Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Masa Lalu Pilihan Mertua
Pagi ini, Arman bangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, ada rasa antusias yang menggelitik hatinya mungkin karena malam nanti ia akan makan malam bersama Raya.
"Bu, masakin yang enak ya. Ini uang belanja," ucap Arman sambil menyerahkan sejumlah uang kepada ibunya.
Ibunya menatap heran, namun tersenyum. "Wah, tumben kamu nyuruh ibu masak. Biasanya juga ibu yang inisiatif, untung ada Arini yang bisa bantu."
"Iya, bu. Soalnya besok ada kejutan buat ibu," jawab Arman singkat.
"Kejutan? Hah, kejutan apa tuh, Man?" tanya ibunya penasaran.
"Rin, nanti temenin ibu ke pasar ya," pinta ibunya pada Arini.
"Ya, Bu," jawab Arini datar, tapi dalam hatinya sudah mulai curiga.
Sementara itu, Diva bersiap pergi ke toko. Ia hanya akan sebentar, sebelum menitipkan kembali pengelolaan kepada kakaknya.
"Siang aja aku pulangnya, Kak. Biar pas nyampe jam tiga-an," ucap Diva sambil merapikan tas.
"Iya, terserah kamu aja, Div. Kakak dukung apa pun yang terbaik untuk kamu," sahut Dira sambil berlalu.
---
Di rumah Arman, ibu dan Arini sibuk di dapur mempersiapkan makan malam. Semuanya hampir siap. "Rin, tinggal panasin aja nanti ya. Ibu istirahat dulu," ucap ibu Susan sambil menuju kamarnya, lelah.
Sementara itu, dalam perjalanan pulang, Diva kembali dihantui rasa sesak saat menatap foto-foto suaminya bersama wanita lain. Rumah yang familiar itu kini tampak asing baginya. Mobil travel berhenti tepat pukul 3.30 sore. Diva turun, menarik napas panjang, dan mengetuk pintu.
"Assalamualaikum," ucapnya pelan.
Dari dalam terdengar jawaban, "Waalaikumsalam..." Itu suara Arini. Ia langsung membuka pintu dan terkejut bukan main.
"Ya Allah, Kak Diva!" ucap Arini sambil memeluk Diva erat.
"Ibu di mana?" tanya Diva pelan.
"Ada, Kak. Lagi istirahat."
"Sudah, Kakak masuk dulu. Jangan kasih tahu dulu ya ke ibu atau bang Arman."
"Siap, Kak," jawab Arini sambil tersenyum. Pantas abang minta dimasakin enak-enak, rupanya buat Kak Diva, batinnya. Lalu ia menutup pintu dan duduk kembali di ruang keluarga.
Diva, yang merasa lelah, langsung mandi dan bersiap memberi kejutan. Sekitar 30 menit lagi suaminya pasti pulang.
---
Jam empat sore, Arman keluar dari kantor dan segera menjemput Raya. Hatinya penuh kegembiraan seperti seorang remaja yang jatuh cinta. Raya sudah menunggu di depan kantor.
"Man, sebelum ke rumah, kita beli kue dulu ya buat Tante Susan dan Arini," pinta Raya sambil tersenyum manis.
"Oke, siap cantik," jawab Arman bersemangat.
Setelah membeli kue, mereka meluncur menuju rumah. Saat sampai, Arini yang membuka pintu terbelalak melihat Raya di samping Arman. Ia langsung menarik lengan abangnya.
"Bang, ngapain bawa dia? Bukannya ini kejutan buat Kak Diva?"
"Apa apaan kamu Rin jangan ngelantur deh, Rin. Ini semua buat Raya," sahut Arman ketus.
Ibu Susan yang kebetulan keluar dari dapur langsung tersenyum melihat Raya dan mengajak mereka masuk.
Dari dalam kamar, Diva mendengar segalanya. Hatinya tercekat. Air matanya jatuh diam-diam, namun segera ia sapu dengan tangan.
Jadi kamu sudah terang-terangan, Bang? Baik, aku akan ikut permainanmu... batinnya dingin.
Ibu Susan dan Arman masih tidak tahu bahwa Diva sudah ada di rumah. Mereka sibuk mengobrol dengan Raya hingga adzan Maghrib berkumandang.
Arman pun pamit ke kamar untuk mandi. Tapi saat membuka pintu, langkahnya terhenti.
