Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Seperti sore-sore sebelumnya, Wiji kembali menemui Asmarawati di tanggul kali Brantas. Tempat sunyi yang menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang saling menyimpan rahasia. Senja merekah perlahan, langit menguning tembaga, sementara angin mengalun seperti gamelan lirih yang mengiringi bisik-bisik hati yang tak sepenuhnya terungkap.
Namun senyap sore itu menyimpan kepedihan yang tak tampak. Keduanya masih menyembunyikan kenyataan: bahwa orang tua mereka menyulam benang larangan di atas benang asmara. Wiji belum tahu bahwa Ki Ratmoyo diam-diam menaruh curiga padanya. Pun Asmarawati belum tahu bahwa Kaji Mispan menolak keras hubungan mereka. Meski begitu, keduanya tetap duduk berdampingan. Menahan gelombang di dada masing-masing, berpura-pura bahwa langit sedang baik-baik saja.
Mereka memilih diam, tapi bukan karena tak ada rasa. Justru karena cinta itu begitu pekat dan dalam, hingga kata-kata terasa terlalu kecil untuk memuatnya. Mereka menjaga hati masing-masing, meski belum saling mengucap “aku tresna sliramu”.
“Dek...” lirih Wiji, memecah sunyi.
“Iya, Mas...” Asmarawati menoleh lembut.
“Kelak, jika seseorang yang sangat kamu tresnani ternyata tidak ditakdirkan berjodoh denganmu... apakah cintamu akan berubah menjadi benci?” tanya Wiji. Kata-kata itu meluncur pelan, tapi menghujam seperti anak panah yang dilesatkan dari dasar resah.
Asmarawati tersentak, memandang Wiji dengan mata yang bergetar. “Njenengan ngendika nopo niku, Mas? (Sampean bicara apa itu, Mas?)”
“Biar ku perjelas,” Wiji menatap ke kejauhan, seolah takut melihat mata Asmarawati. “Jika orang yang kamu cintai tak ditakdirkan berjodoh denganmu, apakah cintamu akan luruh, dan berubah jadi benci.?”
Asmarawati menghela napas panjang, lalu berucap pelan. “Tidak!..... Tidak!.... Boten, Mas... mugi Gusti paring pangapunten. Aku tak akan mencelanya. Justru akan selalu kusematkan namanya dalam doa paling lirih. Meski hatiku kelak dirajam kecewa, namanya akan tetap kulindungi dalam sunyi yang tak seorang pun tahu...”
“Kenapa?” desak Wiji, suara tercekat.
“Karena sejak aku mencintai seseorang, aku tak pernah berharap memilikinya. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Meski bukan denganku... meski harus kehilangannya, aku rela. Karena Gusti yang menanamkan rasa cinta di hati, bukan untuk memiliki, bukan pula untuk menguasai, rupa semesta. Tapi untuk menjaga. Bagaikan langit biru—kita hanya mengagumi, tak harus menggenggamnya.”
Wiji menggigit bibir. “Kalau ia menyakitimu... apa kamu masih bisa mencintainya?”
Asmarawati terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. “Aku sudah pernah bilang. Tidak ada cinta yang tidak menyakiti. Orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling berpotensi menyakiti. Maka jika sudah siap mencintai, juga harus siap menahan rasa sakitnya. Karena cinta adalah perjuangan. Termasuk perjuangan menahan rasa sakit. Cinta bukan untuk dimiliki, tapi untuk diperjuangkan... meski kadang harus menelan pahit.”
Sunyi kembali menyelimuti mereka. Wiji menatap Asmarawati, perlahan tangannya menyentuh pipi gadis itu. Hangat, lembut, dan penuh getar. Asmarawati memejamkan mata. Dalam sentuhan itu, mereka seolah menyatu dalam bahasa yang tak terucap. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya getaran jiwa yang saling mengenal.
Namun waktu tak pernah benar-benar bersahabat dengan kekasih. Dari seberang jembatan, suara teriakan membuyarkan segalanya.
“Woi, Ji! Wiji!” Teriakan Tejo menggema.
Wiji sontak menoleh. Di kejauhan, Tejo dan Untung melambai dari atas motor. “Kamu dicari bapakmu! Tadi orangnya ke rumah nyariin kamu!”
Wiji langsung berdiri. “Kamu pulang saja dulu, Dek. Aku harus segera pergi.”
“Ada apa ini, Mas?” Asmarawati gelisah.
