“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Fio menunduk. “Maaf, Bu… saya merasa belum pantas. Lagipula saya masih banyak hal yang harus diselesaikan, dan saya—”
Pak Rendra menyela dengan nada tenang tapi tegas. “Nak Fio, istri saya ini bukan mau memaksa kamu menikah. Kami hanya ingin mengenalkan kamu pada seseorang. Biar saling kenal dulu saja, tidak harus langsung apa-apa.”
Fio menggigit bibirnya, hatinya seperti ditarik ke dua arah.
“Terima kasih, Pak. Tapi… saya merasa tidak pantas. Saya bukan siapa-siapa, dan…” ia menunduk semakin dalam, “saya cuma ingin fokus kuliah dulu, meski belum tahu bagaimana caranya.”
Bu Rania menatapnya iba. “Justru karena kamu gadis yang kuat dan punya semangat itu, saya semakin yakin kamu pantas untuk mengenal Darrel lebih jauh lagi.”
Fio terdiam. Nama itu… lagi-lagi disebut.
Pak Rendra menatap lembut ke arah Fio. “Kamu tahu, Fio… Darrel itu sebenarnya bukan pria jahat atau sombong. Dia hanya terluka. Pernikahannya dulu gagal, dan sejak itu dia menutup diri.”
Fio yang tadinya menunduk langsung mendongak. “Duda…?” katanya pelan, tanpa sadar.
Pak Rendra mengangguk. “Iya, dia duda. Tapi bukan karena hal buruk. Hanya karena perbedaan jalan hidup yang sulit dipertemukan.”
Fio terpaku di tempatnya. Matanya membesar, sementara pikirannya langsung berputar cepat — antara terkejut, bingung, dan… sedikit geli entah kenapa.
Duda? Jadi yang waktu itu sok dingin itu... duda?
Seketika bayangan wajah Darrel yang kaku dan ekspresinya yang terlalu serius muncul begitu saja di benaknya. Entah kenapa, bibir Fio hampir tersenyum — tapi buru-buru ia tahan, meneguk air minum supaya tidak terlihat aneh.
Bu Rania memperhatikan perubahan kecil di wajah Fio dan tersenyum samar. “Saya tahu ini terlalu mendadak. Tapi gak apa-apa, Nak. Kamu pikirkan lagi, ya?”
Fio mengangguk pelan, masih berusaha mencerna semuanya.
“Iya, Bu. Tapi saya belum janji…”
Pak Rendra tersenyum bijak. “Itu sudah cukup, Fio. Kadang yang terpenting bukan keputusan cepat, tapi hati yang jujur saat memilih.”
Bu Rania akhirnya berdiri sambil menepuk bahu Fio lembut.
“Baiklah, saya tidak akan maksa. Nanti saya hubungi kamu lagi, ya. Jaga diri baik-baik, Nak.”
Setelah pasangan itu pergi, Fio masih duduk di kursi yang sama.
Tangannya menopang dagu, matanya menerawang ke arah pintu.
“Duda, huh?” gumamnya pelan, bibirnya sedikit terangkat.
“Berarti… aku sudah pernah bercanda di depan duda tampan dong?”
Ia menepuk dahinya sendiri dan terkikik kecil.
“Astaga, Fio… kalau nanti beneran ketemu lagi, jangan sampe keseleo ngomong deh.”
***
Pagi ini kampus sudah mulai ramai. Mahasiswa lalu lalang dengan wajah serius sambil membawa map dan buku catatan. Fio berjalan pelan menuju ruang dosen sambil memeluk map birunya erat-erat. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya — bukan karena takut dimarahi, tapi karena cemas soal satu hal: uang ujian.
Begitu mengetuk pintu dan masuk, Dosen Pembimbingnya, Pak Rehan, langsung mengangkat wajah dari tumpukan berkas.
“Ah, Fio. Tepat sekali. Saya baru mau menghubungi kamu,” katanya tanpa basa-basi.
Fio berusaha tersenyum, meski hatinya bergetar.
“Iya, Pak. Ada apa, ya?”
Pak Rehan melepas kacamatanya pelan. “Kamu sudah tahu kan, dua hari lagi ujian akhir gelombang pertama. Bapak sudah cek data, dan kamu belum juga melunasi biaya ujian itu. Padahal seminggu yang lalu sudah saya ingatkan.”
Fio langsung menunduk. “Iya, Pak. Saya tahu. Tapi saya masih berusaha mencari uangnya, Pak. Saya janji sebelum ujian pasti saya bayar.”
