Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Naik Gunung Cari Obat
Sejak keluarga Mu punya mutiara, mereka nggak perlu lagi beli minyak buat lampu. Rumah pun jadi terang benderang! Rumah terang, hati pun ikut senang. Setelah minum beberapa bungkus obat, Ayah Mu akhirnya bisa turun dari tempat tidur dan jalan sendiri. Meskipun belum bisa angkat berat, itu udah kemajuan besar banget, soalnya dia kan udah lama sakit.
Begitu kakinya agak lincah, Ayah Mu mulai sering keluar rumah, nyari udara segar. Pagi-pagi waktu dua anaknya latihan, dia juga ikutan jalan pelan-pelan keliling halaman, kadang sambil gerakin tangan atau ngelenturin kaki. Badannya jadi lebih enakan. Ya bener juga sih, kata orang, hidup itu ada di pergerakan!
Bu Liu, seperti biasa, khawatir banget. Setiap kali suaminya mau keluar, dia selalu ribut ngingetin ini itu, takut kenapa-kenapa di jalan. Hari ini pun, baru aja Ayah Mu pake jaket tebal mau keluar rumah, Bu Liu langsung mulai ceramah:
"Acheng, keliling bentar aja terus pulang ya, jangan ikut-ikutan anak-anak lari-larian. Pinggangmu baru aja sembuh, jangan jalan cepat-cepat, jangan sampe jatuh. Ingat, kamu itu bukan anak muda lagi. Kalau capek, duduk istirahat dulu. Dengerin, ya?"
Ayah Mu jadi malu sendiri, rasanya kayak lagi dinasihatin kayak anak kecil. Tapi, hatinya juga hangat—disayang istri tuh rasanya beda.
Bu Liu juga bilang ke putrinya, "Yaoyao, jagain bapakmu ya. Jangan sampe kejadian lagi. Keluarga kita udah nggak sanggup hadapi cobaan lagi."
Mu Yao sih cuma senyum-senyum. Dengar nasihat dari satu telinga, keluar di telinga sebelah. Ayahnya kan udah gede, bukan anak kecil lagi. Tapi melihat orangtuanya akur, dia dan adiknya juga ikut senang.
Selesai sarapan, Mu Yao lihat cuaca hangat, langsung kepikiran buat naik gunung cari obat lagi. Beberapa hari lagi ada pasar, dia mau cari barang bagus yang bisa dijual biar tahun depan bisa bangun rumah baru.
Di rumah, Bu Liu juga sibuk sendiri. Sekarang suaminya bisa ngurus diri sendiri, dia punya waktu lebih banyak. Selimut terakhir pun udah selesai dijahit. Dia berencana pakai sisa kapas buat bikin tirai jendela dan pintu. Soalnya musim dingin malam-malam itu dingin banget. Di luar jendela cuma ada tirai jerami tua yang bolong-bolong, nggak tahan angin. Pintu dapur malah nggak punya tirai sama sekali. Setiap pagi air di gentong beku, kadang tebal banget, dia harus mecahin es dulu buat bisa masak. Repot banget.
Bahan buat bikin jaket musim dingin juga udah dibeli. Harus buru-buru dijahit sebelum salju turun. Biar nggak perlu lagi pakai jaket lama. Bu Liu udah atur rencana kerja seharian, dia juga pengen bantu bangun rumah!
Hari ini Mu Yao bawa keranjang bambu yang baru, ukurannya lebih gede dari yang lama. Jalan ke gunung itu ada banyak, dan kali ini dia ambil jalur yang jarang dilewatin. Jalannya memang lebih susah—banyak lubang dan tanjakan. Tapi karena jarang dilewati orang, kemungkinan besar ada banyak tanaman liar berharga di sana. Mu Yao sih udah terbiasa sama jalur kayak begini, jadi nggak terlalu susah buat dia.
Jalan setapak di gunung itu berkelok-kelok. Kadang harus muter lewat samping batu besar, atau kalau buru-buru bisa aja manjat langsung, tapi itu makan waktu dan tenaga. Mu Yao nggak mau buang energi. Kadang juga ada pohon tumbang yang nutup jalan. Kalau rendah bisa dilompati, kalau tinggi dikit bisa nyelip dari bawah. Mu Yao cukup lincah, tangannya pegang batang pohon, kakinya dorong, langsung loncat lewat.
Setelah hampir satu jam naik turun, belum ketemu binatang liar satu pun. Tapi dia berhasil dapat dua kelinci, masing-masing berat sekitar tujuh atau delapan kati. Katanya sih daerah ini banyak jamur dan tanaman obat, tapi binatang jarang lewat. Meski begitu, Mu Yao tetap hati-hati.
