Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Sebelum Vincent masuk kamar mandi, ia sempat mengecek ponselnya. Mata tajamnya mengerut. Puluhan panggilan tak terjawab dari Natan dan Louis memenuhi layar. Itu bukan tanda baik.
Segera ia menekan kontak Natan asisten setia kakeknya sejak dulu.
“Hallo,” ucap Vincent dingin.
“Ha..hallo tuan… maaf mengganggu. Tuan besar masuk rumah sakit… dan keadaannya kritis,” suara Natan terdengar bergetar.
Vincent langsung menegang.
“Apa yang terjadi? Apa jantungnya kambuh?” nada Vincent tetap datar, tapi rahangnya mengeras.
“Tidak… tuan. Maafkan saya… tuan besar tertembak di rumah.”
Wajah Vincent langsung berubah gelap. Ia menggenggam ponsel begitu kuat sampai buku jarinya memutih.
“Katakan dengan jelas, sialan. Apa yang kau lakukan? Kenapa kakek bisa tertembak?” suaranya rendah tetapi sangat tajam.
“Ma-maaf tuan… beliau ditembak saat sedang duduk di balkon kamar… saya… saya terlambat menyadari ada penembak dari kejauhan…”
Vincent menutup mata sesaat, menahan amarah yang sulit dibendung.
“Sial. Apa saja yang kau lakukan! Kenapa bisa seperti ini? Dasar tidak becus!” bentaknya.
Suara Vincent yang tiba-tiba meledak membuat Olivia, yang sedang menggendong bayi, langsung terkejut.
‘Kenapa pria ini… tidak bisakah mengecilkan suara?’ batin Olivia kesal, tapi juga khawatir melihat ekspresi Vincent.
Setelah memutus telepon, Vincent langsung menelpon Dominic.
“Dom, kirimkan helikopter ke Maldives. Aku tunggu di sini. Dan pastikan keamanan kakek. Sekarang.” Suaranya dingin, tidak memberi ruang debat.
“Baik tuan, sudah aku siapkan sejak tadi,” jawab Dominic. Ia tampaknya sudah tahu apa yang terjadi.
Vincent memasukkan ponsel ke meja, lalu menatap Olivia.
“Kemasi barang. Cepat. Bawa yang penting saja,” perintahnya singkat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Olivia bingung.
“Kita pulang,” jawab Vincent dingin, kemudian masuk kamar mandi.
Olivia mengerutkan kening. Semuanya terasa terlalu mendadak, tetapi ia mengikuti perintah dan mulai mengemasi barang bayi terlebih dahulu.
* * * *
Beberapa jam kemudian, Vincent dan Olivia sudah tiba kembali di mansion mereka. Rumah besar itu terasa lebih dingin dari biasanya seperti menyimpan aura buruk.
Olivia membawa bayi ke kamar, ditemani baby sister baru yang direkrut Louis.
Sementara itu, Vincent duduk di ruang kerjanya bersama Louis, Dominic, dan Max. Wajahnya gelap, seperti badai yang siap meledak kapan saja.
“Maaf Vincent,” Louis membuka berkas investigasi. “Kami sudah menyisir area rumah kakek, tapi tidak ada tanda mencurigakan. Namun… ada satu hal. Sebuah sedan Subaru WRX melintas tepat sebelum dan sesudah kakek tertembak. Waktunya terlalu pas.”
Vincent mengusap pelipisnya.
Ada kemarahan yang tidak terucap.
Kakeknya tidak punya musuh.
Jadi… ini pasti musuh Vincent.
“Cari. Seret siapa pun itu ke hadapanku,” geram Vincent, matanya merah oleh emosi.
Louis, Dominic, dan Max hanya bisa mengangguk.
Mereka pun bergegas menjalankan tugas, sementara Vincent bersiap pergi ke rumah sakit bersama Olivia.
* * * *
Di kamar Valerie, Olivia bertemu baby sister baru.
“Hallo nyonya, saya Eve,” ucap wanita paruh baya itu lembut. Wibawanya terlihat dari cara berdiri dan caranya menggendong bayi. “Saya sudah bekerja sebagai baby sister selama 10 tahun.”
“Selamat datang, Sus Eve,” jawab Olivia ramah. “Ini Valerie. Saya harap suster bisa menjaganya dengan baik.”
