Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 — Pagi Setelah Segalanya Berubah
Rho Jian terbangun jauh sebelum fajar menyingsing. Ini adalah insting yang tidak bisa ia hilangkan, bahkan setelah mengalami kedamaian yang mendalam. Ia adalah Bayangan Singa; keheningan dan kegelapan adalah elemen utamanya.
Ia tidak bergerak, menikmati satu-satunya kemewahan yang pernah ia miliki: Mei Lan.
Mei Lan tertidur di dadanya, rambutnya yang gelap tersebar di kulit Jian, napasnya hangat dan teratur. Lengannya memeluk pinggang Jian dengan erat, seolah-olah ia takut Jian akan menghilang jika ia melonggarkan genggamannya sedikit pun. Jian memeluknya balik, tangannya membelai lembut punggung Mei Lan yang telanjang.
Jian menatap ke dalam kegelapan gudang. Luka-luka di punggung dan rusuknya terasa lebih baik, bukan karena ramuan, tetapi karena obat yang paling kuat: penerimaan dan cinta.
Namun, kedamaian ini membawa realisasi yang berat.
Sebelum malam tadi, Jian adalah seorang buronan yang berusaha melindungi kehormatan seorang gadis. Sekarang, setelah Mei Lan mengorbankan segalanya—kehormatan, keluarga, dan masa depannya yang damai—demi memilih Jian, situasinya berubah drastis.
Sekarang, kau adalah suaminya, meskipun tanpa upacara. Kau telah mengambilnya, dan takdirnya terjalin dengan takdirmu.
Jian menyadari, ia tidak hanya berjuang untuk Kekaisaran atau untuk kebenaran tentang pengkhianatan Putra Mahkota. Ia sekarang berjuang untuk kehidupan mereka berdua. Jika ia tertangkap, Mei Lan tidak hanya akan kehilangan kekasih, tetapi ia akan dicap sebagai istri pengkhianat. Ia akan diburu dan disiksa.
Jian menutup matanya. Ia tidak pernah merasa begitu kuat, dan pada saat yang sama, begitu rapuh. Ia telah menemukan segalanya dalam diri Mei Lan, dan ia akan melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan untuk memastikan Mei Lan aman.
Dengan kelembutan yang menyakitkan, Jian mencium puncak kepala Mei Lan. Ia tahu, ia harus membangunkannya. Fajar akan segera tiba, dan Mei Lan harus kembali ke rumah Nona Yuhe sebelum desas-desus semalam berubah menjadi fakta yang tidak terbantahkan.
Kedamaian di Tengah Ketakutan
Jian memanggil nama Mei Lan dengan lembut, hampir seperti bisikan. Mei Lan bergerak, mengerang sedikit, dan kemudian membuka matanya.
Saat ia sadar, ia tidak langsung mengingat kengerian Kepala Desa Liang atau pengkhianatan Shan Bo. Ia hanya merasakan kehangatan yang luar biasa, aroma gandum yang samar, dan kulit Jian yang keras dan memabukkan di bawah sentuhannya.
Mei Lan tersenyum. Itu adalah senyum yang penuh kedamaian, senyum yang menunjukkan bahwa jiwa dan tubuhnya telah menemukan tempat yang tepat. Ia tidak lagi terbagi.
Ia menatap mata Jian, dan ia melihat cinta yang sama, tetapi juga kesadaran yang dingin.
“Selamat pagi,” bisik Mei Lan, suaranya serak dan manis.
“Selamat pagi, Gadis Manis,” balas Jian, mencium keningnya. “Kita tidak punya banyak waktu.”
Mei Lan merasakan nyeri di hatinya, tetapi ia mengangguk. Ia tahu, momen ini tidak akan bertahan lama.
Ia bangkit perlahan, rasa sakit fisik bercampur dengan rasa sakit karena harus pergi. Ia melihat tubuhnya yang telanjang, dan kemudian tubuh Jian. Ia merasakan kesadaran yang mendalam bahwa ia kini adalah wanita yang telah dicintai. Ini adalah perasaan yang paling membebaskan, tetapi juga yang paling menakutkan.
“Mereka akan tahu,” bisik Mei Lan, saat ia mengenakan pakaiannya perlahan. Pakaiannya yang kotor dan robek kini terasa seperti jubah perang, bukan pakaian seorang penenun.
“Ya,” kata Jian, saat ia mengenakan kemejanya, menyembunyikan bekas luka dan cap yang dicabut itu. “Mereka akan tahu, atau mereka sudah curiga. Keputusanmu di Balai Desa adalah deklarasi perang. Kita telah melewati garis. Tidak ada jalan untuk kembali.”
Mei Lan menoleh, menatapnya. “Saya tidak ingin kembali. Saya hanya takut untuk Anda.”
Jian berjalan ke arahnya, mengakhiri jarak di antara mereka. Ia memegang kedua pipi Mei Lan, seperti yang ia lakukan saat mereka berciuman pertama kali.
