Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Ada apa dengan Narendra
Kediaman Narendra.
Sesuai perintah Narendra, Naqeela masuk kedalam kamar sang suami guna membereskan kamar itu.
Ia menghela nafas tatkala pandangannya tertuju pada setiap barang yang ada di kamar itu. Bantal, guling, kain sprei berantakan berceceran kemana-mana. Lantai kotor oleh bekas makanan ringan, baju kotor berserakan, bahkan kamar itu terkesan bak seperti kapal pecah.
"Kenapa kamar ini berantakan dan kenapa juga aku yang selalu jadi orang yang membereskan rumah ini? Kenapa sejak aku kesini tidak ada satupun pembantu di rumah ini? Apa pria itu dan ibunya sengaja ingin menghukum ku dengan menyiksaku begini?" gumam Naqeela sambil berjalan masuk kedalam kamar dan memungut satu persatu baju yang berserakan dilantai.
Kemudian, Naqeela menyimpan tumpukan baju kotor itu di keranjang baju kotor, beralih membersihkan tempat tidur, dan menyapu lantainya.
Ceklek.
Pintu terbuka memperlihatkan Narendra. "Yang bersih kalau mengepel," kata Narendra ketika Naqeela sedang memegangi pel. Pria itu masuk begitu saja sampai mengotori lantainya lagi.
"Mau bersih gimana kalau lantainya terus di injak," jawabnya saking kesal pada Narendra yang sudah membawa kursi berlumpur. Entah habis dari mana pria itu sampai-sampai rodanya terlihat kotor sekali.
"Ini tugas kamu membersihkannya, jadi jangan ikut campur apalagi membantah! Buruan kerjakan atau saya hukum kamu."
naqeela menghela nafas berat. "Tapi aku minta kamu diam di kasur saja, pergerakan kamu membuat pekerjaanku bertambah banyak. Mohon pengertiannya bapak Narendra." Naqeela sampai menangkupkan kedua telapak tangannya memohon pengertian Narendra saking kesalnya pada pria itu.
"Saya tidak peduli!" Pria itu hendak menjalankan kursinya, tapi Naqeela menarik pegangan kursi itu, menahannya untuk tidak pergi.
"Mana bisa begitu, aku sudah mengerjakan ini semua dan dengan seenaknya kamu mengotori lagi. Tidak akan kubiarkan kamu mengusik kerjaan aku lagi," kata Naqeela eserius.
Dahi Narendra nampak berkerut. "Kamu sudah berani melawan saya? Lepaskan!"
"Tidak mau! Enak saja membiarkan kamu berkeliaran mengotori lantainya. Aku tuh capek tau," balas Naqeela kekeh dengan pilihannya.
Wajah Narendra berubah dingin, pria itu mencoba menggapai tangan Naqe5 guna melepaskan pegangannya di kursi dia. "Saya bilang lepaskan! Atau ..."
"Atau hukumannya saya tambah. Itu kan yang ingin kamu bilang? Aku sudah tidak peduli lagi dengan semua ancaman darimu. Mau kamu lenyapkan aku pun silahkan, aku tidak peduli!" balas Naqeela sudah tidak takut lagi pada ancaman Narendra. Dia berusaha menebalkan muka, menguatkan mental, menahan semua rasa kesal dan amarah, serta mencoba menerima semua yang terjadi pada dirinya sendiri. Naqeela sudah pasrah jika harus meninggal di tangan Narendra.
Seketika Narendra terdiam, namun dia kembali mencoba melepaskan tangan Naqeela. "Lepaskan tangan kamu! Saya mau mandi!" Narendra menggapai pergelangan tangan Naqeela menarik perempuan itu kedepan.
Cekalannya pun mulai terlepas dan Naqeela terhempas kedepan.
"Aw, bokong ku. Sakit tau, bisa tidak sih tidak kasar begini? Aku ini is ..."
"Saya tidak peduli, jangan pernah sekalipun mencoba mengambil simpati saya karena saya tidak akan pernah percaya sama tampang polos kamu!" Lalu Narendra hendak pergi, tapi Naqeela segera menahan bagian kaki kursi rodanya.
"Le ..."
"Apa aku terlihat seperti orang jahat dimata kamu? Aku tidak benar-benar melenyapkan calon istri kamu. Apa dengan cara menikahiku dia akan kembali lagi dan kamu akan puas sedangkan aku bukanlah pembunuhnya?" tanya Naqeela menatap sendu bola mata Narendra, bahkan matanya mulai mengembun.
