Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api yang ditempa di Magelang
Magelang menyambut pagi itu dengan kabut tipis yang melayang seperti selimut sejarah, membalut setiap inci tanah basah dengan aroma tanah yang segar dan menggetarkan jiwa.
Derap langkah taruna dan teriakan pelatih berdentum bagaikan guruh yang mengguncang langit, sementara peluit tajam bergema menembus udara seolah ingin menegur seluruh semesta. Di sini, di Akademi Militer, hanya yang terkuat boleh bertahan.
Barisan Taruna dan Taruni terbentang lurus, rapi, dan penuh disiplin, sejajar, tak bergeser satu jengkal pun. Napas mereka terengah-engah, keringat deras menetes di kening, namun wajah-wajah yang menatap lurus ke depan itu tidak menyiratkan sedikit pun kelelahan. Karena di Akademi ini, lelah adalah jembatan menuju keberanian, dan menyerah adalah aib yang memalukan, tak pantas bagi calon perwira sejati.
Kalea berdiri di barisan paling ujung, bahunya tegap seteguh baja, wajahnya menatap lurus ke depan tanpa sekilas goyah. Di balik seragam loreng hijaunya yang mulai membaur dengan kulit, tampak luka kecil yang belum kering dari latihan malam sebelumnya. Tapi seperti baja yang tempa, ia bungkam. Tak ada keluh suara, hanya bisikan lembut dalam hatinya, "Ini jalan yang kutempuh. Aku akan bertahan, apa pun harganya, sampai darah terakhirku."
"Taruni Kalea Aswangga!" suara pelatih pecah bagai petir menyambar, menggetarkan relung jiwa.
"Siap, Pelatih!" jawab Kalea lantang meski napasnya tersengal dalam gejolak fisik yang melelahkan.
"Kamu pingsan semalam di kolam renang, tapi hari ini berdiri paling depan! Ulangi semua sesi renang itu. Kalau gagal, lari keliling lapangan sepuluh kali. Tidak ada toleransi!"
"Siap, ulangi, Pelatih!" jawab Kalea penuh semangat.Tanpa menunggu aba-aba, Kalea berlari dengan gagah menuju tepi kolam. Air pagi itu terasa sedingin baja, menusuk kulit seolah ingin merenggut kekuatan, namun ia melompat tanpa keraguan. Setiap tarikan napasnya berperang dengan dingin, otot-ototnya merintih kesakitan, tapi matanya tetap terbuka, menatap ke dasar air gelap, seolah menatap masa depan yang penuh ketidakpastian, yang harus ia taklukkan.
Di pinggir kolam, beberapa Taruna memperhatikan dengan tatapan campur aduk antara khawatir dan kagum. Salah satunya adalah Taruna Tingkat Tiga Muhammad Ramdan Ragatav Altavian, putra gagah dari Takengon. Matanya yang tajam menatap Kalea, namun dalam tatapannya terselip rasa hormat mendalam, bukan sekadar iba.
"Gadis itu... keras kepala," gumam Ramdan pelan, sambil mengayun langkah perlahan.
Di sampingnya, rekan senior berbisik, "Keras kepala atau gila? Kalau aku di posisinya, sudah menyerah kemarin malam."
Ramdan tersenyum tipis, "Tidak. Ia bukan gila. Ia punya tekad baja. Hati semacam itu adalah bahan bakar utama yang membuat seorang prajurit bertahan lebih lama di medan perang."
Hari-hari berlalu dengan irama yang nyaris mustahil dilalui manusia biasa. Kalea jatuh berkali-kali, bangkit kembali dengan perjuangan keras. Pernah suatu kali, saat di hutan latihan bertahan hidup, demam menyerang tubuhnya. Bibirnya berubah pucat, langkahnya gontai seperti ranting rapuh tertiup angin, namun saat pelatih bertanya dengan nada keras,"Taruni Kalea! Bisa lanjut atau mundur?"
Dengan suara serak tapi penuh tekad, Kalea menjawab, "Siap lanjut, Pelatih!"
Malam itu, setelah gelap menyelimuti dedaunan rapat, ia menggigil menggenggam kehidupan, namun tidak ada air mata yang jatuh. Hanya tatapan kosong menembus langit malam, dengan doa lirih,"Papa, mama, bang Byan... aku tidak akan pernah mengecewakan kalian."
Dan tanpa sepengetahuannya, di balik pohon, Ramdan diam-diam mengamati. Ia tahu, seorang senior tidak boleh terlalu mempedulikan junior, apalagi taruni, tapi sesuatu dalam diri Kalea menariknya tak bisa berpaling.
