NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: SENTUHAN PERTAMA

BAB 19: SENTUHAN PERTAMA

Lucian masih berdiri di gang itu—dikelilingi tiga mayat, tangan berlumuran darah, napas tersenggal.

Aku baru saja membunuh lagi. Aku bilang mau jadi orang baik tapi aku—

"Kau... kau terluka."

Suara Chelsea—lembut, khawatir.

Lucian menatap lengan kirinya—sayatan pisau, tidak dalam tapi darah mengalir cukup banyak. Adrenalin membuatnya tidak merasakan sakit tadi.

"Ini... tidak apa-apa," kata Lucian sambil mencoba menyembunyikan lengannya. "Hanya goresan."

Tapi Chelsea sudah berjalan mendekat—tidak takut, tidak jijik melihat darah, hanya... khawatir.

"Ini bukan goresan. Ini butuh perban." Chelsea menatap sekeliling—tidak ada yang bisa dipakai. Lalu ia melihat roknya—rok sutra mahal yang mungkin harganya jutaan rupiah.

Tanpa ragu, Chelsea merobek ujung roknya.

SREK.

Kain sutra robek, menghasilkan pita panjang.

"Nona, tidak usah—rok itu mahal—"

"Diam." Chelsea menggenggam pergelangan tangan Lucian—lembut tapi tegas. "Biarkan aku membantumu. Kau baru saja menyelamatkan nyawaku."

Lucian membeku.

Genggaman Chelsea hangat.

Tidak ada kekerasan. Tidak ada amarah. Tidak ada niat untuk menyakiti.

Hanya... kelembutan.

Kapan terakhir kali... kapan terakhir kali seseorang menyentuhku seperti ini?

Chelsea mulai membalut luka di lengan Lucian—gerakan tangannya lembut, hati-hati, seperti takut menyakitinya.

"Maaf kalau sakit," bisik Chelsea sambil melilitkan kain di sekitar luka. "Aku bukan dokter jadi mungkin tidak rapi."

Lucian tidak menjawab.

Ia tidak bisa menjawab.

Karena tenggorokannya tercekat.

Kapan terakhir kali?

Kenangan datang tanpa izin—

Delapan tahun lalu.

Mama membalut luka di lutut Alex yang jatuh dari sepeda.

"Sakit, Ma..." kata Alex kecil sambil meringis.

"Ssshh... sebentar lagi selesai, sayang." Mama tersenyum, tangannya lembut, tidak terburu-buru meski Alex meringis. "Mama tidak akan menyakiti kamu."

Setelah selesai, Mama mencium dahi Alex. "Nah, sudah. Brave boy."

Alex tersenyum—merasa aman, merasa dicintai.

Itu terakhir kali Mama membalut lukanya.

Seminggu kemudian, Mama dibakar hidup-hidup.

Lucian berkedip—matanya tiba-tiba basah.

Jangan. Jangan nangis. Jangan—

Tapi air matanya jatuh.

Satu tetes.

Dua tetes.

Jatuh ke tangan Chelsea yang sedang membalut lukanya.

Chelsea menghentikan gerakannya, mengangkat kepala—melihat Lucian menangis.

"Hei... kenapa kau menangis?" suaranya lembut, bingung tapi tidak menghakimi. "Apa aku menyakitimu? Maaf, aku—"

"Bukan." Suara Lucian pecah—sangat pecah sampai ia hampir tidak mengenali suaranya sendiri. "Bukan karena sakit."

"Lalu?"

Lucian menutup mata—air mata mengalir lebih deras.

"Karena... karena ini pertama kali... dalam tujuh tahun... ada yang menyentuhku dengan lembut."

Kenapa aku bilang itu? Kenapa aku tidak bisa tutup mulut?!

Tapi kata-kata terus keluar—seperti bendungan yang jebol.

"Tujuh tahun aku... aku hanya disentuh untuk dipukul, dicekik, ditusuk. Tujuh tahun aku menyentuh orang lain untuk menyakiti mereka, membunuh mereka. Tujuh tahun tidak ada yang... yang..."

Lucian tidak bisa melanjutkan.

Tubuhnya bergetar—bukan karena dingin, tapi karena sesuatu di dalam dadanya pecah.

Chelsea terdiam—tangannya masih memegang pergelangan tangan Lucian.

Lalu perlahan—sangat perlahan—ia menyelesaikan membalut luka itu. Lebih lembut dari sebelumnya. Seolah ia takut Lucian akan pecah kalau ia tidak hati-hati.

"Sudah," bisik Chelsea sambil mengikat ujung kain. "Sudah selesai."

Tapi ia tidak melepaskan tangan Lucian.

Malah menggenggamnya—kedua tangannya menggenggam tangan Lucian yang berlumuran darah, yang baru saja membunuh dua orang.

"Aku tidak tahu apa yang kau alami," kata Chelsea pelan—matanya menatap Lucian dengan sesuatu yang Lucian tidak bisa pahami. Bukan kasihan. Bukan takut. Tapi... pengertian? "Aku tidak tahu kenapa kau terlihat seperti... seperti orang yang sudah kehilangan segalanya."

Karena aku memang kehilangan segalanya.

