Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERKENALAN DENGAN AMARA
Sudah tiga minggu Fajar bekerja di Warung Mbok Jumi. Rutinitas hariannya sudah mulai teratur meskipun melelahkan: kuliah pagi sampai siang, kerja sore sampai malam, tidur larut setelah belajar sebentar. Tubuhnya masih sering pegal, tapi setidaknya perutnya tidak lagi keroncongan setiap hari.
Setiap kirim gaji mingguan, ia selalu sisihkan seratus lima puluh ribu untuk dikirim ke rumah, menyisakan dua puluh lima ribu untuk dirinya sendiri. Uang itu hanya cukup untuk jajan seadanya—kadang gorengan pinggir jalan, kadang es teh manis kalau lagi ingin merayakan sesuatu.
Kamis sore, setelah kuliah selesai, Fajar punya waktu satu jam sebelum harus ke warung. Seperti biasa, ia menuju perpustakaan—tempat yang sudah menjadi surga kecilnya di tengah kehidupan yang keras ini.
Ia langsung menuju spot favoritnya di lantai tiga, sudut dekat jendela. Dan seperti yang sudah ia duga—atau lebih tepatnya, harapkan—Amara sudah ada di sana. Duduk di meja yang sama, dengan laptop terbuka dan tumpukan buku di sampingnya.
Sejak perkenalan singkat mereka dua minggu lalu, Fajar dan Amara sudah mulai saling menyapa setiap bertemu. Tidak panjang. Hanya "Halo" atau "Lagi baca apa?" atau "Sampai jumpa besok". Tapi bagi Fajar, sapaan-sapaan sederhana itu sangat berarti. Di kampus yang penuh hinaan, Amara adalah satu-satunya orang yang memperlakukannya seperti manusia sederajat.
Hari ini Amara terlihat sangat fokus—alis berkerut, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop dengan cepat, sesekali berhenti untuk membuka buku dan mencatat sesuatu.
Fajar duduk di mejanya, mengeluarkan buku yang sedang ia pinjam: "The Lean Startup" karya Eric Ries. Buku ini sangat menarik—membahas tentang bagaimana memulai bisnis dengan modal minim tapi efektif. Sangat relevan dengan kondisinya yang tidak punya modal besar.
Ia baru membaca beberapa halaman ketika—
BRAAKKK!
Tumpukan buku di meja Amara jatuh ke lantai dengan suara keras. Mungkin karena ia tidak sengaja menyenggol saat meraih pulpen.
"Aduh!" Amara langsung membungkuk mencoba mengambil buku-buku yang berserakan.
Tanpa pikir panjang, Fajar langsung berdiri dan berlari kecil membantu. "Biar aku bantu."
"Ah, terima kasih," kata Amara sambil tersenyum malu. Wajahnya sedikit memerah—mungkin malu karena membuat keributan di perpustakaan yang seharusnya sunyi.
Mereka berdua berjongkok, mengambil buku-buku yang berserakan. Fajar mengambil satu buku—dan matanya membulat ketika melihat judulnya.
"The Lean Startup?" Fajar menatap buku itu dengan tatapan tidak percaya.
Amara yang sedang mengambil buku lain mendongak. "Eh? Iya. Kamu kenal buku ini?"
"Kenal?" Fajar tersenyum lebar—senyum yang tulus dan antusias. "Aku lagi baca buku yang sama!" Ia menunjukkan bukunya sendiri yang tergeletak di mejanya.
Mata Amara berbinar. "Serius?! Wah, jarang banget loh ada mahasiswa yang baca buku ini. Kebanyakan lebih suka baca buku teori bisnis yang kaku. Kamu sampai halaman berapa?"
"Bab 5. Yang bahas tentang Minimum Viable Product," jawab Fajar sambil membantu Amara menumpuk buku-bukunya kembali ke meja.
"Aku juga baru sampai sana!" Amara duduk kembali di kursinya, matanya memancarkan ketertarikan. "Menurut kamu gimana? Konsep MVP-nya applicable nggak di Indonesia?"
