Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di antar sampai rumah
Suasana di depan restoran Ladera, Dago Atas, mulai sejuk, angin lembut berhembus membawa aroma pepohonan pinus dari arah bukit.
Mentari baru saja melangkah keluar dari restoran setelah makan siang yang begitu menyenangkan bersama Dewangga—tawa ringan dan percakapan hangat yang membuat waktu terasa cepat berlalu. Namun, langkahnya seketika tertahan ketika tangan seseorang menariknya dengan kasar dari samping.
“Arsen?” Mentari menatap kaget, napasnya tertahan.
Pria itu berdiri di hadapannya dengan rahang mengeras, tatapan matanya menyala penuh amarah yang ditahan.
“Apa maksud kamu makan siang berdua dengan dia?” suara Arsenio rendah tapi tegas, bergetar karena emosi.
Mentari spontan menarik tangannya, mencoba melepaskan diri, “tolong, jangan seperti ini. Aku bahkan nggak tahu kamu datang ke sini,” ucapnya setengah berbisik, sadar banyak pasang mata di sekitar mereka.
Namun genggaman Arsenio masih terlalu kuat, “aku sudah bilang, aku nggak suka kamu dekat dengan pria lain. Apalagi dia.”
Nada posesif itu membuat dada Mentari sesak. Ia menatapnya tajam, menahan getir yang naik ke tenggorokan, “Arsen, tolong sadar. Kita ini bahkan nggak ada hubungan apa-apa. Kamu bukan siapa-siapaku.”
Ujung bibir Arsenio menegang, “kamu calonku, Tari. Orangtuamu dan orangtuaku—”
“Cukup!” potong Mentari cepat, matanya berkilat, “kamu pikir semua hal bisa kamu klaim cuma karena orang tua kita bicara soal perjodohan yang bahkan aku sendiri belum setuju?”
Suara Mentari terdengar lebih lantang dari yang ia niatkan. Beberapa orang mulai memperhatikan mereka, namun ia tak peduli.
Dari arah belakang, Dewangga yang baru saja membayar ke kasir memperhatikan dengan tenang. Ia tak langsung menghampiri, hanya memandang dalam diam, menganalisis situasi. Tatapannya tajam namun tidak terburu-buru.
Mentari mencoba menahan tangis yang hampir pecah karena rasa marah dan malu bercampur jadi satu. Arsenio semakin mendekat, suaranya meninggi.
“Dia itu siapa buat kamu sampai kamu bisa senyaman itu makan berdua?”
Mentari melangkah mundur, hatinya berdegup cepat. Ia tahu bahwa pria itu sudah mulai kehilangan kendali. Lalu dengan cepat ia melirik ke arah Dewangga yang berdiri tak jauh di belakang. Sebuah lirikan singkat, tapi cukup menjadi kode diam-diam—permintaan tolong tanpa suara.
Dewangga peka, langsung menangkap maksud dari lirikan Mentari. Ia berjalan tenang mendekat, langkahnya mantap tapi tidak menantang, “ada yang salah, Tuan Arsenio?” tanyanya datar, tapi dengan aura yang menekan.
Arsenio menoleh cepat, rahangnya mengeras. “Ini bukan urusan Anda.”
“Jika menyangkut kenyamanan rekan kerja saya,” Dewangga menatap mata Arsenio tanpa bergeming, “maka ini jadi urusan saya.”
Ketegangan di udara meningkat. Mentari bisa melihat tangan Arsenio mengepal kuat. Dalam satu detik, pria itu hampir saja mengangkat tangan—tapi Dewangga menahan pergelangannya cepat, menatapnya tajam namun tetap tenang.
“Jangan lakukan sesuatu yang akan Anda sesali, Arsenio.” Suara Dewangga berat, dingin, tapi penuh wibawa.
Arsenio terdiam, matanya menyala tapi tubuhnya menegang. Ia menarik napas tajam, menatap Dewangga dan Mentari bergantian. Lalu tanpa sepatah kata pun, ia melepaskan diri dan berbalik pergi, langkahnya berat dan penuh amarah.
Mentari masih tertegun, jantungnya berdegup kencang. Dewangga menurunkan tangannya pelan, menatap gadis itu dengan lembut.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
Mentari mengangguk pelan, meski suaranya hampir hilang, “iya… aku cuma—nggak nyangka dia akan sampai segitu.”
Dewangga menarik napas, menatap ke arah jalan tempat Arsenio menghilang, “beberapa orang merasa bisa memiliki sesuatu hanya karena terbiasa memegang kendali. Tapi kamu tidak harus tunduk pada itu.”