“Sudah, jangan tanya dulu. Pulang ya!” Wiji menarik tangan Asmarawati, menyeretnya ke motor maticnya.
Meski hatinya bertanya-tanya, Asmarawati menurut. Ia tancap gas, membelah senja yang mulai tenggelam. Wiji berbalik arah. Menjauh. Untung dan Tejo menyusulnya, seperti tahu bahwa Wiji tengah menyembunyikan masalah.
Di warung kopi dekat Pasar Legi, mereka bertiga nongkrong. Asap rokok mengepul. Kopi pahit diseruput pelan.
“Ada apa, Ji? Bapakmu nyari kamu, kok kamu kabur?” tanya Untung, curiga.
“Ndak ada apa-apa. Sudah biasa, kamu tahu sendiri bapakku kayak apa.” Wiji mengelak.
“Jangan ngibul. Justru karena aku tahu, makanya aku nanya. Ada masalah sama Asmarawati, ya?” sergah Tejo.
Wiji terdiam. Matanya menerawang.
“Aku ndak bisa jelaskan. Rumit. Lebih baik aku selesaikan sendiri,” katanya lirih.
Mereka terdiam. Lalu masing-masing tenggelam dalam layar ponselnya. Sebuah pesan masuk.
“Mas, sampean aman ta?” —dari Asmarawati.
“Aku baik-baik saja, Dek,” balas Wiji.
“Aku ndak ngerti tadi sore itu kenapa? Sampean pasti ada masalah. Ceritakan!”
Wiji menggigit bibir. Mengetik, menghapus. Mengetik lagi.
“Ndak ada apa-apa, Dek.”
"Ih, Opo Mas?"
"Sumpah ndak ada apa-apa."
"Ih, ngono."
"Lha, piye?"
“Ah, sampean jangan begitu. Ayo cerita. Atau kita satru!”
“Iya jangan begitu, Dek...”
“Embuh!” —emoji api menyertai.
Wiji merasa sesak. Ia ingin bicara. Tapi kata-kata seakan tak menemukan jalan keluar.
Ia tahu, Asmarawati tidak suka dibohongi. Jika sekali saja kepercayaan itu retak, maka diam akan menjadi senjata. Dan senyap akan menjadi penghukuman. Akhirnya jari-jarinya mulai bicara.
“Iya, Dek. Aku memang ada masalah. Tapi ini masalah keluarga.”
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
“Kenapa ndak ngomong dari tadi? Iya sudah. Kalau itu urusan keluarga, aku ndak ikut campur. Tapi jaga dirimu baik-baik, ya Mas.”
Dan pesan itu seperti hujan kecil di tengah kemarau batin. Wiji tersenyum. “Maturnuwun, Dek. Atas pengertianmu.”
Lalu ia pandangi cangkir kopi yang tinggal ampas. Malam mulai larut. Tapi di hati Wiji, cinta tetap menyala. Meski langit gelap, ia tahu—selama masih ada doa dari Asmarawati, ia tak benar-benar tersesat.
*****
Sudah dua hari Wiji tak menampakkan batang hidungnya di rumah. Rumah yang biasanya riuh oleh suara motor tuanya kini hening, sepi, bagai kehilangan nadi. Di sudut ruang tamu, Ruqayah duduk memeluk lutut. Matanya sembab, bibirnya komat-kamit melafalkan doa. Sesekali menoleh ke pintu, berharap suara gerendel diketuk, atau deru motor CB tua terdengar dari kejauhan. Tapi harapannya hanya menggantung di angin sore yang makin sunyi.
"Ya Allah... anakku Wiji, di mana kamu, Nak?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Tangannya gemetar saat menggenggam HP. Ia sudah menelepon beberapa kawan Wiji, tapi semua menjawab sama: "Ndak tahu, Bu. Terakhir ya itu... pas ngopi sama kami, terus dia pergi sendiri..."
Ruqayah makin kalut. Dalam benaknya, berbagai bayangan buruk berseliweran. Apakah Wiji kecelakaan? Ataukah dia lari karena tekanan dari bapaknya? Atau... ataukah dia sengaja menjauh karena sudah terlalu kecewa?
Sementara itu, di luar rumah, Mispan berjalan bolak-balik seperti macan kelaparan. Matanya merah, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena kurang tidur dan terlalu banyak pikiran. Satu tangan menggenggam HP, satu tangan lainnya menenteng helm. Ia seperti tak bisa diam.