Fajar ikut duduk—tapi kali ini ia geser kursinya sedikit lebih dekat, masih menjaga jarak sopan tapi cukup dekat untuk ngobrol tanpa mengganggu pengunjung lain.
"Sangat applicable," kata Fajar dengan nada bersemangat. Ini adalah pertama kalinya sejak di kota ini ia bisa ngobrol tentang hal yang ia sukai dengan orang yang benar-benar tertarik. "Malah menurutku, konsep MVP itu cocok banget untuk Indonesia. Kita kan negara dengan mayoritas usaha kecil dan menengah. Mereka nggak punya modal besar untuk langsung buat produk sempurna. Makanya MVP itu penting—bikin produk versi sederhana dulu, test pasar, dapet feedback, baru improve."
Amara mengangguk-angguk antusias. "Exactly! Itu juga yang aku pikirkan! Tapi masalahnya, banyak orang Indonesia itu takut 'malu' kalau produknya belum sempurna. Mereka mau launching pas semuanya sudah bagus. Padahal konsep MVP itu justru: launch dulu walau belum sempurna, biar tahu pasarnya mau apa."
"Betul," Fajar melanjutkan dengan mata berbinar. "Dan yang aku suka dari buku ini, dia ngajarin kita untuk 'fail fast'. Gagal itu wajar. Tapi gagalnya harus cepat, biar nggak buang banyak waktu dan uang. Terus belajar dari kegagalan itu, pivot, coba lagi."
"Kamu bener-bener paham ya," kata Amara dengan nada kagum yang tulus. Ia menatap Fajar dengan tatapan berbeda—bukan tatapan kasihan atau meremehkan seperti yang biasa Fajar terima, tapi tatapan respect. "Jarang loh mahasiswa yang bisa grasp konsep bisnis semendalam ini. Biasanya cuma hafal teori doang tanpa paham aplikasinya."
Fajar tersenyum malu. "Aku suka baca. Dan... aku bermimpi suatu hari bisa punya usaha sendiri. Jadi aku belajar sebanyak mungkin."
"Usaha apa?" tanya Amara penasaran.
Fajar terdiam sejenak. Ini adalah pertama kalinya seseorang bertanya dengan serius tentang mimpinya—bukan dengan nada mengejek, tapi dengan ketertarikan tulus.
"Aku... belum tahu pasti," jawab Fajar jujur. "Tapi aku pengen usaha yang punya dampak sosial. Bukan cuma cari untung, tapi bisa bantu orang-orang yang kesusahan. Seperti keluargaku dulu... seperti aku sekarang." Suaranya sedikit bergetar di kalimat terakhir.
Amara menatap Fajar lama. Matanya seolah membaca sesuatu yang dalam di balik mata lelah pemuda di hadapannya ini.
"Itu... itu mimpi yang sangat mulia," katanya pelan. "Dan aku percaya kamu pasti bisa."
"Terima kasih," gumam Fajar. Dadanya terasa hangat mendengar kata-kata itu. Kepercayaan dari orang lain—bahkan dari orang yang baru saja ia kenal—terasa sangat berarti.
"Kamu... kerja sambil kuliah ya?" tanya Amara hati-hati, seolah takut menyinggung.
Fajar mengangguk. "Iya. Aku kerja di warung makan. Cuci piring, bersih-bersih. Sore sampai malam."
"Pasti capek banget," kata Amara dengan nada simpati—tapi bukan simpati yang merendahkan. Simpati yang tulus dari seseorang yang paham perjuangan.
"Capek sih," Fajar tersenyum tipis. "Tapi... kalau nggak kerja, aku nggak bisa makan. Dan aku harus kirim uang ke rumah juga. Jadi ya... mau nggak mau harus kuat."
Amara terdiam. Ada sesuatu yang bergetar di matanya—sesuatu seperti... pengertian yang sangat dalam. Seolah ia paham persis apa yang Fajar rasakan.
