NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 22

Seperti pada sore-sore sebelumnya, Wiji kembali menemui Asmarawati di tanggul kali Brantas. Tempat sunyi yang menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang saling menyimpan rahasia. Senja merekah perlahan, langit menguning tembaga, sementara angin mengalun seperti gamelan lirih yang mengiringi bisik-bisik hati yang tak sepenuhnya terungkap.

Namun senyap sore itu menyimpan kepedihan yang tak tampak. Keduanya masih menyembunyikan kenyataan: bahwa orang tua mereka menyulam benang larangan di atas benang asmara. Wiji belum tahu bahwa Ki Ratmoyo diam-diam menaruh curiga padanya. Pun Asmarawati belum tahu bahwa Kaji Mispan menolak keras hubungan mereka. Meski begitu, keduanya tetap duduk berdampingan. Menahan gelombang di dada masing-masing, berpura-pura bahwa langit sedang baik-baik saja.

Mereka memilih diam, tapi bukan karena tak ada rasa. Justru karena cinta itu begitu pekat dan dalam, hingga kata-kata terasa terlalu kecil untuk memuatnya. Mereka menjaga hati masing-masing.

“Dek...” lirih Wiji, memecah sunyi.

“Iya, Mas...” Asmarawati menoleh lembut.

“Kelak, jika seseorang yang sangat kamu tresnani ternyata tidak ditakdirkan berjodoh denganmu... apakah cintamu akan berubah menjadi benci?” tanya Wiji. Kata-kata itu meluncur pelan, tapi menghujam seperti anak panah yang dilesatkan dari dasar resah.

Asmarawati tersentak, memandang Wiji dengan mata yang bergetar. “Njenengan ngendika nopo niku, Mas? (Sampean bicara apa itu, Mas?)”

“Biar ku perjelas,” Wiji menatap ke kejauhan, seolah takut melihat mata Asmarawati. “Jika orang yang kamu cintai tak ditakdirkan berjodoh denganmu, apakah cintamu akan luruh, dan berubah jadi benci.?”

Asmarawati menghela napas panjang, lalu berucap pelan. “Tidak!..... Tidak!.... Boten, Mas... mugi Gusti paring pangapunten. Aku tak akan mencelanya. Justru akan selalu kusematkan namanya dalam doa paling lirih. Meski hatiku kelak dirajam kecewa, namanya akan tetap kulindungi dalam sunyi yang tak seorang pun tahu...”

“Kenapa?” desak Wiji, suara tercekat.

“Karena sejak aku mencintai seseorang, aku tak pernah berharap memilikinya. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Meski bukan denganku... meski harus kehilangannya, aku rela. Karena Gusti yang menanamkan rasa cinta di hati, bukan untuk memiliki, bukan pula untuk menguasai, rupa semesta. Tapi untuk menjaga. Bagaikan langit biru—kita hanya mengagumi, tak harus menggenggamnya.”

Wiji menggigit bibir. “Kalau ia menyakitimu... apa kamu masih bisa mencintainya?”

Asmarawati terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. “Aku sudah pernah bilang. Tidak ada cinta yang tidak menyakiti. Orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling berpotensi menyakiti. Maka jika sudah siap mencintai, juga harus siap menahan rasa sakitnya. Karena cinta adalah perjuangan. Termasuk perjuangan menahan rasa sakit. Cinta bukan untuk dimiliki, tapi untuk diperjuangkan... meski kadang harus menelan pahit.”

Sunyi kembali menyelimuti mereka. Wiji menatap Asmarawati, perlahan tangannya menyentuh pipi gadis itu. Hangat, lembut, dan penuh getar. Asmarawati memejamkan mata. Dalam sentuhan itu, mereka seolah menyatu dalam bahasa yang tak terucap. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya getaran jiwa yang saling mengenal.

Namun waktu tak pernah benar-benar bersahabat dengan kekasih. Dari seberang jembatan, suara teriakan membuyarkan segalanya.

“Woi, Ji! Wiji!” Teriakan Tejo menggema.

Wiji sontak menoleh. Di kejauhan, Tejo dan Untung melambai dari atas motor.

“Kamu dicari bapakmu! Tadi orangnya ke rumah nyariin kamu!”

Wiji langsung berdiri. “Kamu pulang saja dulu, Dek. Aku harus segera pergi.”

