Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Kemenangan Dramatis
KRAK!
Retakan besar mulai muncul di lantai arena, menjalar cepat ke segala arah, menandakan bahwa struktur kawah itu sendiri tidak lagi mampu menahan benturan dua monster ini.
"GRAAAH!"
Teriakan Ling Tian mengguncang udara, beresonansi dengan bayangan ikan raksasa yang mengabur di punggungnya. Daya hisap dari teknik 'Gerhana' semakin gila. Lantai arena di bawah kaki Jiang Wuqing bukan hanya retak, tapi mulai terkelupas dan tersedot menjadi debu yang berputar di sekitar bilah pedang hitam itu.
Bagi Jiang Wuqing, ini adalah mimpi buruk yang tidak masuk akal.
Pedang Autumn Water-nya menjerit. Bilah Spirit Weapon tingkat puncak itu melengkung hingga batas elastisitasnya. Tapi yang membuat Jiang Wuqing panik bukanlah berat fisik pedang itu.
'Qi-ku...' batinnya ngeri, matanya melebar. 'Qi-ku... hilang?'
Perisai air yang dia bangun dengan susah payah tidak dihancurkan oleh benturan. Perisai itu ditelan. Setiap kali Qi-nya bersentuhan dengan logam hitam kasar itu, energinya lenyap seperti air yang disiramkan ke pasir gurun yang panas.
"WUQING! JANGAN DITAHAN!" teriak Tetua Divisi Timur dari tribun, suaranya pecah karena panik. "GESER ALIRANNYA! KAU TIDAK BISA MENAHAN GRAVITASI!"
Teriakan itu menyadarkan Jiang Wuqing. Dia telah melakukan kesalahan fatal dengan mencoba menahan batu jatuh dengan tangan kosong.
"Benar... Air tidak menahan..." desis Jiang Wuqing, darah menetes dari hidungnya akibat tekanan internal yang meremukkan pembuluh darah halusnya.
Jiang Wuqing tiba-tiba melakukan hal gila. Dia mematikan perisai Qi-nya secara total.
BLAS!
Tanpa perisai penahan, tekanan pedang raksasa Ling Tian langsung jatuh bebas tanpa hambatan.
Namun, di sepersekian detik itu, Jiang Wuqing menjatuhkan tubuhnya sendiri ke belakang, membiarkan dirinya jatuh terlentang di lantai yang sedang runtuh.
WUUUNG!
Pedang raksasa Ling Tian menyapu udara kosong di atas hidung Jiang Wuqing, menghantam lantai tepat di samping telinganya.
BLAAAARR!
Kiamat kecil terjadi di tengah arena.
Lantai batu setebal satu meter itu meledak. Puing-puing batu seukuran kepala manusia terlempar ke udara. Debu tebal membubung tinggi, menutupi pandangan penonton. Gelombang kejutnya membuat perisai pelindung yang dipasang Wasit Utama bergetar hebat.
Ling Tian kehilangan keseimbangan. Momentum ayunan 'Gerhana' terlalu besar. Karena tangan kanannya lumpuh dan tidak bisa digunakan untuk mengerem gagang pedang, tubuhnya terhuyung ke depan, jatuh ke dalam kawah baru yang dia ciptakan sendiri.
Di tengah debu yang menyesakkan, mata Jiang Wuqing berkilat dingin. Dari posisi terlentang di antara reruntuhan batu, dia melihat dada Ling Tian yang terbuka lebar tanpa pertahanan.
Dia menendang gagang pedang raksasa Ling Tian yang menancap di tanah sebagai pijakan, lalu melentingkan tubuhnya ke atas seperti pegas.
"Teknik Pedang Jarum di Balik Ombak!"
Pedang Autumn Water melesat lurus dari bawah ke atas. Cepat, hening, dan mematikan. Mengincar tenggorokan Ling Tian.
"MATI KAU!"
Jaraknya terlalu dekat. Ling Tian tidak bisa menarik kembali pedang raksasanya yang tertanam di batu. Tubuhnya masih melayang jatuh.
"BOCAH! LEHERMU!" teriak Tuan Kun.
Ling Tian tidak bisa menghindar. Waktu seolah melambat. Dia melihat ujung perak pedang itu mendekat ke jakunnya.
'Aku tidak bisa memblokirnya,' pikir Ling Tian, pikirannya anehnya sangat tenang di ambang kematian. 'Kalau tidak bisa diblokir... tangkap saja.'
Ling Tian membuat keputusan gila. Dia memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, dan dengan sengaja memajukan bahu kirinya menyongsong tusukan itu.
JLEB!
Suara daging ditembus logam terdengar basah dan muak.
Pedang Jiang Wuqing menembus bahu kiri Ling Tian. Tembus sampai ke punggung.
"Argh!" Ling Tian meraung, tapi dia tidak mundur. Dia justru mendorong tubuhnya maju, membiarkan pedang itu menancap lebih dalam sampai ke gagangnya.
Jiang Wuqing terbelalak. Wajah mereka kini hanya berjarak satu jengkal. Dia bisa mencium bau darah dan keringat Ling Tian. Dia bermaksud menarik pedangnya untuk menusuk lagi, tapi... pedangnya macet.