Mentari menatapnya, mata mereka bertemu dalam diam yang menenangkan, “terima kasih, Mas Dewangga.”
Dewangga hanya tersenyum samar, “kapan pun kamu butuh tempat aman… saya bisa jadi salah satunya.”
Ucapan itu menancap lembut di dada Mentari—hangat sekaligus menimbulkan debar yang tak bisa ia jelaskan.
Di antara angin lembut yang berhembus dari arah bukit, mentari tahu hatinya baru saja mulai bergerak ke arah yang tak ia rencanakan.
_____
Mentari menghela napas panjang begitu mobilnya melaju meninggalkan area restoran. Jalanan Dago yang menurun tampak lengang, lampu-lampu kota Bandung mulai menyala, membentuk garis cahaya di kejauhan. Di dalam kabin mobil, hanya suara musik lembut dari radio yang menemaninya.
Namun, beberapa menit kemudian, matanya menangkap sesuatu dari kaca spion tengah— sebuah mobil hitam yang tampak familiar, melaju tak begitu jauh di belakangnya. Awalnya ia tak ambil pusing, tapi mobil itu tetap berada di jarak yang sama, bahkan saat ia menyalip ke lajur kanan dan berbelok ke arah bawah.
Keningnya berkerut, “apa jangan-jangan…” gumamnya pelan.
Tepat di saat itu, ponselnya yang tergeletak di konsol tengah bergetar. Nama di layar membuat napasnya tertahan—Dewangga. Seolah tahu keresehan Mentari.
Ia menatap ponsel itu sejenak sebelum menekan tombol sambung di setir.
“Halo, Mas Dewangga?” suaranya agak ragu, masih menyimpan sisa degup dari insiden sebelumnya.
Suara di seberang terdengar tenang seperti biasa, tapi ada nada lembut yang khas.
“Mentari, kamu langsung pulang?”
“Iya, Mas. Saya mau langsung pulang,” jawabnya cepat, sambil sesekali menatap kaca spion lagi. Mobil hitam itu masih di belakang.
“Hm,” gumam Dewangga pelan, “kebetulan arah saya juga sama. Aku jalan di belakangmu. Anggap saja saya… memastikan kamu sampai rumah dengan aman.”
Mentari terdiam sejenak, antara tersentuh dan kikuk, “Mas, nggak usah repot, aku bisa sendiri kok. Nggak enak juga kalau Mas harus ngikutin terus.”
“Bukan repot,” jawab Dewangga, suaranya sedikit rendah, seperti menenangkan, “saya hanya tidak tenang saja setelah kejadian tadi.”
Mentari menggigit bibir bawahnya. Ia ingin menolak lagi, tapi hatinya justru berdebar aneh.
“Kalau gitu, saya minta maaf ya, udah bikin Mas khawatir.”
“Tidak apa-apa,” balas Dewangga ringan. “Terus saja jalan seperti biasa. Saya di belakang, tidak akan mengganggu. Barangkali kamu sedang mendengarkan musik favorit.”
Senyum kecil tak sadar muncul di wajah Mentari. Ia melirik kaca spion—mobil hitam itu memang masih di sana, menjaga jarak. Entah kenapa, bukannya merasa terganggu, ia justru merasa tenang, bahkan sedikit hangat di dada.
Perjalanan yang tadinya terasa panjang kini berubah menjadi lembut dan menenangkan. Setiap tikungan yang ia ambil, mobil hitam itu tetap setia mengikuti, tak terlalu dekat, tak terlalu jauh.
Dalam diam, Mentari berbisik dalam hati,
“Kenapa aku malah… senang?”
Ia tertawa kecil untuk dirinya sendiri, lalu menggeleng pelan, “Mentari, kamu kenapa sih…”
Sementara itu, di dalam mobil hitamnya, Dewangga menatap jalan dengan fokus. Ada senyum tipis di sudut bibirnya saat ia melihat lampu belakang mobil Mentari.
Ia tak tahu kenapa juga harus melakukan ini—mengekor gadis itu sampai rumah—tapi ada dorongan aneh untuk memastikan bahwa Mentari baik-baik saja.
Sesekali ia menatap ke kaca depan, memandangi siluet mobil putih di depan sana yang bergerak anggun di bawah cahaya lampu jalan. Di kepalanya, suara lembut Mentari di telepon tadi masih terngiang.