“Asline ana apa, Mas?” tanya Asmarawati, gelisah.

“Sudah, jangan tanya dulu. Pulang ya!”

Wiji menarik tangan Asmarawati, menuntunnya ke sepedanya yang disandarkan di bawah pohon akasia.

Meski hatinya penuh tanda tanya, Asmarawati menurut. Ia segera naik ke sadel, mengayuh pelan, membelah senja yang mulai tenggelam. Rambutnya tergerai ditiup angin. Wiji berbalik arah, GL-MAX-NYA melaju menjauh. Untung dan Tejo menyusulnya dari belakang, seperti tahu bahwa Wiji tengah menyembunyikan sesuatu yang tak ringan.

Di warung kopi dekat Pasar Legi, mereka bertiga nongkrong. Asap rokok mengepul. Kopi pahit diseruput pelan.

“Ada apa, Ji? Bapakmu nyari kamu, kok kamu kabur?” tanya Untung, curiga.

“Ndak ada apa-apa. Sudah biasa, kamu tahu sendiri bapakku kayak apa.” Wiji mengelak.

“Jangan ngibul. Justru karena aku tahu, makanya aku nanya. Ada masalah sama Asmarawati, ya?” sergah Tejo.

Wiji terdiam. Matanya menerawang.

“Aku ndak bisa jelaskan. Rumit. Lebih baik aku selesaikan sendiri,” katanya lirih.

Mereka terdiam. Lalu masing-masing tenggelam dalam layar ponselnya. Sebuah pesan SMS masuk.

“Mas, sampean aman ta?” —dari Asmarawati.

“Aku baik-baik saja, Dek,” balas Wiji.

“Aku ndak ngerti tadi sore itu kenapa? Sampean pasti ada masalah. Ceritakan!”

Wiji menggigit bibir. Mengetik, menghapus. Mengetik lagi.

“Ndak ada apa-apa, Dek.”

"Ih, Opo Mas?"

"Sumpah ndak ada apa-apa."

"Ih, ngono."

"Lha, piye?"

“Ah, sampean jangan begitu. Ayo cerita. Atau kita satru!”

“Iya jangan begitu, Dek...”

“Embuh!”

Wiji merasa sesak. Ia ingin bicara. Tapi kata-kata seakan tak menemukan jalan keluar.

Ia tahu, Asmarawati tidak suka dibohongi. Sekali saja kepercayaan itu retak, maka diam bisa menjadi hukuman paling sunyi.

Akhirnya, ia raih ponsel Nokia tuanya. Jari-jarinya mulai mengetik pelan, sambil menahan napas.

“Iya, Dek. Aku memang ada masalah. Tapi ini urusan keluarga…”

Ia tekan tombol kirim. Layar menyala sebentar, lalu kembali redup.

Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi pelan: beep-beep!

Sebuah SMS masuk.

"Kenapa ndak ngomong dari tadi? Iya sudah. Kalau itu urusan keluarga, aku ndak ikut campur. Tapi jaga dirimu baik-baik, ya Mas.”

Wiji mengembuskan napas lega.

SMS itu seperti hujan kecil di tengah kemarau batin.

Ia tersenyum, lalu membalas: “Maturnuwun, Dek. Atas pengertianmu.”

Setelah pesan terkirim, ia letakkan ponsel di meja.

Lalu dipandanginya cangkir kopi yang tinggal ampas. Malam mulai larut.

Tapi di hatinya, cinta tetap menyala.

Meski langit gelap, ia tahu—selama masih ada doa dari Asmarawati, ia tak akan benar-benar tersesat.

*****

Sudah dua hari Wiji tak menampakkan batang hidungnya di rumah.

Rumah yang biasanya riuh oleh suara motor tuanya kini hening, sepi, bagai kehilangan nadi.

Di sudut ruang tamu, Ruqayah duduk memeluk lutut. Matanya sembab, bibirnya komat-kamit melafalkan doa. Sesekali ia menoleh ke pintu, berharap suara gerendel diketuk, atau deru motor GL-Max tua terdengar dari kejauhan. Tapi harapannya hanya menggantung di angin sore yang makin sunyi.

“Ya Allah... anakku Wiji, di mana kamu, Nak?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel kecil berlayar kuning-hijau.

Sudah beberapa kali ia menekan tombol merah, lalu hijau lagi — menelepon satu per satu teman Wiji.