"Kamu hebat," katanya pelan. "Seriously. Banyak orang yang kalau di posisimu pasti udah menyerah. Tapi kamu tetap kuliah, tetap belajar, tetap bermimpi. Itu... itu kekuatan yang luar biasa."
Fajar merasakan matanya agak panas. Sudah berapa lama ia tidak mendengar pujian tulus seperti ini? Sudah berapa lama ia tidak diperlakukan sebagai manusia yang berharga?
"Terima kasih," bisiknya. "Kata-kata kamu... berarti banget buatku."
Mereka terdiam sejenak. Tapi bukan keheningan yang canggung. Keheningan yang nyaman. Keheningan dua orang yang mulai merasa nyambung.
"Eh, aku boleh tanya sesuatu nggak?" Amara membuka percakapan lagi.
"Boleh."
"Kenapa kamu... maksudku, kamu kayaknya punya pemahaman bisnis yang jauh di atas rata-rata mahasiswa. Bahkan dosen-dosen pun belum tentu sepaham kamu. Kamu belajar dari mana?"
Fajar tersenyum kecil. "Dari buku-buku di perpustakaan ini. Aku hampir setiap hari di sini soalnya. Jadi ya... manfaatin sebanyak mungkin. Baca buku, nonton video kuliah gratis di YouTube, baca artikel bisnis online. Internet kampus kan gratis, jadi aku manfaatin."
"Autodidak total," gumam Amara dengan nada kagum. "Kamu tahu nggak sih, kebanyakan orang dengan privilege—punya uang, punya akses ke seminar mahal, punya mentor dari keluarga—mereka malah nggak segiat kamu. Mereka santai-santai aja karena merasa udah ada jaminan dari keluarga. Tapi kamu? Kamu berjuang dengan cara sendiri. Dan hasilnya... kamu lebih paham dari mereka."
"Mungkin karena aku nggak punya pilihan lain," jawab Fajar jujur. "Kalau aku nggak belajar keras, aku nggak akan kemana-mana. Sementara mereka, kalau nggak belajar pun, keluarga mereka udah siapin jalan."
"Tapi justru itu yang bikin kamu spesial," kata Amara dengan mata berbinar. "Kamu belajar karena passion dan necessity. Itu kombinasi yang paling powerful."
Fajar merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sesuatu yang hangat. Sesuatu yang membuatnya ingin tersenyum.
Apa ini yang namanya... dihargai?
Alarm di ponsel Fajar berbunyi. Sudah jam setengah tiga. Ia harus segera ke warung.
"Ah, maaf. Aku harus pergi. Shift kerja mau mulai," kata Fajar sambil membereskan bukunya dengan cepat.
"Oh, iya. Maaf ngobrolnya kepanjangan," Amara tersenyum.
"Nggak apa-apa. Aku seneng banget bisa ngobrol sama kamu. Tentang bisnis, maksudnya," tambah Fajar cepat, wajahnya sedikit memerah.
Amara terkekeh pelan. "Aku juga. Jarang ada yang bisa diajak diskusi seserius ini. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya? Aku pengen denger insight kamu yang lain."
"Boleh banget!" jawab Fajar dengan antusias—terlalu antusias, sampai beberapa orang di perpustakaan menoleh. Ia langsung menutup mulutnya, malu.
Amara tertawa pelan—tawa yang lembut dan menyenangkan.
"Hati-hati di jalan. Dan... semangat kerja," kata Amara sambil melambaikan tangan.
"Terima kasih. Kamu juga semangat belajar."
Fajar berlari kecil keluar perpustakaan. Sepanjang perjalanan mengayuh sepeda ke warung, ia tidak bisa berhenti tersenyum. Senyum lebar yang sudah lama tidak muncul.
Amara... dia beda. Dia nggak meremehkanku. Dia nggak kasihan sama aku. Dia... ngeliat aku sebagai orang yang setara. Bahkan... menghargai.
Dan untuk pertama kalinya sejak tinggal di kota ini, Fajar merasa... mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuk kebahagiaan kecil di tengah perjuangan beratnya.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.