Dia nemu jamur abu-abu dan kuping kayu cukup banyak, juga beberapa buah pinus besar yang jatuh. Lumayan lah.
Setelah jalan agak jauh, Mu Yao nemu satu akar danggui manis. Waktu masih pagi, jadi dia santai aja. Dapat satu-dua juga udah bagus, nggak perlu serakah.
Setelah jalan lagi sebentar, dia sampai di area yang agak datar dan terbuka. Pohonnya cuma beberapa, nggak tinggi-tinggi amat. Sinar matahari siang bikin tubuhnya hangat. Mu Yao lihat ada batu besar yang datar, dia niat mau duduk sebentar sambil minum air. Botol airnya itu dibeli waktu ke pasar, harganya delapan puluh wen!
Pas dia bersihin debu di atas batu, eh, nemu sesuatu—liar! Ternyata itu akar shanyao alias ubi gunung! Bukan hal aneh di gunung sini sih, tapi yang ini daunnya lebat banget, menjalar ke mana-mana.
Yang bikin Mu Yao kaget, ubi-nya besar-besar! Biasanya orang-orang cuma nemu sebesar kuku jempol, tapi yang ini ukurannya segede telur puyuh bahkan lebih. Ini sih efek dari musim kering yang panjang. Ubinya nggak cuma besar tapi juga banyak. Sekali panen bisa dapat tiga sampai empat. Ubi gunung ini bentuknya mirip kentang, tapi kulitnya lebih gelap dan banyak bulu halus. Rasanya lebih enak dari kentang dan kandungan gizinya juga lebih tinggi—penuh pati, protein, vitamin B, C, E, dan mineral penting seperti kalsium, zat besi, dan zinc. Tapi ya, tetap nggak boleh kebanyakan, apalagi buat orang yang gampang gemuk.
Mu Yao ambil kain bekas bersih dari keranjangnya dan mulai panen. Hampir seluruh batang tanaman itu dipenuhi ubi, bahkan di bawah daun pun ada. Dia ambil yang paling gede dan matang.
Habis itu, dia singkirkan batu-batu kecil di sekitar tanaman, lalu pelan-pelan gali akarnya pakai alat kecil. Tanaman ini gede dan akarnya dalam banget. Dia gali sampai tanah hampir sepinggang baru bisa angkat. Ternyata ada dua akar besar yang saling melilit, sebesar gagang cangkul. Mu Yao bersihin tanahnya lalu hati-hati masukin ke keranjang biar nggak patah.
Nggak jauh dari situ, dia lihat ada lagi satu tanaman shanyao. Tapi yang ini akarnya kecil dan ubinya sedikit, jadi dia cuma bersihkan tanahnya dan coba gali. Walau nggak bawa alat yang pas, dia tetap gali perlahan. Setelah satu jam, akhirnya akarnya keluar juga—panjangnya hampir dua kaki, beratnya sekitar tujuh atau delapan kati. Kayak paha kambing! Mungkin udah tumbuh selama 4–5 tahun. Ini pertama kalinya dia lihat yang sebesar itu.
Mu Yao senang banget, langsung siap-siap pulang lewat jalan lain. Di perjalanan turun gunung, dia nemu beberapa tanaman shanyao kecil dan beberapa batang danggui. Tanaman ini tumbuh di sela-sela batu, bunganya putih kayak payung kecil. Daunnya segitiga bergerigi, batangnya merah muda di atas dan makin ke bawah warnanya makin merah tua.
Tanaman ini nggak susah dicabut, bahkan ada yang cuma butuh ditarik setelah bersihin batu di atasnya. Mu Yao dapat empat batang danggui manis dan dua batang danggui pahit. Keranjangnya pun penuh. Untung dia bawa yang ukuran besar.
Pas matahari mulai turun, Mu Yao baru sampai rumah. Keluarganya udah nunggu dengan cemas. Ayahnya buru-buru bantu turunin keranjang dari punggungnya, sambil bilang, “Anakku, kamu pasti capek banget ya! Dapat segini banyak... ayo istirahat dulu, nanti baru makan.”
Bu Liu juga cepat-cepat bawain air buat cuci muka dan tangan.
Bu Liu udah siapin makan malam dari sore, takut anaknya pulang dalam keadaan lapar. Habis makan, Mu Yao langsung rebahan. Badannya benar-benar capek hari ini. Jalan jauh sambil bawa keranjang penuh gitu, siapa yang nggak lelah? Baru sebentar tiduran, Mu Yao udah nyenyak dan mimpi ketemu Dewa Tidur.