Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pada suatu malam yang tenang, Aruna menerima panggilan tak terduga dari Revan. Ia ragu sejenak, namun akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.
“Aruna, kita perlu bicara,” suara Revan terdengar berat di ujung telepon. “Aku tahu kamu sudah mulai dekat dengan orang lain. Tapi aku hanya ingin kamu tahu satu hal… aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja.”
Aruna terdiam, hatinya bergejolak. Suara Revan seperti pisau yang menusuk, penuh dengan kecemburuan dan keinginan yang tidak bisa ia kontrol. “Revan, kita sudah selesai. Kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini.”
“Aku tidak peduli, Aruna,” jawab Revan dengan nada yang penuh penekanan. “Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki hubungan kita. Aku akan memperjuangkannya, meskipun kamu tidak menginginkannya lagi.”
Aruna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kamu tidak bisa terus-menerus mengikatku pada masa lalu. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangmu. Aku ingin melanjutkan hidupku.”
Di sisi lain, Revan merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa cemas dan kehilangan, tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang mendalam.
Ketakutan bahwa Aruna akan benar-benar pergi darinya. Dan ketika ia tahu Aruna sedang dekat dengan Rio, cemburu itu semakin membara. Ia tidak bisa melihat Aruna bersama orang lain, bahkan jika itu hanya sebagai teman. Ada perasaan yang aneh muncul dalam dirinya, sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.
Setelah beberapa percakapan seperti itu, Aruna mulai merasa semakin tertekan. Revan tidak pernah bisa melepaskannya, dan meskipun ia sudah mencoba menjelaskan, Revan selalu kembali dengan harapan yang sama.
Aruna merasa kebingungannya semakin mendalam. Ia tahu bahwa jika ia terus berhubungan dengan Revan, ia hanya akan terjebak dalam lingkaran yang sama sekali lagi. Namun, perasaan kesedihan dan penyesalan yang datang dari Revan juga sulit ia hindari.
Pada suatu hari, setelah berhari-hari tidak ada kabar dari Revan, Aruna memutuskan untuk keluar dan menghabiskan waktu bersama Rio.
Mereka pergi ke sebuah kafe kecil di pinggir kota, duduk berdua sambil menikmati kopi yang hangat.
Rio selalu berhasil membuat Aruna merasa lebih ringan, dan pertemuan itu menjadi salah satu yang sangat dinantikan oleh Aruna.
Namun, saat mereka sedang berbicara, ponsel Aruna bergetar. Sebuah pesan baru masuk, dan Aruna melihat bahwa itu adalah pesan dari Revan.
"Aku melihat kalian berdua bersama. Jangan coba-coba berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kalian, Aruna."
Pesan itu begitu tajam dan penuh dengan cemburu. Aruna merasa terkejut dan sedikit marah. Ia meletakkan ponselnya di meja, menatap Rio dengan ekspresi yang tak bisa ia sembunyikan. Rio yang melihat perubahan wajah Aruna, bertanya dengan lembut, “Ada apa?”
Aruna menghela napas, berusaha untuk tidak terbawa perasaan.
“Revan. Dia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita sudah selesai, Rio. Dia cemburu.”
Rio mengangguk, menatap Aruna dengan pengertian yang dalam.
“Dia tidak bisa melepaskanmu, ya? Tapi Aruna, kamu tidak bisa terus-menerus berada di antara keduanya. Kamu harus memilih jalanmu sendiri.”
Aruna tahu apa yang Rio maksudkan. Ia harus memilih antara masa lalu yang terus mengejarnya, atau masa depan yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya.
Revan, meskipun mencintainya, hanya akan membawa luka dan penyesalan. Rio, dengan kesederhanaannya, menawarkan kebahagiaan tanpa syarat.
Malam itu, Aruna merenung lebih dalam dari sebelumnya. Ia tahu bahwa masa depannya tidak bisa terus diganggu oleh bayang-bayang Revan. Cinta yang tak terbalas, kecemburuan yang tak berujung, dan luka yang terus dibuka tidak akan membiarkannya berkembang.
Dan saat itu juga, Aruna membuat keputusan. Ia tidak akan lagi terjebak dalam permainan masa lalu. Waktunya untuk melepaskan sepenuhnya, untuk tidak lagi memberi ruang bagi kecemburuan dan penyesalan. Ia harus melangkah maju, apapun yang terjadi.
Aruna menghirup udara malam yang segar, rasa tenang mulai menyelubungi dirinya setelah keputusan besar yang baru saja diambil. Ia sadar, bahwa perjalanan hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah ini.
Keputusan untuk melepaskan Revan bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu itu adalah langkah yang harus ia ambil untuk melanjutkan hidupnya.
Hari-hari berikutnya terasa lebih tenang, meskipun bayang-bayang masa lalu masih terkadang datang menghampiri. Aruna mulai menata kembali hidupnya, membangun kembali dunia yang sempat hancur oleh kebisuan dan kesepian dalam pernikahannya.
Rio, yang selalu ada untuknya, semakin memberikan dukungan yang ia butuhkan. Meski Aruna masih belum sepenuhnya siap untuk memberi label pada hubungan mereka, ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya setiap kali ia bersama Rio. Sesuatu yang lebih ringan, lebih bebas, tanpa beban masa lalu yang terus menghantuinya.
Namun, meskipun Aruna berusaha menutup pintu itu, Revan tidak berhenti mengejarnya. Pesan-pesan dan panggilan telepon dari Revan semakin intens.
Setiap kali Aruna mengabaikan, Revan selalu kembali dengan cara yang lebih keras, lebih memaksa. Seakan ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Aruna sudah tidak ada lagi dalam hidupnya.
Suatu sore, ketika Aruna sedang berjalan-jalan di taman bersama Rio, ia menerima panggilan dari Revan. Kali ini, ia tidak bisa menahan diri. Ia menjawab panggilan itu, meskipun hatinya sudah memutuskan untuk tidak terjebak lagi dalam permainan yang sama.
“Aruna, aku tahu kamu marah padaku. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku harus melihatmu, kita harus bicara,” suara Revan terdengar penuh dengan keputusasaan.
Aruna menatap Rio yang berada di sampingnya, matanya mencari pengertian di wajah pria itu. Rio hanya mengangguk, memberinya ruang untuk berbicara.
“Revan, aku sudah bilang berkali-kali. Kita sudah selesai. Kamu harus berhenti mengejarku. Ini bukan tentang kesalahan atau penyesalan, ini tentang kita yang tidak lagi cocok satu sama lain. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu,” jawab Aruna dengan suara yang tegas, meskipun hatinya sedikit goyah.
Di ujung telepon, Revan terdiam lama, seperti mencoba menyusun kata-kata. “Tapi aku masih mencintaimu, Aruna. Aku tidak bisa melihatmu dengan orang lain. Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja.”
Aruna merasakan sakit di dadanya, namun ia menahan diri untuk tidak terlarut dalam perasaan itu. Ia sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang Revan, dan kini saatnya untuk mengakhiri semuanya.
“Kamu tidak bisa mengendalikan hidupku, Revan,” Aruna melanjutkan dengan suara yang lebih lembut namun tetap penuh keyakinan. “Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri, dan aku memilih untuk melanjutkan tanpa kamu. Jangan lagi mencoba menghubungiku.”
Revan masih mencoba berbicara, tetapi Aruna sudah menutup teleponnya, tanpa memberi kesempatan lagi. Ia merasa lega, meskipun ada sedikit rasa kosong yang menyelimuti hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.