Latihan fisik pada minggu ketiga itu menjadi ujian terbesar bagi Kalea. Saat menanjak dengan tanah yang basah dan licin, kakinya tergelincir, terkilir, dan tubuhnya jatuh berguling-guling, wajahnya berlumur tanah basah. Pelatih berdiri tanpa belas kasih, suaranya menggelegar,"Kalau sakit, berhenti! Di medan perang tidak ada yang menunggumu!" bentaknya keras, keras seperti badai gurun yang menggulung pasir.
Namun Kalea menahan air mata yang hampir meluncur, menggertakkan gigi, dan mencoba bangkit. Tubuhnya gemetar, tapi suaranya tetap teguh,"Tidak, Pelatih! Saya belum selesai!"
Pelatih itu menatap dengan seulas senyum bangga yang ia sembunyikan. Di belakang, para taruna berbisik-bisik, dan Ramdan melangkah maju tanpa aba-aba, berdiri di sisi Kalea."Taruni Aswangga, kau jatuh di area pengawasanku," ucap Ramdan dingin. "Kalau kau tak bisa berdiri sendiri, aku yang akan buat kau berdiri dengan caraku."
Kalea menatap Ramdan, berusaha tetap kuat, "Saya bisa berdiri sendiri, Senior!"
Ramdan menunggu beberapa detik, sebelum berkata keras, "Kalau begitu buktikan. Jangan cuma bicara!"
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Kalea menegakkan tubuhnya, melangkah satu demi satu, hingga akhirnya berdiri kokoh di jalur. Ramdan memandangnya dalam diam, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Anak Aceh dan gadis Aswangga... sama-sama keras kepala rupanya."
Hari berubah minggu, minggu beranjak bulan. Kini pelatih mulai memandang Kalea dengan tatapan berbeda. Ia bukan hanya kuat secara fisik, tapi tangguh secara mental. Ia tidak mencari perhatian, melainkan selalu memberikan bukti nyata. Di Akademi Militer, kekuatan batin seperti baja lebur itulah yang membuat seorang prajurit diakui tak hanya oleh pelatih, tapi oleh seluruh resimen.
Suatu pagi, saat apel pembinaan, seorang pelatih berdiri di depan seluruh taruna dengan suara lantang.
"Dalam dunia militer, tidak ada istilah anak pejabat dapat dispensasi! Tidak ada! Termasuk Taruni Kalea Aswangga, Taruna Riko Panjaitan, serta beberapa anak seorang perwira lainnya. Di sini, semua sama di mata pelatih. Yang membedakan kalian hanyalah kerja keras dan mental baja!"
Sorak semangat menggelegar, dan Kalea menunduk, matanya bergetar. Ia tidak butuh pujian, cukup tahu bahwa ia telah melewati satu tahap yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Malam itu, di ruang belajar yang hening, Kalea menulis sebuah surat. Bukan untuk siapa pun, tapi untuk dirinya sendiri, sebagai pesan pada jiwa yang kadang rapuh,
"Jika suatu hari aku kalah, ingatkan aku bahwa aku dulu pernah berani. Jika suatu saat aku jatuh, ingatkan aku bahwa aku dulu pernah bangkit. Dan bila aku merasa lemah, ingatkan aku bahwa aku pernah berenang melawan dingin dan pingsan, tapi tetap kembali ke air."
Saat ia selesai menulis, langkah sepatu mendekat dengan ritmis. Ramdan muncul di depan pintu, wajahnya teduh diterpa cahaya lampu redup."Kau belum tidur?" tanyanya dengan nada lembut.
"Belum, Senior. Saya sedang menulis laporan latihan." Ramdan melangkah mendekat, menatap surat di meja, tapi tak membaca.
"Magelang ini dingin saat malam. Taruni baru sering lupa pakai jaket," katanya.
Kalea tersenyum kecil, "Saya sudah terbiasa, Senior."
Ramdan menatapnya lebih lama dari biasanya, lalu berbisik, "Kalau terbiasa dengan dingin, jangan sampai terbiasa dengan kesepian."
Kalea tidak menjawab, hanya tersenyum kecil sebelum berdiri dan memberi hormat.
"Terima kasih atas peringatannya, Senior."
Ramdan membalas hormat, "Istirahat yang cukup. Besok rute pagi akan lebih berat dari biasanya."
Malam itu, saat Kalea menutup matanya, jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena latihan yang mendera, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh, bukan hanya semangat juang. Ini adalah awal dari rasa hormat, kekaguman, dan keteguhan hati yang tak mungkin diungkapkan, karena mereka hidup di bawah satu kode kehormatan yang sakral.
Magelang tidak pernah ramah pada yang lemah. Bagi mereka yang berani, tanah ini bukan hanya tempat latihan, tapi tempat melahirkan kesatria sejati. Dan di antara derap langkah, teriakan pelatih, serta teriknya mentari yang mendera padang latihan, perlahan tumbuh api yang ditempa, api yang akan membakar segala keraguan dan mengukir nama mereka menjadi legenda prajurit masa depan.