itu suara yang ia kenal.

“Sena…?” bisiknya tak percaya.

Cahaya merah-perak semakin dekat.

Cai berdiri, meski tubuhnya goyah. “Sena! Kau tidak boleh—retakan ini berbahaya!”

Cahaya itu pecah menjadi kilatan kecil, dan Cai melihat siluetnya.

Sena.

Dengan tubuh retak bercahaya, mata yang bersinar seperti dua dunia bertemu.

Dan ketika Sena berbicara—suara itu mengguncang ruang retakan.

“Aku datang menjemputmu.”

Cai merasakan sesuatu menusuk dadanya.

Bukan sakit.

Bukan takut.

Tapi rasa hangat yang ia kira tidak mungkin dimiliki makhluk air.

Sena melangkah maju, namun retakan merespons, berusaha mendorongnya kembali. Gelombang energi menampar tubuhnya. Retakan itu tahu ia bukan bagian alamnya.

“Sena! Kembali! Tembusannya belum stabil!” teriak Cai.

Tetapi Sena hanya tersenyum—senyum yang jarang sekali ia tunjukkan.

“Aku tidak peduli.”

Gelombang berikutnya datang lebih kuat, namun teknik Bara Tua menahan retaknya. Sena terus melangkah, meski kulitnya mulai pecah lagi.

Cai melihat itu, panik. “Berhenti! Kau bisa hancur!”

“Aku bukan api yang mudah padam,” jawab Sena.

Cai menggertakkan gigi. “Tapi tubuhmu—”

“Tubuhku bisa sembuh.”

“Apa kau tidak takut?!”

Sena berhenti satu langkah dari Cai.

Ia menatap langsung ke mata makhluk air itu.

“Aku hanya takut satu hal, Cai.”

Cai terdiam.

“Aku takut kehilanganmu.”

Cai mengembuskan napas pelan.

Retakan berhenti bergetar.

Waktu terasa berhenti.

Sena mengulurkan tangan, penuh retakan cahaya merah-perak.

“Pulanglah bersamaku.”

Cai menatap tangan itu.

Tangan api.

Tangan yang tidak seharusnya bisa ia sentuh.

Namun kini cahaya perak dari retakan di tubuhnya—cahaya yang berasal dari Cai sendiri—seolah menjembatani elemen mereka.

Perlahan, Cai mengangkat tangannya.

“Sena…”

Ia hampir menyentuh tangan itu.

Namun tepat sebelum kulit mereka bersentuhan—

Retakan mengamuk.

Sebuah bayangan besar muncul di belakang Cai. Tubuhnya seperti bentuk air hitam yang besar, mata putih menyala seperti kabut dingin.

Penjaga Retakan.

Makhluk yang melindungi inti dimensi.

“Cai! Mundur!” teriak Sena.

Namun bayangan itu bergerak lebih cepat.

Tangan besar berair hitam itu menyambar Cai dan menariknya ke dalam kegelapan retakan yang lebih dalam.

Sena berteriak, “CAI!”

Dan sebelum Sena sempat mengejar—

Retakan menutup celah di antara mereka.

Cai menghilang.

Sena berdiri dalam cahaya peraknya yang runtuh.

Dan untuk pertama kalinya—

Api di tubuhnya mati nyalanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!