Wulan Candramaya, seorang gadis belia yang terpaksa turun gunung atas permintaan bapaknya untuk menikah dengan seorang penguasa dari istana Nagari. Juragan Nataprawira, laki-laki dewasa yang berwajah tampan, tapi terkenal dengan kekejamannya.
Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, memiliki tiga orang istri dan satu orang anak. Wulan adalah istri keempatnya, istri tebusan hutang bapaknya.
Wulan dibuang ke gunung Munding sejak kematian sang ibu oleh bapaknya sendiri. Gunung yang tak terjamah oleh manusia dan konon dihuni oleh para demit. Wulan setuju menikah hanya untuk mengungkapkan misteri kematian sang ibunda tercinta.
Bagaimana Wulan menghadapi intrik licik dari para istri juragan di istana itu? Misteri apa saja yang Wulan temukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Juragan memasuki kamar Wulan tanpa suara, langkah kakinya ringan. Bahkan, binatang malam pun tidak menyadari kedatangannya. Ia berdiri di luar kelambu, memperhatikan wajah damai istri kecilnya yang terlelap di ranjang.
Juragan tersenyum, senyum yang jarang ia perlihatkan kepada siapapun.
Katanya terbiasa terjaga di dalam tidur, tapi terlihat pulas sekali.
Ia menggelengkan kepala, membuka tirai kelambu. Membungkuk sedikit, menarik selimut guna menyelimuti tubuh Wulan. Namun ....
Hap!
Tangan Wulan menyergap pergelangan tangan juragan, cekalannya cukup kuat untuk seorang gadis kecil seperti Wulan.
"Siapa?" Mata Wulan terbuka, dan pandangan mereka beradu.
"Ini saya!"
Hah?
"Juragan?"
Wulan membelalak, melepaskan tangannya dengan cepat. Ia beranjak hendak bangun, tapi tangan juragan menahannya.
"Tidur saja, saya tidak akan melakukan apapun," ucap juragan seraya menutupi tubuh Wulan dengan selimut.
Lalu, ia berbaring di sisi gadis itu, menempatkan sebelah tangannya di bawah kepala sebagai bantal. Tangan yang lain ia letakkan di atas perut dengan jemari yang mengepal. Kemudian, memejamkan mata dengan tenang.
Tubuhnya tegang, dia waspada terhadap saya. Siapa yang sudah berani menyebarkan rumor buruk itu? Harus dicari sampai dapat!
Juragan bergumam di dalam hati, ekspresi wajahnya datar tak terlihat emosi sama sekali. Sementara Wulan, tak lagi dapat memejamkan mata karena mengkhawatirkan nasib dirinya esok hari.
Ia melirik, menelisik setiap inci dari wajah sang juragan. Diam-diam tersenyum, Wulan sedang menikmati ciptaan Tuhan yang maha purna itu.
Juragan memang tampan. Pantas saja banyak gadis yang rela menjadi istrinya, tapi rumor yang beredar sangat menakutkan. Apakah saya juga akan terkurung di istana ini? Atau juragan akan berbelas kasih membiarkan saya keluar?
"Sudah cukup melihat? Jika belum, jangan salahkan saya melakukannya!" tegur juragan tanpa membuka mata.
Wulan terperanjat, buru-buru berpaling dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Matilah!" bisiknya tanpa suara. Meringis di dalam selimut, bertambah besar kekhawatirannya akan nasib diri.
Tanpa ia tahu juragan telah berbalik ke arahnya, tersenyum tipis. Gemas sendiri dengan sikap Wulan. Lalu, ia mengangkat tangan dan melingkarkannya di tubuh Wulan. Memeluk dalam tidur. Wulan tersentak kaget.
"Tidurlah! Malam sudah sangat larut," bisik juragan seraya memejamkan mata bersiap untuk tidur. Bibirnya tersenyum ketika Wulan sama sekali tidak menolak.
Kamu terpaksa menikah dengan saya, Wulan. Tanpa kamu mengajukan syarat itu pun saya pasti akan membantu kamu mendapatkan hak warisan itu.
Juragan Nata bergumam, mengeratkan pelukannya pada tubuh Wulan. Rasa hangat menjalar di seluruh pembuluh darah, memberinya rasa nyaman dan damai. Tubuh yang terasa panas, perlahan redam dan berganti ketenangan.
Namun, tidak dengan Wulan, hatinya kalut dan pikirannya kacau.
Oh, Sanghyang Widhi ... apa aku akan mati malam ini? Tapi kenapa pelukan juragan terasa hangat. Tidak boleh tidur! Tidak boleh tidur!
Wulan bergumam di dalam hati. Memeluk tubuhnya sendiri tanpa berani bergerak. Dia takut saat bergerak juragan akan mencekiknya. Itu isi pikiran Wulan. Perlahan, kantuk melanda dan Wulan memejamkan mata tanpa sadar.
****
Matahari pagi sudah terbit sepenggalan, kesibukan di istana Nagari sudah dimulai sejak subuh tadi. Semua abdi melayani sang majikan, kecuali Bi Sumi yang masih setia duduk di kursi kayu menunggu Wulan bangun dari mimpi panjangnya.
Wulan mengernyit, mengangkat tangan menghalau sinar matahari yang menerpa matanya. Kelopak indah itu terbuka seraya bangun sembari merentangkan kedua tangan, meregangkan otot-otot yang kaku.
Eh? Di mana juragan? Apa semalam itu cuma mimpi?
"Bi Sumi?" Wulan menatap bingung wanita paruh baya yang tersenyum menatapnya.
"Sudah bangun, Neng. Mari, Bibi bantu mandi. Air hangatnya sudah disiapkan," ucap Bi Sumi seraya beranjak dari kursi.
"Eh? Air hangat? Saya tidak suka mandi air hangat, Bi. Biarkan dingin dulu, dan juga Bibi tidak perlu membantu saya mandi. Saya bisa sendiri," ujar Wulan sambil tersenyum.
Terlalu malu jika mandi saja harus dibantu orang lain. Dia bukan bayi yang belum mengerti apa-apa.
"Ya sudah kalau begitu, Bibi tidak akan memaksa," sahut Bi Sumi.
"Oya, Bi. Bibi lihat juragan semalam kembali ke kamar? Saya rasa semalam juragan tidur di sini, tapi pagi-pagi begini sudah tidak ada. Jam berapa juragan bangun?" tanya Wulan teringat semalam laki-laki itu memeluknya sepanjang malam.
"Juragan bangun saat ayam berkokok, Neng. Itu sudah menjadi kebiasaannya dari dulu. Juragan berpesan untuk tidak membangunkan Neng Wulan," ucap Bi Sumi membuat Wulan tersipu.
Brak!
"Hah? Apa itu, Bi?"
kita sambung esok🤭😅