Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Setelah cukup lama, Olivia dan Vincent akhirnya kembali ke mansion. Keduanya sudah berada di kamar masing-masing. Olivia, setelah memastikan bayi mungilnya aman dan tertidur pulas, kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
"Ah… hari yang melelahkan," batin Olivia sambil membanting tubuhnya ke atas ranjang.
* * * *
Sementara itu, di sebuah apartemen tersembunyi, dua pria tengah duduk di sofa sambil menyesap wiski.
“Bagaimana bisa kau gagal menjalankan misi semudah itu?” dengus Dani kepada Eiden.
“Apa kau tak tahu? Pria tua itu peka. Bahkan dia sempat menghindar,” jawab Eiden kesal.
“Sial… kalau begitu dia belum mati,” gerutu Dani, memukul meja dengan kesal.
“Tenang saja. Peluru itu pasti sudah merusak sebagian besar jaringan tubuhnya. Dia hanya menunda maut,” ucap Eiden dengan senyum tipis.
“Apa maksudmu?” Dani mengerutkan alis.
“Luka seperti itu… sulit dipulihkan. Tinggal menunggu waktu.”
Mereka tertawa tipis. Tatapan Eiden kosong bukan karena kemenangan, tapi karena kegelisahan yang semakin menjerat dadanya.
“Tapi aku penasaran, siapa sebenarnya pria tua itu?” tanya Eiden.
“Wiliam Verhaag.”
Eiden langsung tegak.
“Tunggu… Verhaag? Keluarga Verhaag yang itu?!”
“Benar! Kenapa kau bertingkah seperti orang ketakutan?!” kesal Dani.
“Kita sudah menyinggung salah satu keluarga paling berbahaya! Kau gila!” Eiden memukul dahinya frustrasi.
“Tenang. Kita berada di bawah perlindungan Tuan Mark. Semua aman.”
Namun wajah Eiden tak menunjukkan rasa aman. Dia tahu… keluarga Verhaag tidak pernah membiarkan penghinaan tanpa balasan.
* * * *
Pagi harinya, Vincent dan Olivia duduk di meja makan. Suasana cukup datar, namun nyaman.
“Emm… aku mulai bekerja lagi hari ini,” ucap Olivia canggung.
Vincent mengangguk. “Baik. Aku juga harus pergi bekerja. Mungkin pulang agak larut.”
“Baiklah,” jawab Olivia sebelum melanjutkan makan.
Tak lama, Sus Eve turun sambil mendorong stroller berisi Valerie.
“Selamat pagi, sayang,” ucap Olivia girang.
“Valerie di rumah sama Sus Eve ya, hari ini Mama dan Papa kerja. Tidak boleh nakal,” bisiknya lembut.
Vincent memperhatikan interaksi itu dengan tatapan lembut. Meskipun Valerie bukan darah daging mereka, Olivia memperlakukan bayi itu seakan lahir dari rahimnya sendiri.
Ketika Olivia berjongkok memainkan tangan kecil Valerie, Vincent tiba-tiba berkata, “Kalau begitu, jangan bekerja dulu.”
Olivia mengerutkan alis. “Aku harus bekerja untuk beli susu dan gaun buat dia.”
Vincent mendecak. “Apakah kamu lupa, nona? Aku cukup kaya untuk menanggung kalian.”
Olivia terkekeh. “Baiklah, baiklah. Kamu memang kaya. Tapi tetap saja, aku ingin bekerja.”
Ia membungkuk pada Valerie. “Lihat, sayang. Papa kamu sombong sekali.”
Vincent tidak mempermasalahkan Valerie dipanggil Papa justru ada sedikit ketenangan yang menyusup ke dadanya.
“Aku berencana mengadakan pemakaman untuk kedua orang tua Valerie,” ucap Vincent datar.
“Aku setuju,” jawab Olivia.
“Bagaimana kalau weekend ini?” usulnya.
“Baik. Aku urus semuanya.”
* * * *
Setibanya di kantor, Olivia disambut hangat oleh rekan-rekannya. Beberapa memberi hadiah pernikahan kecil untuknya.
“Selamat, Nona Olivia,” ucap salah satu rekan.
“Terima kasih banyak,” Olivia tersenyum tulus.
Erica mendekat sambil terkekeh. “Kenapa kamu sudah bekerja? Cuti kamu masih panjang.”
“Aku merindukan kalian,” jawab Olivia santai.
Semua tertawa.
Namun Eiden yang berdiri agak jauh hanya menunduk. Wanita yang ia cintai… kini menjadi milik orang lain dan bukan sembarang pria.
Saat makan siang, Olivia berkata, “Karena aku sedang bahagia, siang ini aku traktir kalian.”
Sorakan kecil pun terdengar.
Tak lama, Captain Joseph masuk dan semua bubar.
“Halo, Rose,” sapanya.
“Halo, Captain.”
Olivia kembali fokus pada sesuatu yang sejak tadi menggelayut di pikirannya peluru yang menembus tubuh pria tua itu.
Ia mengetuk pintu.
“Permisi, Captain.”
“Iya? Ada apa?” tanya Joseph.
“Bagaimana perkembangan misi kemarin, Captain?”
“Mereka… gagal dilindungi.” Nada sedih itu membuat Olivia menunduk. “Kami benar-benar tidak bisa menyelamatkan mereka.”
“Maaf Captain… kalau boleh tahu, kita masih punya peluru .338 Lapua Magnum, bukan?”
Joseph mengangguk. “Iya. Tapi kau tahu peluru itu sudah dilarang. Tak lagi diproduksi.”
“Boleh saya lihat persediaannya?”
“Tentu. Kalau tidak salah, masih ada lima….”
Tapi saat mereka membuka ruang penyimpanan, Olivia langsung tahu jawabannya.
Yang tersisa hanya empat.
Dan yang hilang… identik dengan peluru yang bersarang di tubuh Wiliam Verhaag.
Joseph bingung. “Kenapa hanya ada empat? Aku yakin sekali ada lima.”
“Captain mungkin lupa. Tidak apa,” jawab Olivia lembut, menenangkan meski hatinya bergemuruh.
Ia kembali ke mejanya. Tatapannya dingin, fokus, dan berbahaya.
‘Peluru itu dicuri. Ini bukan kebetulan.’
‘Baiklah… aku akan menyelidikinya.’