"Anak wedhus gembel... iso-isone minggat dua hari tanpa kabar!" geramnya sambil mengetuk-ngetuk layar HP yang tak kunjung menampilkan nama Wiji.
"Pak sudah... tolong jangan ngomel terus. Coba kita cari baik-baik," pinta Ruqayah pelan.
"Ndak bisa, Yah!. Iki anakmu ndak tahu diuntung. Wis tak larang, malah nekat terus ketemuan sama anaknya Ratmoyo. Lha saiki malah ngilang, bajingan!"
Ruqayah terdiam. Ia tahu suaminya sedang terluka oleh masa lalu yang belum selesai. Tapi Wiji adalah darah dagingnya juga. Anak yang ia timang dengan kasih, yang ia besarkan dalam peluh dan doa.
"Kalau sampean terus marah-marah, Wiji malah takut pulang, Pak. Coba... coba tenangkan hati. Mungkin anak kita sedang butuh waktu."
Mispan menghela napas panjang. Tapi amarah dan egonya terlalu besar untuk menelan nasihat istrinya mentah-mentah. Ia mengenakan helm dan naik ke motornya.
"Aku cari dia dulu!"
"Pak... ojo ngebut-ngebut! Hati-hati di jalan!" seru Ruqayah dari teras, meski ia tahu, suaminya tak akan mendengar.
Dan senja pun menetes dari langit, membawa serta harapan yang terus merapuh di dalam dada seorang ibu. Di dalam rumah itu, doa terus dilangitkan. Di luar, seorang ayah mengejar bayangan anaknya yang menghilang, dengan beban luka lama yang belum ia sembuhkan.
Sementara Wiji—entah di mana—membiarkan waktu menjahit sendiri luka-luka yang belum sempat ia bicarakan.
*******
Ternyata, selama dua hari itu Wiji bersembunyi. Bukan di hutan, bukan di kota asing yang jauh dari peta, tapi justru di tempat paling sederhana—di rumah sahabatnya sendiri: Tejo.
Rumah kayu berdinding anyaman bambu itu terletak di tepi sawah, tak jauh dari tanggul Brantas yang biasa mereka datangi. Sepi dari keramaian, tersembunyi dari lalu-lalang warga, dan paling penting: jauh dari pandangan mata Mispan.
Wiji tidur di dipan kayu dekat jendela, beralaskan tikar tipis. Sinar matahari pagi menembus celah-celah bilik, menyapa wajahnya yang pucat dan lelah. Di sampingnya, motor CB oranye itu terparkir bisu. Seperti turut menyimpan rahasia luka dan rindu yang tak sempat terucap.
Tejo hanya menatap sahabatnya itu dengan diam. Ia tahu Wiji sedang perang dengan dirinya sendiri. Maka ia tak banyak tanya. Ia cukup menyediakan tempat berteduh—seperti pohon rindang yang tak pernah menanyakan dari mana angin datang.
"Matur nuwun, Jo," ucap Wiji lirih pagi itu.
Tejo hanya menepuk bahu Wiji pelan. "Kamu ndak usah ngomong. Aku ngerti."
Sejak itu, rumah Tejo menjadi semacam ruang sunyi tempat Wiji menata ulang perasaannya. Di sana, ia tak hanya bersembunyi dari amarah bapaknya. Ia juga menyembunyikan patah-patah yang belum sanggup ia ceritakan kepada siapa pun—bahkan kepada dirinya sendiri.
Malam-malam ia terjaga, menatap langit dari jendela. Membayangkan wajah ibunya yang cemas, membayangkan pesan-pesan Asmarawati yang belum dibalas, dan membayangkan kemungkinan terburuk dari cinta yang tak direstui.
Hari sudah sore. Cahaya mentari mulai redup, terselip malu di balik kabut jingga. Di rumah Tejo yang sederhana, Wiji masih meringkuk di pojok kamar, berselimutkan sunyi, ditemani suara ayam jago yang mulai gelisah di kandang sebelah. Ia belum pulang. Tapi hatinya tetap pulang ke satu nama yang selalu membuatnya merasa ada: Asmarawati.
Ponsel miliknya bergetar pelan. Sebaris pesan muncul:
"Mas, sampean sehat to? Ndak flu atau batuk? Tadi di sekolah banyak yang lagi ndak enak badan."
Wiji tersenyum tipis. Tiba-tiba dadanya terasa hangat, meski udara dingin menusuk tulang.
"Alhamdulillah, aku sehat, Dek. Sampean piye? Sekolah lancar?"