“Ndak tahu, Bu… Terakhir ya itu… pas ngopi sama kami, terus dia pergi sendiri…”

Semua menjawab sama. Tak satu pun memberi harapan.

Ruqayah makin kalut. Dalam benaknya, berbagai bayangan buruk berseliweran.

Apakah Wiji kecelakaan? Ataukah ia lari karena tekanan dari bapaknya?

Atau… apakah ia sengaja menjauh karena hatinya sudah terlalu remuk?

Di luar rumah, Mispan mondar-mandir di halaman seperti macan lapar.

Matanya merah — bukan hanya karena amarah, tapi juga karena kurang tidur dan terlalu banyak pikiran.

Satu tangan menggenggam HP jadul yang antenanya sudah aus, satu tangan lainnya menenteng helm.

“Anak wedhus gembel… iso-isone minggat dua hari tanpa kabar!”

Ia menggerutu sambil menatap layar kecil yang terus-menerus menampilkan tulisan: “No Signal”.

“Pak, sudah… tolong jangan ngomel terus. Coba kita cari baik-baik,” ucap Ruqayah pelan dari balik pintu.

“Ndak bisa, Yah! Iki anakmu ndak tahu diuntung!

Wis tak larang, malah nekat terus ketemuan karo anak e Ratmoyo.

Lha saiki malah ngilang... bajingan!”

Ruqayah terdiam. Ia tahu suaminya sedang terluka oleh masa lalu yang tak kunjung sembuh.

Tapi Wiji adalah darah dagingnya juga. Anak yang ia timang dalam doa dan peluh — bukan sekadar nama yang bisa disumpahi.

“Kalau sampean terus marah-marah, Wiji malah tambah takut pulang, Pak.

Coba… coba tenangkan hati. Mungkin anak kita sedang butuh waktu.”

Mispan menghela napas, berat. Tapi egonya lebih tua dari sabarnya. Ia mengenakan helm, naik ke atas motor Bebek hitam “Aku cari dia dulu!”

“Pak… ojo ngebut-ngebut! Hati-hati di jalan!” seru Ruqayah dari teras, meski ia tahu, suaminya tak benar-benar mendengar — dan mungkin juga tak ingin mendengar.

Dan senja pun menetes dari langit, membawa serta harapan yang terus merapuh di dada seorang ibu.

Di dalam rumah itu, doa terus dilangitkan.

Di luar, seorang ayah mengejar bayangan anaknya yang hilang — dibuntuti luka lama yang belum sempat ia sembuhkan.

Sementara Wiji — entah di mana — membiarkan waktu menjahit sendiri luka-luka yang belum sempat ia bicarakan.

*******

Ternyata, selama dua hari itu Wiji bersembunyi. Bukan di hutan, bukan di kota asing yang jauh dari peta, tapi justru di tempat paling sederhana—di rumah sahabatnya sendiri: Tejo.

Rumah kayu berdinding anyaman bambu itu terletak di tepi sawah, tak jauh dari tanggul Brantas yang biasa mereka datangi. Sepi dari keramaian, tersembunyi dari lalu-lalang warga, dan paling penting: jauh dari pandangan mata Mispan.

Wiji tidur di dipan kayu dekat jendela, beralaskan tikar tipis. Sinar matahari pagi menembus celah-celah bilik, menyapa wajahnya yang pucat dan lelah. Di sampingnya, motor CB oranye itu terparkir bisu. Seperti turut menyimpan rahasia luka dan rindu yang tak sempat terucap.

Tejo hanya menatap sahabatnya itu dengan diam. Ia tahu Wiji sedang perang dengan dirinya sendiri. Maka ia tak banyak tanya. Ia cukup menyediakan tempat berteduh—seperti pohon rindang yang tak pernah menanyakan dari mana angin datang.

"Matur nuwun, Jo," ucap Wiji lirih pagi itu.

Tejo hanya menepuk bahu Wiji pelan. "Kamu ndak usah ngomong. Aku ngerti."

Sejak itu, rumah Tejo menjadi semacam ruang sunyi tempat Wiji menata ulang perasaannya. Di sana, ia tak hanya bersembunyi dari amarah bapaknya. Ia juga menyembunyikan patah-patah yang belum sanggup ia ceritakan kepada siapa pun—bahkan kepada dirinya sendiri.