Narendra diam, ada banyak hal yang belum bisa ia pecahkan masalahnya dan malah menyeret Naqeela dalam kubangan masalah itu.
"Tolong beri aku kesempatan untuk mencari bukti tentang siapa dalang dibalik pembunuhan kekasihmu itu? Bukan aku pelakunya, bukan aku, tapi seorang perampok berwajah seram dengan tato naga di lengan kanan mereka. Mengapa harus aku yang kamu tuduh? Mengapa harus aku yang kamu jadikan tersangka dan harus menjadi istri kamu, tapi tidak kamu harapkan. Jika kamu percaya kalau aku pembunuhnya maka kamu akan memenjarakan aku 'kan? Atau kamu akan melenyapkan aku juga, nyawa di bayar nyawa." Penuturan yang sangat teramat lembut, tatapan teduh dengan kesedihan yang mendalam sekaligus pertanyaan dalam semua kondisinya saat ini.
Narendra menepis kasar tangan Naqeela, lalu pergi dari sana tanpa menjawab pertanyaan Inara.
"Aku tahu kalau kamu tahu sesuatu, tapi aku tidak mengerti kenapa harus aku yang kamu jadikan korbannya," ujar Naqeela lagi. Setetes air mata pun menetes membasahi pipi putihnya.
Sedangkan di dalam kamar mandi, Narendra memejamkan matanya. Kedua tangannya mengepal kuat menahan gejolak amarah yang kian ia rasakan.
"Brengsek!! Saya tidak sebodoh itu, sialan. Namun karena kalian, saya harus mengorbankan orang lain," gumam Narendra mengumpat marah.
Sesungguhnya ada sesuatu yang membuat Narendra tidak berdaya dalam menindaklanjuti perkara semua ini, ada hal yang harus dia lakukan guna melindungi seseorang. Narendra tidak berdaya, tidak bisa leluasa, tidak bisa melawan di saat keadaannya tidak baik-baik saja.
Kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri, ia prustasi dengan semua perkara ini namun berusaha kuat demi tujuan tertentu.
"Saya harus kuat, bertahan agar tidak menimbulkan kecurigaan semua orang. Demi mama, demi semua orang juga," gumam Narendra seraya mengusap wajahnya secara kasar.
Sebenarnya ada apa dengan Narendra? Rahasia apa yang sedang pria itu sembunyikan dan kenapa harus mengorbankan orang lain dalam masalahnya?
*****
Sesuai keinginan Mulyana, Zaenal membawa bapaknya ke rumah Narendra.
"Bapak yakin kita akan disambut dengan baik?"
"Bapak yakin, coba kamu tekan belnya!"
"Baik, Pak."
Ting.. tong
Zaenal menekan bel berulang kali.
"Belum ada yang menyahut, apa mereka tidak ada di rumah? Benarkah ini rumahnya pria itu?" tanya Zae.
"Alamat yang di berikan orang sih ini, coba kamu tekan belnya lagi!" Di jalan, mereka sempat menanyakan tentang alamat rumah Narendra dan untungnya ada orang yang tahu kemudian memberikan alamatnya.
"Iya Pak, Zae akan coba lagi."
Ting tong
Sedangkan di dalam.
"Naqeela, kamu tidak dengar dari tadi bel bunyi terus? Cepat buka!" seru Narendra baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan keadaannya pun masih basah tak berpakaian dan hanya mengenakan handuk saja yang melilit di pinggangnya.
Sosok perempuan itu tidak menjawab, dia malah melamun menatap jendela kaca. Terdiam menangis tanpa suara.
"Naqeela," ucap Narendra memanggil lagi. Karena tidak ada jawaban, Narendra mendekatinya.
"Qeela, Kamu dengar tidak?" pekik Narendra seraya menarik tangan Naqeela. Namun karena sedang melamun, tubuh Naqeela meresponnya kaget dan tidak sengaja terjatuh.
"Eh!" Ingin jatuh, tapi tangan Narendra segera menarik tangan Naqeela ke depan.
Bruk.
Tidak sengaja malah jatuh pada pangkuan Narendra. Mata keduanya saling mengunci tatapan.
Deg.