“Saya bisa sendiri kok, Mas…”
Dewangga tersenyum samar, “tapi kamu tidak harus selalu sendiri, Mentari,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Sore berubah menuju malam, dan dua mobil itu terus melaju beriringan menuruni jalan Dago, seperti dua garis takdir yang perlahan mulai saling mendekat—tanpa mereka sadari, tanpa mereka rencanakan.
.....
Mobil putih Mentari perlahan memasuki area kompleks perumahan elit di kawasan utara Bandung. Lampu taman di sepanjang jalan berpadu dengan cahaya temaram dari rumah-rumah besar di kiri kanan. Di belakangnya, mobil hitam milik Dewangga tetap setia mengikuti—tenang, tak terburu-buru.
Begitu sampai di depan gerbang tinggi berukir logo keluarga Wiradiredja, Mentari menepikan mobilnya dan berhenti. Tak lama kemudian, mobil hitam itu pun ikut berhenti tak jauh di belakang. Suara mesin yang dimatikan terdengar hampir bersamaan.
Mentari membuka pintu, melangkah keluar, dan berdiri di dekat gerbang. Angin malam berhembus lembut, menyapu rambut panjangnya yang sedikit terurai. Dari arah belakang, Dewangga keluar dari mobilnya dengan langkah kalem. Kemeja hitamnya tampak kontras dengan cahaya lampu jalan yang kekuningan.
“Terima kasih sudah… memastikan saya sampai rumah,” ucap Mentari dengan nada setengah malu, kedua tangannya sibuk memainkan tali tasnya.
Dewangga mengangguk pelan, lalu menatapnya tanpa terburu-buru, “saya memang bilang hanya mau memastikan kamu aman, kan?” suaranya dalam tapi lembut, nyaris seperti gumaman.
Mentari mengangguk kecil, “iya, Mas Dewangga baik banget. Saya jadi nggak enak…”
Dewangga sedikit tersenyum. Tatapan matanya menuruni wajah Mentari yang menunduk gugup.
“Mentari,” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Jika kita sedang berdua, tidak usah pakai kata ‘saya’, ya.”
Mentari mengangkat kepala, sedikit bingung. “Maksudnya?”
“Gunakan ‘aku’ saja,” jawab Dewangga tenang, langkahnya sedikit mendekat, “kata ‘saya’ hanya untuk mode kerja. Jika kita bicara seperti ini—aku lebih suka kamu jadi dirimu sendiri.”
Mentari tercekat, jantungnya serasa berpacu tak karuan, “oh… iya, Ma—aku… maksudnya—iya.”
Ucapan itu berantakan. Wajahnya memanas, dan demi menutupi rasa kikuk, ia buru-buru mundur satu langkah—nyaris menabrak mobil hitam Dewangga di belakangnya.
Dewangga menahan tawa, sudut bibirnya terangkat tipis, “Itu bukan mobil kamu, Mentari,” ujarnya lembut tapi menggoda.
Mentari sontak menoleh ke arah mobilnya sendiri yang terparkir di depan, “oh, iya, maaf! Aku—aku salah arah,” katanya tergesa, matanya menatap ke arah lain demi menyembunyikan pipinya yang merona.
“Pelan-pelan saja,” ucap Dewangga lagi, nada suaranya dalam dan menenangkan, “selamat istirahat, ya. Dan… jangan pikirkan kejadian tadi siang.”
Mentari menatapnya sejenak, ragu, lalu tersenyum kecil, “terima kasih… Mas Dewangga.”
“Bagus.” Dewangga tersenyum singkat, lalu melangkah mundur menuju mobilnya. Ia tak naik dulu sebelum memastikan mobil Mentari bergerak masuk.
Gerbang besar itu perlahan terbuka, mobil Mentari masuk dengan lampu belakang yang masih menyala lembut. Dewangga berdiri di sisi mobilnya, kedua tangan di saku celana, memperhatikan dari kejauhan.
Begitu mobil Mentari benar-benar masuk dan gerbang menutup perlahan, barulah Dewangga menarik napas panjang dan melangkah kembali ke mobilnya. Sebuah senyum samar terbit di wajahnya, entah karena lega atau karena gadis bernama Mentari Arata Wiradiredja itu sudah berhasil menyusup sedikit lebih dalam ke pikirannya.
Lampu mobil hitam itu menyala, lalu berbalik arah, meninggalkan kawasan perumahan dengan keheningan malam yang tersisa—dan perasaan hangat yang entah kenapa tak bisa hilang dari dada keduanya.