"Tapi aku tahu satu hal." Chelsea tersenyum—senyum sedih yang membuat dada Lucian semakin sesak. "Kau bukan orang jahat. Orang jahat tidak menangis seperti ini. Orang jahat tidak menyelamatkan orang asing."

"Kau salah," bisik Lucian. "Aku... aku orang jahat. Aku pembunuh. Aku—"

"Ssshh." Chelsea mengangkat tangan—menyentuh pipi Lucian, mengusap air matanya dengan ibu jari.

Dan sentuhan itu—

Tuhan.

Sentuhan itu menghancurkan pertahanan terakhir Lucian.

Ia menangis—menangis sejadi-jadinya, seperti anak kecil yang kehilangan ibunya.

Seperti Alex berusia lima belas tahun yang mendengar Elena berteriak "Kakak tolong!" dari dalam lemari.

Seperti semua rasa sakit, penyesalan, kesepian selama delapan tahun keluar sekaligus.

Chelsea tidak bicara—hanya memeluknya.

Memeluk pria asing berlumuran darah yang baru saja membunuh dua orang di depan matanya.

Dan Lucian menangis di bahu wanita itu—menangis untuk Papa yang ditembak di kepala, untuk Mama yang dibakar hidup-hidup, untuk Elena yang diperkos* dan dibunuh, untuk Marcus yang dibunuh preman, untuk Hendro yang jatuh dari lantai lima, untuk 47 orang yang ia bunuh, untuk dirinya sendiri yang tidak bisa berhenti menjadi monster meski sudah berusaha.

Menangis untuk semuanya.

"Maafkan aku," bisik Lucian di antara tangisnya. "Maafkan aku... aku tidak tahu kenapa aku menangis... aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa berhenti..."

"Tidak apa-apa," bisik Chelsea sambil mengusap punggung Lucian—gerakan yang menenangkan, seperti ibu menenangkan anak. "Menangislah. Tidak apa-apa. Kau aman sekarang."

Aman.

Kapan terakhir kali Lucian merasa aman?

Delapan tahun lalu. Sebelum pembantaian. Ketika masih punya Mama, Papa, Elena.

Tapi sekarang—di pelukan wanita asing ini—ia merasakan sesuatu yang mirip.

Tidak sama. Tidak akan pernah sama.

Tapi... hangat.

Sepuluh menit—atau mungkin lebih, Lucian tidak tahu—ia akhirnya berhenti menangis.

Chelsea melepaskan pelukan, mundur sedikit, menatap wajah Lucian yang basah air mata.

"Maaf," kata Lucian sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak bermaksud... itu memalukan. Aku—"

"Tidak ada yang memalukan tentang menangis." Chelsea tersenyum—senyum tulus yang membuat sesuatu di dada Lucian menghangat. "Kau manusia. Manusia menangis."

Lucian menatapnya—benar-benar menatap untuk pertama kali.

Wanita ini cantik—tapi bukan itu yang membuat Lucian tidak bisa berhenti menatap. Matanya. Matanya penuh dengan kesedihan yang sama seperti Lucian. Mata orang yang juga kehilangan sesuatu.

"Siapa kau?" tanya Lucian pelan.

Chelsea tersenyum sedih. "Namaku Chelsea. Chelsea Adelia."

"Chelsea..." Lucian mengulang nama itu—terasa asing tapi... hangat di lidahnya.

"Aku butuh bodyguard," kata Chelsea tiba-tiba—langsung to the point. "Kau lihat sendiri—ada orang yang ingin membunuhku. Dan aku... aku tidak punya siapa-siapa lagi."

Ia menatap Lucian dengan mata penuh harap.

"Kau kuat. Kau bisa melindungiku. Aku akan bayar kamu. Sepuluh juta per bulan. Plus tempat tinggal. Plus makan. Kumohon... maukah kau bekerja untukku?"

Aku harus menolak. Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa dekat dengan siapapun lagi.

Tapi melihat mata Chelsea—mata yang kesepian, yang penuh harap—Lucian tidak bisa mengatakan tidak.

"Kenapa aku?" tanya Lucian. "Kau baru kenal aku. Aku bisa saja orang jahat."

Chelsea tersenyum. "Karena aku melihat matamu. Mata yang sama sepertiku. Mata orang yang kesepian."

Ia mengulurkan tangannya.

"Jadi... kau terima?"

Lucian menatap tangan itu—tangan yang baru saja membalut lukanya dengan lembut, tangan yang baru saja mengusap air matanya.

Perlahan, ia menggenggam tangan itu.

"Ya. Aku terima."

Chelsea tersenyum—senyum lega yang membuat wajahnya bersinar.

"Terima kasih... siapa namamu?"

"Lucian. Lucian Andhika."

"Terima kasih, Lucian. Terima kasih sudah mau membantuku."

Mereka berdiri, berjalan keluar dari gang—meninggalkan tiga mayat di belakang.

Chelsea menggenggam tangan Lucian—seperti takut ia akan hilang.

Dan Lucian membiarkannya—karena setelah tujuh tahun hidup dalam kegelapan, sentuhan ini terasa seperti cahaya.

Meski ia tidak tahu wanita ini siapa.

Meski ia tidak tahu bahwa suatu hari nanti, cahaya ini akan membakarnya.

Tapi malam ini—hanya malam ini—Lucian membiarkan dirinya merasakan kehangatan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!