“Jangan takut untukku, Mei Lan. Aku tidak pernah lebih kuat dari sekarang. Sebelum kau, aku hanya berjuang untuk mati demi kehormatan. Sekarang, aku berjuang untuk hidup bersamamu. Itu adalah kekuatan yang tak terkalahkan.”
Jian memberinya ciuman perpisahan yang singkat, tetapi penuh janji. “Pergi. Jangan bicara dengan siapa pun. Berpura-puralah kau tidur pulas di rumah Nona Yuhe. Kita akan bertemu di tempat persembunyian kita di hutan saat tengah hari. Kita harus merencanakan pelarian kita, segera.”
Mei Lan mengangguk, menyerap kekuatan Jian. Ia berbalik dan membuka pintu gudang padi. Udara fajar yang dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak merasakan dingin. Ia hanya merasakan jejak kehangatan Jian yang masih melekat padanya.
Saksi Mata yang Bijaksana
Mei Lan kembali ke rumah Nona Yuhe. Ia beruntung, Ibunya tidak akan datang untuk memeriksanya karena rasa malu dan kesedihan yang dialami keluarga Chen.
Nona Yuhe sudah bangun. Ia sedang menyeduh teh herbal di dapur yang terang benderang. Yuhe menoleh saat mendengar pintu geser terbuka pelan.
Nona Yuhe tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Mei Lan.
Mei Lan berusaha terlihat biasa saja. Ia berjalan ke tempat tidur lamanya, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan gerakan kikuknya, kelelahan yang luar biasa, dan... cahaya yang dilihat Yuhe dua hari lalu kini berlipat ganda.
Mata Mei Lan yang biasanya berhati-hati kini bersinar dengan keberanian dan pengetahuan baru. Garis-garis emosi di wajahnya telah dilembutkan oleh kebahagiaan. Dan meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya, ada ketenangan dan kemantapan yang hanya bisa dimiliki oleh seorang wanita yang telah menyerahkan dirinya pada takdir yang dipilihnya.
Yuhe tersenyum kecil, senyum penuh pengetahuan dan kelegaan. Ia tahu, setelah penolakan Mei Lan di Balai Desa, tidak ada jalan kembali.
“Mei Lan,” kata Yuhe lembut, “kau terlambat. Fajar baru saja terbit.”
Mei Lan menundukkan kepalanya, rasa malu menyeruak. “Maaf, Nona Yuhe. Saya… saya tidak bisa tidur. Saya hanya… berjalan-jalan di tepi hutan, memikirkan apa yang telah saya lakukan pada keluarga saya.”
Yuhe meletakkan cangkir tehnya. Ia berjalan ke arah Mei Lan. Ia memegang tangan Mei Lan yang dingin dan mengusapnya.
“Kau tidak merusak keluarga Chen, Gadis Manis,” kata Yuhe, tatapannya tegas. “Kau telah menyelamatkan dirimu sendiri. Kau telah memilih untuk hidup daripada mati dalam kepatuhan yang menyedihkan.”
Yuhe tidak meminta detail, ia hanya mengangguk. “Aku melihatnya. Apa yang harus terjadi, sudah terjadi. Jangan pernah menyesalinya. Pilihanmu adalah kehormatanmu.”
Yuhe merangkul Mei Lan. Alih-alih marah atau menghukum, ia menawarkan dukungan yang total.
“Mulai sekarang,” bisik Yuhe, “kita harus sangat berhati-hati. Kepala Desa Liang akan bertindak. Dia tidak akan membiarkan penghinaan ini. Dan pria yang menyelinap ke gudang padi itu… dia harus pergi, atau mereka akan datang untuknya, dan untukmu.”
Mei Lan mendongak, matanya berkaca-kaca. “Dia akan pergi. Kami akan pergi. Tapi… saya takut, Nona Yuhe. Saya telah menghancurkan Ayah dan Ibu.”
“Tidak,” kata Yuhe, melepaskan pelukan. Ia menoleh ke kompor. “Dengarkan aku, Gadis Manis. Ambil teh ini. Itu akan memberimu kekuatan. Dan ingatlah ini: kau telah memilih cintamu, dan itu adalah kekuatan yang tidak bisa diambil oleh Kepala Desa Liang atau bahkan Istana Kekaisaran. Sekarang, kita harus memikirkan logistik. Tempatmu yang paling aman sekarang adalah bersamanya. Aku akan mengurus Ayah dan Ibumu. Aku akan menenun untuk mereka sementara kalian berdua jauh. Pergi, dan jangan pernah menoleh ke belakang.”
Nona Yuhe memberi isyarat agar Mei Lan pergi ke tempat tidurnya. Mei Lan, dengan hati yang penuh rasa syukur, mengangguk.
Ia berbaring, tetapi ia tidak bisa tidur. Ia merasakan damai di jiwanya, tetapi rasa takut akan konsekuensi menjalar seperti es di punggungnya. Ia tahu, fajar ini tidak hanya membawa cahaya, tetapi juga membawa murka desa dan ancaman Istana. Dan murka itu akan segera datang.