"Div? Kapan kamu pulang?" tanyanya gugup, nyaris tidak percaya.
"Sudah dari tadi sore, Bang," jawab Diva singkat.
Gawat... gimana ini? Di luar ada Raya… pikir Arman panik.
Ia buru-buru keluar kamar dan mencari ibunya. "Bu, ini gimana?" bisiknya panik.
"Gimana apanya?" tanya Bu Susan kebingungan.
"Itu... Diva ada di kamar," jawab Arman dengan wajah pucat.
"Kamu serius, Man? Jangan bercanda."
"Serius, Bu. Tapi kok ibu gak tahu Diva pulang?"
"Ya tanya aja Arini!" jawab ibunya cepat.
Malam itu, suasana makan malam terasa kaku. Meskipun semua duduk di meja yang sama, ada jarak tak kasat mata yang membelah mereka—dan semua itu karena kehadiran Diva.
Berbeda dengan Raya yang justru tampak percaya diri, merasa bahwa Arman kini sepenuhnya miliknya. Sesekali ia menggoda Arman dengan gerak manja dan senyum menggoda. Arman pun menanggapi dengan santai, seolah lupa bahwa istrinya sendiri duduk tak jauh dari mereka. Diva hanya menyuap makanannya perlahan, wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya berbicara lebih keras dari kata-kata.
Bu Susan tampak senang melihat kedekatan Arman dan Raya, seolah-olah masa depan anaknya baru saja ditentukan. Sementara itu, Arini hanya menunduk, diam, tak ingin Diva mengira ia mendukung situasi ini.
Tiba-tiba Diva meletakkan sendoknya, suaranya tenang tapi tajam.
"Sepertinya di rumah ini ada ulat bulu, ya. Manja tak tahu diri, nemplok sana-sini sama suami orang," ucapnya datar sambil melirik ke arah Raya.
Arman yang menyadari maksud ucapan itu, langsung menarik diri dari Raya, sedikit canggung. Arini nyaris menahan tawa, menutup mulutnya sambil menunduk.
"Astaga Diva, maksudmu apa?" tanya Bu Susan, masih tak merasa bersalah. "Lagipula, sebentar lagi kamu juga akan punya 'adik madu', jadi santai saja."
Diva mengangkat alis, menatap ibunya dengan tatapan tajam. "Coba ulangi, Bu. Aku? Punya adik madu? Astaga, bahkan untuk bermimpi pun jangan yang buruk begitu. Aku nggak sudi disandingkan dengan perempuan model begitu," katanya sambil menatap Raya dengan dingin.
Arman pun akhirnya angkat bicara, suaranya mulai meninggi. "Sudah, Div. Kamu tuh kenapa sih? Seperti anak kecil aja."
Diva menatapnya lurus. "Kalau memang kamu sudah memilih dia, bagus. Ceraikan aku."
"Jangan asal bicara kamu, Diva!" bentak Arman, kini mulai gelisah.
Tanpa membalas, Diva bangkit dari kursinya dan melangkah meninggalkan ruang makan. Hening kembali menyelimuti ruangan.
"Maafin aku ya, Man," ucap Raya pelan, mencoba meredakan suasana.
"Ulat bulu ya ulat bulu…," gumam Arini pelan sambil menggeleng, tak kuat menahan sindiran.
Bu Susan menoleh tajam ke arah Arini, tapi Arman buru-buru menjawab, "Nggak kok, Ray. Diva memang selalu begitu."
Langkah kaki Diva terasa berat, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia masuk ke kamar, menutup pintu perlahan. Bukan karena tak ingin didengar, tapi karena lelah. Lelah berpura-pura kuat. Lelah pura-pura tak peduli.
Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang namun terasa sesak. Matanya menatap kosong ke dinding kamar, tapi pikirannya terus memutar adegan demi adegan di meja makan tadi. Tangannya mengepal, bukan karena marah—tapi menahan air mata yang ingin jatuh.
“Jadi memang benar. Aku sudah bukan prioritas lagi.”
Diva membuka laci, mengambil album foto pernikahan mereka. Ia usap perlahan wajah Arman di salah satu foto. “Kita dulu tertawa bersama, Bang… Kenapa sekarang aku seperti orang asing di rumah ini?”