Walau Olivia biasanya berhati-hati terhadap orang baru, dari tatapan Eve saja ia bisa merasakan ketulusan.
“Tentu nyonya. Saya akan menjaga nona Valerie sebaik mungkin.”
“Bagus. Apa kamarnya sudah disiapkan?”
“Sudah, nyonya. Di sebelah.”
Olivia mengikuti Eve masuk ke kamar Valerie.
Begitu melihatnya… ia terdiam.
Kamar itu sangat mewah.
Lembut, hangat, dengan perlengkapan bayi lengkap dari ujung ke ujung. Segala yang terbaik ada di sana.
‘Ugh… rumah barumu, sayang. Semoga kamu betah,’ batin Olivia sambil tersenyum tipis.
Setelah meletakkan Valerie, Olivia kembali ke kamarnya.
Namun baru ia membuka pintu
“Ck. Kau ini mengagetkan saja,” gumamnya melihat Vincent duduk di sofa, menunggu.
“Apa kamu sudah urus Valerie?” tanya Vincent datar.
“Tentu. Dan sepertinya Sus Eve lebih ahli daripada aku.”
“Bagus. Sekarang siap-siap. Kita ke rumah sakit.”
Olivia memandangnya, bingung sekaligus khawatir.
“Aku penasaran… ada apa dengan kakek? Kau tidak bilang apa-apa sejak tadi.”
“Kakek tertembak.”
Olivia sontak menutup mulutnya.
“Apa?! Tertembak? Bagaimana bisa?”
“Pelankan suara. Aku tidak tuli.”
“Ma-maaf… tapi bagaimana bisa?”
“Entahlah. Sepertinya ada yang mengincarnya.”
Wajah Olivia langsung pucat.
“Ayo. Aku ingin lihat keadaannya.”
Vincent hanya mengangguk dan berjalan keluar. Olivia mengikuti.
* * * *
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di ruang VIP rumah sakit.
Begitu Olivia melihat kakek Vincent terbaring dengan alat medis di seluruh tubuhnya… hatinya langsung remuk.
“Kakek…” gumam Olivia pelan, suaranya pecah.
Ia mendekat, menggenggam tangan tua yang kini tampak begitu rapuh.
“Kakek… kami datang. Bangun ya…” bisiknya.
Vincent berdiri di sampingnya.
Matanya tak berkedip menatap satu-satunya keluarga yang ia punya.
Di sudut ruangan, Natan terlihat ketakutan setengah mati. Louis sampai menepuk pundaknya, meminta dia tetap tenang.
Vincent akhirnya menarik napas panjang dan memberi isyarat pada Natan dan Louis untuk pindah ke ruang kecil di dalam kamar itu.
Begitu Vincent duduk, Natan langsung jatuh berlutut.
“Tuan… maafkan saya! Saya sangat lalai menjaga tuan besar! Ampuni saya!”
“Diam,” ucap Vincent dingin. “Jelaskan apa yang terjadi.”
Natan pun menceritakan detail kejadian.
Tangan pria itu bergetar terus-menerus.
“Berdasarkan laporan… pelurunya berasal dari senapan runduk. Bisa dipastikan itu… sniper,” tambah Natan.
Olivia yang mendengar dari pintu langsung membeku.
‘Sniper?’ batinnya tercekat.
Saat itu dokter masuk.
“Tuan masih belum sadar. Luka tembaknya cukup dalam, tapi untungnya tidak mengenai organ vital. Sepertinya tuan besar berusaha menghindar saat ditembak.”
“Berusaha menghindar?” Olivia mengulang dengan mata melebar.
“Iya, nyonya. Sniper biasanya mengincar bagian vital. Luka ini tidak fatal karena beliau sempat bergerak cepat.”
Olivia tertegun.
‘Siapa yang mengincar kakek?’
“Mana pelurunya?” tanya Vincent dengan suara yang lebih gelap dari sebelumnya.
“Ini, tuan.” Natan memberikan peluru panjang itu.
Vincent memeriksanya.
Olivia ikut melihat dari dekat…
Dan ia terdiam.
‘Tunggu… ini peluru lama. Sudah tidak diproduksi bertahun-tahun…’ batinnya.
Ini peluru yang dulu sangat populer…
Di kalangan sniper profesional.
Dan satu hal lagi
Olivia mengenali jenis peluru itu.