Otot-otot di bahu Ling Tian berkontraksi menjepit bilah pedang itu dengan kekuatan yang tidak wajar. Tulang Besi di dalamnya mengunci logam tersebut seperti catok hidup.
Ling Tian menyeringai. Gigi-giginya merah oleh darah. Mata pupil vertikalnya menatap langsung ke dalam jiwa Jiang Wuqing yang mulai gentar.
"Dapat kau," bisik Ling Tian.
"Kau... gila..." Jiang Wuqing gagap, tangannya gemetar mencoba menarik pedangnya.
"Sekarang..." Ling Tian melepaskan pedang raksasanya. Tangan kirinya yang kini bebas melesat cepat, mencengkeram kerah jubah putih Jiang Wuqing.
"...KITA DI DARATAN, IKAN KECIL!"
Ling Tian menarik Jiang Wuqing mendekat, lalu menghentakkan kepalanya sendiri ke depan.
BUK!
Dahi Ling Tian menghantam hidung Jiang Wuqing dengan keras.
KRAK!
Suara tulang rawan yang patah terdengar renyah, lebih keras dari benturan pedang mana pun.
"AGHH!" Jiang Wuqing menjerit sengau. Darah segar menyembur dari hidungnya yang kini bengkok. Matanya berair, pandangannya kabur seketika. Dunianya berputar. Segala teknik pedang, segala pemahaman tentang "Sword Intent", semuanya buyar oleh satu hantaman kasar yang primitif.
Ling Tian tidak memberi ampun.
"Kau bicara soal filosofi..."
BUK!
Hantaman kepala kedua. Kali ini dahi bertemu dahi. Kulit dahi Jiang Wuqing robek.
"...soal ketenangan..."
Ling Tian mengangkat lutut kanannya, menghantam ulu hati Jiang Wuqing dengan brutal.
BUAGH!
Jiang Wuqing terbatuk, memuntahkan cairan lambung campur darah. Tubuhnya kejang. Cengkeramannya pada pedang Autumn Water terlepas.
Ling Tian melepaskan kerah musuhnya. Tubuh Sang Jenius Divisi Timur itu merosot jatuh ke lantai yang penuh puing, berlutut dengan tatapan kosong, lalu ambruk menyamping tak sadarkan diri.
Debu perlahan mulai turun, memperlihatkan pemandangan di tengah kawah itu kepada ribuan pasang mata yang menonton.
Ling Tian berdiri terhuyung-huyung. Pedang musuh masih menancap tembus di bahu kirinya. Tangan kanannya menjuntai lumpuh meneteskan darah bakar. Napasnya terdengar berat dan kasar seperti suara parutan besi.
Dia berdiri di atas tubuh Jiang Wuqing yang tak bergerak.
Tidak ada sorakan. Ribuan murid menahan napas, otak mereka gagal memproses apa yang baru saja terjadi. Seni pedang tingkat tinggi... dikalahkan oleh tandukan kepala?
Wasit Utama muncul seketika di samping Ling Tian. Dia menempelkan jarinya ke leher Jiang Wuqing, lalu menatap mata Ling Tian yang masih diliputi kegilaan.
"Dia masih hidup," kata Wasit pelan, seolah takut memicu amukan Ling Tian lagi. "Sudah berakhir, Nak."
Ling Tian berkedip. Cahaya biru di matanya meredup perlahan, menyisakan warna hitam pekat yang lelah.
"Oh," gumam Ling Tian.
Rasa sakit dari bahu yang tertusuk dan tangan kanan yang rusak datang menghantam sekaligus, membuatnya nyaris muntah.
Wasit mengangkat tangan kiri Ling Tian yang berlumuran darah.
"PEMENANG... LING TIAN!"
Sorakan? Masih belum ada.
Hanya ada suara gemuruh napas lega dari ribuan orang. Mereka menatap Ling Tian bukan dengan kekaguman pada seorang pahlawan, melainkan dengan rasa takut pada seekor monster yang baru saja lepas kandang.
Di tribun VIP, para Tetua saling berpandangan. Ekspresi mereka rumit. Ngeri, jijik, tapi juga... penuh perhitungan.
Tetua Mo Xing menatap Ling Tian dalam-dalam. "Dia kotor, brutal dan dia tidak punya kehormatan petarung," gumamnya.
Lalu, sudut bibir Tetua Mo terangkat sedikit, senyum yang sangat tipis dan dingin. "Tapi dia sempurna untuk 'misi itu'."
Ling Tian tidak mendengar bisikan para tetua. Pandangannya menggelap.
"Tuan Kun..." batinnya lemah, tubuhnya bergoyang. "Apa... aku menang?"
"Kau menang, Bocah," jawab Tuan Kun, suaranya terdengar bangga namun cemas. "Tapi jangan pingsan sekarang. Pedang itu masih di bahumu. Kalau kau jatuh, kau bisa memperparah lukanya."
Terlambat.
Dunia Ling Tian menjadi hitam.
Tubuhnya ambruk ke belakang.
BRUK.
Dia jatuh pingsan di atas puing-puing arena, di bawah cahaya bulan yang dingin, dengan sebuah pedang menancap di bahunya sebagai medali kemenangan yang menyakitkan.