Ia berdiri, berjalan menuju jendela, menatap langit yang mulai gelap. “Kalau memang kebahagiaanmu bukan lagi denganku, aku rela. Tapi jangan paksa aku duduk di meja yang kau siapkan untuk menghancurkan hatiku.”
Air mata akhirnya tumpah. Tapi tak ada isakan. Hanya keheningan, hanya rasa sesak yang mengisi ruang di sekelilingnya. Ia pun duduk bersandar di dinding, memeluk lututnya.
“Aku harus kuat... Demi harga diriku. Demi cintaku yang pernah aku perjuangkan.”
POV Arman
Setelah Diva pergi meninggalkan meja, suasana yang tadinya dingin berubah jadi benar-benar beku. Arman mencoba melanjutkan makan, tapi sendoknya hanya bermain di atas piring. Tawa kecil Raya di sebelahnya pun terasa sumbang. Hatinya tak tenang. Matanya melirik ke arah kamar.
"Diva... kenapa rasanya aku seperti baru melihat sisi dirimu yang lain..."
Bayangan wajah Diva saat menatapnya dingin, penuh luka terus menghantui pikirannya. Bukan Diva yang biasanya lembut. Bukan Diva yang mudah diam dan mengalah. Tapi malam ini, perempuan itu berdiri dengan harga dirinya.
Arman mengusap wajah. Tiba-tiba makanan tak lagi enak. Raya terus bicara, tapi masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
“Apa yang sebenarnya aku cari? Perasaan senang ini... atau rumah yang dulu penuh tenang bersama Diva?”
---
POV Arini
Dari kursinya, Arini hanya bisa memperhatikan dua orang di depannya yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Hatinya mulai tak enak. Tatapan Diva tadi masih terbayang jelas itu tatapan orang yang kecewa... tapi tetap memilih menjaga martabatnya.
Setelah menyelesaikan makannya, Arini bangkit pelan dan pamit.
Ia berjalan pelan menuju kamar Diva. Ia ragu mengetuk, tapi akhirnya menguatkan hati.
"Kak Diva..." panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Arini pelan membuka pintu.
Diva masih duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya sembab.
"Kamu kenapa diem aja tadi, Rin?" tanya Diva dengan suara serak.
Arini mendekat, duduk di sebelahnya.
"Karena aku nggak tahu gimana caranya netral di tengah semua ini... Tapi satu hal yang pasti, Kak, aku ada di pihakmu."
Diva menoleh pelan.
"Terima kasih, Rin... satu aja cukup buat aku nggak ngerasa sendirian."
Malam itu, setelah meja makan kembali sunyi…
Arman hanya duduk diam di ruang tamu, menggenggam ponselnya tapi tak tahu harus berbuat apa. Suasana hatinya tak lagi semanis sebelumnya. Senyum manja Raya, tawa ringan ibunya, bahkan makanan yang tadi diminta khusus semuanya mendadak hambar.
Ia menoleh ke arah lorong kamar. Pintu kamar mereka tertutup. Entah mengapa rasanya berat sekali untuk mengetuk.
Akhirnya, ia bangkit juga. Pelan-pelan, Arman mendekat dan mengetuk pintu kamar.
"Div… abang boleh masuk?"
Tak ada jawaban.
Ia mengetuk sekali lagi. "Div, abang cuma mau ngomong… bentar aja."
Pintu tak terbuka. Tapi dari dalam terdengar suara lirih, nyaris tak terdengar.
“Ngomong apa, bang? Bahas nikah kalian?”
Arman menelan ludah. Nada Diva bukan marah… tapi lebih dingin. Lebih menyakitkan.
“Abang... gak tahu kenapa semua jadi begini. Tapi abang cuma...”
“Cuma apa?” Diva menyela, suaranya masih tenang, tapi tajam. “Cuma gak bisa milih? Cuma gak bisa jujur? Atau cuma gak bisa setia?”
“Div, jangan gitu dong…”
“Aku gini karena kamu yang mulai, bang. Kamu yang bilang mau bahagia, tapi gak tahu caranya. Kamu yang tarik ulur aku, terus sekarang pura-pura bingung.”
Sunyi. Arman tak bisa membantah.
Dari balik pintu, Diva berkata pelan, “Kalau abang gak bisa milih… aku yang pergi. Biar gak perlu ada dua perempuan yang saling melukai.”
Pintu tetap tertutup. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Arman merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.