Dosen itu menghela napas. “Fio, saya tahu kamu anak yang rajin dan nilaimu bagus, tapi peraturan kampus tidak bisa dilanggar. Kalau sampai besok kamu belum bayar juga, kamu tidak bisa mengikuti ujian. Saya tidak bisa bantu kalau sudah masuk sistem.”
Fio menelan ludah, suaranya lirih, “Iya, Pak… saya mengerti.”
“Baik. Saya berharap kamu segera mengurusnya, ya. Sayang kalau harus menunda ujian cuma karena hal ini.”
Fio mengangguk pelan, lalu keluar ruangan dengan langkah gontai. Hatinya terasa berat — seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Begitu sampai di taman kampus, ia duduk di bangku kayu yang mulai pudar warnanya.
Tangannya menggenggam map biru itu kuat-kuat.
Besok... Aku harus punya uang. Dan hari ini aku harus mencarinya. Tapi dari mana?
Ia menatap ke langit. Awan kelabu seperti ikut menertawakannya.
Mencari kerja lagi kayaknya gak bakal fokus. Belum tentu keterima langsung. Minta sama ayah? Gak usah berharap. Apa aku harus berhenti kuliah dulu?
Namun seketika, wajah Bu Rania melintas di benaknya — dengan tawaran lembutnya yang masih terngiang.
"Justru karena kamu gadis yang kuat dan punya semangat itu, saya semakin yakin kamu pantas untuk mengenal Darrel lebih jauh lagi.”
Dan ucapan Pak Rendra yang tenang tapi bermakna:
"Kadang yang terpenting bukan keputusan cepat, tapi hati yang jujur saat memilih."
Fio memejamkan mata, mengingat kembali kata-kata itu.
Hatinya berperang — antara logika dan perasaan.
"Kalau aku terima tawaran itu, apa aku menjual diri demi uang? Tapi kalau tidak, aku gagal ujian… gagal lulus. Semua perjuangan Ibu akan sia-sia." Fio menarik napas panjang, menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca.
“Bu, Fio gak mau nyerah…” bisiknya pelan, suaranya bergetar.
“Tapi kalau ini satu-satunya jalan, apa aku harus mencobanya?”
Ia menggenggam ponselnya, membuka kontak “Bu Rania” yang baru disimpannya kemarin. Jarinya berhenti di atas tombol call, tapi tak juga ditekan.
Hatinya berdebat lagi.
"Jangan dulu deh. Aku harus meminta pendapat ayah. Tidak mungkin kalau ayah tidak memberikan saran sama aku." Fio memasukkan ponselnya ke tas. Dia tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Setelah itu ia memilih pulang ke kos-kosannya.
***
Langit sore terlihat redup saat Fio berdiri di balkon kecil kontrakannya. Angin lembut mengibaskan ujung rambutnya yang masih sedikit basah setelah mandi. Ia menatap ponselnya lama—jempolnya ragu di atas layar, menimbang-nimbang sesuatu yang berat.
Setelah menghela napas panjang, akhirnya ia menekan nama kontak yang sudah beberapa hari ini memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Ayah.
Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali… sampai lima kali. Tapi tidak juga diangkat.
Fio menatap layar yang kini berganti tulisan Panggilan Berakhir. Dadanya terasa sesak.
Ia menekan panggilan lagi. Kali ini lebih lama, tapi hasilnya sama.
Tidak dijawab.
Akhirnya, dengan gemetar, ia membuka pesan.
Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia mengetik juga.
[Ayah... Fio akan menikah saja]
Kirim.
Pesan itu terkirim dengan cepat. Namun waktu terasa berjalan lambat. Fio memandangi layar ponsel itu lama sekali—menunggu, berharap ada tanda “mengetik…” muncul.
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul.
Jawaban yang singkat, datar, tanpa emosi.
[Itu hidup kamu, Fio. Ayah tidak mau ikut campur.]
Fio membeku.
Air matanya yang tadi hanya menggantung, kini perlahan jatuh membasahi pipi.
Tangannya menggenggam ponsel itu erat.
“Gak mau ikut campur?” gumamnya pelan. “Aku anakmu, Yah… kenapa selalu harus berjuang sendiri?”
Tapi setelah menutup matanya sejenak, Fio menarik napas panjang. Ia mengusap air matanya cepat-cepat, menatap ke depan dengan pandangan yang mulai tegar.
Ia membuka pesan baru lagi. Kali ini kalimatnya pendek tapi penuh makna.
[Ayah, kalau begitu... Fio minta Ayah menjadi wali nikah Fio nanti.]
Tidak lama kemudian, balasan datang.
[Biar diwakilkan saja. Ayah tidak bisa ke sana]
Bersambung