Malam-malam ia terjaga, menatap langit dari jendela. Membayangkan wajah ibunya yang cemas, membayangkan pesan-pesan Asmarawati yang belum dibalas, dan membayangkan kemungkinan terburuk dari cinta yang tak direstui.

Hari sudah sore. Cahaya mentari mulai redup, terselip malu di balik kabut jingga.

Di rumah Tejo yang sederhana, Wiji masih meringkuk di pojok kamar, berselimutkan sunyi, ditemani suara ayam jago yang mulai gelisah di kandang sebelah.

Ia belum pulang. Tapi hatinya tetap pulang ke satu nama yang selalu membuatnya merasa ada: Asmarawati.

Ponsel monokrom miliknya bergetar pelan di bawah bantal. Ia mengangkatnya dan membaca satu SMS yang baru masuk:

"Mas, sampean sehat to? Ndak flu atau batuk? Tadi di sekolah banyak yang lagi ndak enak badan."

Wiji tersenyum tipis. Tiba-tiba dadanya terasa hangat, meski udara dingin menusuk tulang.

"Alhamdulillah, aku sehat, Dek. Sampean piye? Sekolah lancar?"

Beberapa menit berlalu. Layar ponsel berkedip lagi.

Balasan datang.

"Lumayan. Tugas lagi numpuk. Tapi bar kui, iso tak kerjain sambil nyruput jahe anget."

Wiji menahan tawa lirih. Tapi di dalam tawanya terselip perih. Ia mengetik perlahan:

"Berarti aku ini pengganggu fokusmu?"

Balasan tak lama muncul: "Bukan pengganggu. Tapi pengisi. Sampean itu kaya jeda di antara hiruk pikuk pikiranku. Nyaman. Sekaligus bikin kangen."

Wiji menatap layar kecil itu lama. Matanya tak sekadar membaca — tapi seolah menyelam ke dalam setiap huruf yang diketik dari jari-jari kecil Asmarawati.

Di sela hatinya yang berkabut, kata-kata itu menjelma cahaya kecil — laksana lampu bohlam 5 watt di kamar sempit, tapi cukup hangat untuk mengusir gelap.

Nyala yang ringkih, tapi nyata. Sejenak, Wiji tak membalas. Bukan karena tak ingin, tapi karena hatinya terlalu penuh untuk dijadikan kata. Ia memeluk ponsel itu seperti memeluk suara—membayangkan wajah Asmarawati saat tersenyum malu, atau alisnya yang naik turun heran saat ia sok tenang.

Di sudut kamar sempit rumah Tejo, Wiji terduduk sendirian — dihimpit diam, diterpa rindu, dan diguyur rasa bersalah yang tak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Dua hari ia menjauh dari rumah.

Tapi bukan rumah itu yang ia rindukan, melainkan satu tempat yang kini terasa paling jauh: hati ibunya.

Namun dalam semua rasa itu, SMS dari Asmarawati bagai mantra. Setiap kalimatnya seperti benang halus yang menjahit sobekan-sobekan kecil di dadanya. Benang itu tak tampak, tapi terasa.

Ia tahu, Asmarawati belum tahu bahwa ia sedang bersembunyi. Tapi entah bagaimana, perhatian gadis itu seolah tahu arah lukanya.

Asmarawati selalu tahu waktu yang tepat untuk hadir — meski hanya lewat 160 karakter. Dan dalam benaknya yang mengembara, Wiji membatin:

"Apa mungkin seseorang menyembuhkan luka yang tak pernah ia lihat? Mungkinkah seseorang mencintai dengan begitu sabar, bahkan saat tak tahu apakah cintanya diterima atau tidak?"

Ia ingin bercerita. Tapi kata-kata seperti beku.

Di depan Asmarawati, hatinya terlalu jujur untuk berdusta, tapi terlalu takut untuk terbuka.

Wiji memejamkan mata. Menengadah pelan, mencoba menarik napas panjang.

Mencoba berdamai dengan pikirannya yang penuh gemuruh.

Layar ponsel masih menyala redup. Tapi cahaya dari dalam dirinya… mulai terang perlahan.

Dan di antara semua yang belum sempat ia sampaikan, hanya satu hal yang terus menggema dalam hatinya:

"Semoga dia tahu, betapa aku mencintainya dalam diam yang penuh perjuangan."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!