"Lumayan. Tugas lagi numpuk. Tapi bar kui, iso tak kerjain sambil nyruput jahe anget."
Wiji menahan tawa lirih. Tapi di dalam tawanya terselip perih. Ia membalas:
"Berarti aku ini pengganggu fokusmu?"
"Bukan pengganggu. Tapi pengisi. Sampean itu kaya jeda di antara hiruk pikuk pikiranku. Nyaman. Sekaligus bikin kangen."
Wiji kembali menatap layar ponsel itu lama. Matanya tak sekadar membaca, tapi seolah menyelam ke dalam setiap huruf yang terangkai dari jari-jari Asmarawati. Di sela hatinya yang berkabut, kata-kata itu menjelma cahaya kecil—laksana lilin yang tetap menyala dalam ruangan lembap dan gelap. Nyala yang ringkih, tapi cukup untuk menghangatkan sudut-sudut jiwa yang membeku oleh rasa asing di rumah orang lain.
Sejenak, ia tak membalas. Bukan karena tak ingin, tapi karena hatinya terlalu penuh untuk dijadikan kata. Ia memeluk ponsel itu seperti memeluk suara Asmarawati, membayangkan wajahnya yang selalu damai saat bicara, atau alisnya yang melengkung heran kala ia sedang berpura-pura kuat.
Di sudut kamar sempit rumah Tejo, Wiji terduduk sendirian—dihimpit diam, diterpa rindu, dan diguyur rasa bersalah yang tak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Dua hari ia menjauh dari rumah. Tapi bukan rumah itu yang ia rindukan, melainkan satu tempat yang kini justru terasa paling jauh: hati ibunya.
Namun dalam semua rasa itu, pesan-pesan dari Asmarawati bagai mantra yang menahan langkahnya agar tidak tersesat lebih dalam. Setiap kalimatnya seperti benang-benang halus yang menjahit kembali sobekan-sobekan kecil dalam dadanya. Benang itu tak tampak, tapi terasa mengikatnya untuk tetap kuat.
Ia tahu, Asmarawati belum tahu bahwa ia sedang bersembunyi. Tapi setiap perhatian yang dikirimkan gadis itu melalui pesan, seolah tahu ke mana arah luka-lukanya. Entah bagaimana bisa, tapi Asmarawati selalu tahu waktu yang tepat untuk hadir—meski hanya lewat kata.
Dan dalam benaknya yang mengembara, Wiji membatin lirih:
"Apakah mungkin seseorang menyembuhkan luka yang tak pernah ia lihat? Mungkinkah seseorang mencintai dengan begitu sabar, bahkan saat tak tahu pasti ia dicintai atau tidak?"
Ia ingin bercerita. Tapi kata-kata seperti tak bisa keluar. Di depan Asmarawati, hatinya terlalu jujur untuk berdusta, tapi terlalu takut untuk terbuka.
Wiji memejamkan mata. Ia menengadahkan wajahnya ke langit-langit, mencoba menarik napas panjang, mencoba berdamai dengan kepalanya yang sesak.
Layar ponselnya masih menyala. Tapi cahaya dari dalam dirinya yang mulai terang pelan-pelan.
Dan di antara semua yang belum sempat ia sampaikan, hanya satu hal yang terus menggema dalam hatinya:
"Semoga dia tahu, betapa aku mencintainya dalam diam yang penuh perjuangan."
Dan sesaat setelah itu, dengan suara yang nyaris pecah oleh rindu, gadis edan itu melantunkan syair Pupur Wangi:
"Aku emoh… yen mbok tinggal lunga
Aku bingung… rumangsa keduwung
Yen rina nelangsa… yen wengi sepi
Prasasat ngujiwat… mung katon mata
Ora suwe… aku bali
Ora cidra… aku netepi janji
Mung welingku… Panyuwunku....
Sangu pupure wangi"
Suara parau itu menggema di sela desau angin malam, menusuk langit, membentur dinding-dinding waktu. Gadis itu—dalam balutan busana yang compang-camping, rambut terurai tanpa arah—menyanyikan luka dengan nada gila.
Tangis dan tawa saling bersahutan, seperti dua roh yang berebut tubuhnya. Kadang ia terisak perlahan,
kadang tertawa terpingkal-pingkal, seolah seluruh semesta telah kehilangan arti.
Ia bernyanyi, dan bernyanyi lagi, menjadi bayangan dari dirinya sendiri— gila oleh cinta yang tak pernah kembali.