“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 1
“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Kartijo menatap sengit ke arah Sulastri — istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang setelah bertaruh nyawa melahirkan anak mereka. Wajahnya pucat, keringat dingin masih membasahi pelipis, sementara tangis bayi mungil di pelukannya justru membuat amarah sang suami semakin membuncah.
Di sisi Kartijo, Amina—gundiknya, menggandeng lengan pria itu sambil mendongak congkak. “Kau kalah wanita sialan,” gumamnya.
Sulastri menatap mereka dengan mata nanar. Dadanya sesak, air susu yang belum kering di tubuhnya seolah ikut membeku bersama hatinya yang remuk.
“Kalian benar-benar ... tak berperasaan!” Bibirnya bergetar.
Kartijo menatap istrinya dengan angkuh. “Tak berperasaan? Sulastri ... kau sudah tau, kan, Joglo Punjer hanya membutuhkan anak laki-laki sebagai penerus kekuasaan. Bukan anak perempuan yang hanya bisa merengek di kasur!”
Sulastri terkekeh lirih, senyumnya getir. Kartijo dan Amina, dua nama itu benar-benar membuatnya muak. Dengan sisa tenaga, ia menegakkan tubuhnya, menatap tajam dua manusia yang telah merenggut segalanya darinya.
“Dengar baik-baik, Kartijo. Bayi laki-laki yang kau bangga-banggakan itu, kelak akan membawamu pada kehancuran. Dan putrimu yang kau buang, suatu saat nanti—ia lah yang akan membuat mu tersenyum bangga!” Sulastri mengangkat sudut bibirnya, tatapan sengitnya beralih pada Amina. “Dan kau, Gundik Murahan! Kelak, kau akan merasakan — bagaimana rasanya hidup dengan pria penggila selangkangan yang tak pernah cukup dengan satu perempuan. Hidupmu ... akan penuh dengan air mata darah!”
.
.
.
Setahun yang lalu.
Gending gamelan terdengar samar ketika penduduk desa berbondong-bondong menuju alun-alun untuk menyaksikan pernikahan anak tunggal juragan kaya dengan kembang desa Lereng Gunung. Pesta yang berlangsung tiga hari tiga malam itu menjelma jadi pesta rakyat nan megah. Beragam kesenian tradisional digelar dan malam penutupan diisi pagelaran wayang kulit oleh dalang paling tersohor di tanah Jawa.
Para tamu saling berbisik, memuji betapa cantik dan gagahnya sepasang pengantin malam itu. Dengan balutan baju adat Jawa, Sulastri dan Kartijo terlihat semakin mempesona.
“Sekarang ... surgamu bukan sama Buk’e lagi, ya, Nduk. Tapi sama suamimu. Kamu harus bisa jaga marwah suami, layani dengan baik, nurut, kudu eling, kodrat istri itu ada di bawah suami,” nasihat Wijiati pada sang putri yang terisak dalam pelukannya.
Sulastri mengangguk pelan sebelum berpindah pada sang bapak.
“Maafkan bapak, Nduk. Bapak yakin, Den Kartijo mampu membahagiakanmu,” ucap laki-laki sepuh itu. Dadanya terasa sesak menahan haru.
Sulastri melepas kepergian orang tuanya dengan tangis terisak, wanita itu harus pasrah pada kekolotan tradisi dimana mereka yang lemah harus tunduk pada yang lebih berkuasa.
Sulastri—kembang desa yang kesehariannya menganyam bambu harus rela menikah muda karena perjodohan orang tuanya. Kelemahan ekonomi serta ancaman terhadap panenan tembakau yang menjadi satu-satunya sumber pangan, menjadi alasan Margono menerima lamaran sang juragan kepada putrinya.
Di kamar dengan cahaya temaram, teplok-teplok dengan wangi melati menyambut pasangan pengantin baru itu. Aroma bunga yang menguar, memberikan kesan magis nan romantis di suasana malam pertama.
Di pinggir ranjang, Kartijo duduk seraya menatap Sulastri yang sedang duduk di depan meja rias. Matanya menelusuri seluruh lekuk tubuh Sulastri yang aduhai. Kartijo menghampiri sang istri, dengan lembut pria itu membelai lembut rambut hitam terurai, lalu meraih lembut dagu si perawan.
Kartijo menundukkan kepala, bergerak cepat mencuri satu kecupan di bibir mungil Sulastri, “Legi,” ucapnya sembari tersenyum penuh arti.
Sulastri terkesiap, matanya membulat. Kecupan kartijo yang tiba-tiba itu, sungguh membuat jantungnya berpacu hebat.
'“Ada apa, Diajeng?” Kartijo menyibak anak rambut yang menutupi wajah ayu gadis itu.
Sulastri masih bergeming, menundukkan kepala sambil menatap lantai kayu yang mulai mendingin.
“Diajeng ...?”
Sulastri meremas ujung bajunya, “Pangapurane, Kangmas. Saya belum siap memenuhi kewajiban saya sebagai istri,” jawabnya ragu.
Kartijo menarik tubuh mungil Sulastri kedalam dekapannya, dengan lembut dia membelai ujung kepala Sulastri, “Kamu itu sudah jadi istriku, Diajeng. Siap tidak siap, kamu tetap harus melayani suamimu—itu sudah jadi kewajibanmu.”
“Saya paham,” sahut Sulastri mencoba memberanikan diri. “Tapi, Kangmas juga harus tahu, bahwa sedari awal saya tidak siap dengan pernikahan ini. Saya ... hanya butuh waktu untuk bisa ikhlas dan menerima mu sepenuhnya. Saya tidak mau melakukannya tanpa dasar cinta.”
Kata-kata yang dilontarkan Sulastri, menusuk harga diri Kartijo.
“Cinta ...?” gumam Kartijo pelan.
Sulastri mengelak pelan dari dekapan Kartijo, dengan penuh ketakutan gadis itu mundur satu langkah ke sudut ruangan.
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?!”
“Satu minggu.”
Kartijo mengusap rambutnya kasar, sudah lama sejak pertama melihat gadis itu, dia menahan nafsunya. Darahnya nyaris mendidih mendengar penolakan sang istri.
“Itu terlalu lama, Diajeng!” tolak Kartijo.
Sulastri menarik napas. “Saya janji, hanya satu minggu. Setelahnya, saya akan menyerahkan seluruh hidup saya untuk berbakti padamu, Kangmas,” tegasnya.
“Dua hari. Waktu yang aku beri untukmu hanya dua hari, setuju ataupun tidak — aku tidak peduli. Aku tidak mau mendengar penolakan lagi!” ketus Kartijo.
Sulastri menghela napas pelan, ia pun mengangguk setuju. “Namun, ada satu lagi yang ingin saya minta dari panjenengan, Kangmas,” lirih Sulastri.
“Apa lagi ...?” Kartijo menatap kesal.
“Saya tidak mau di madu, apapun alasannya.”
Permintaan itu bukan tanpa alasan jika mengingat Kartijo yang terkenal gemar bermain wanita nakal.
“Baik, aku menyetujuinya.”
***
Di depan kaca Sulastri menyisir rambut hitamnya, wajahnya yang ayu dengan kulit sawo matang mengkilat di bawah tamparan pedar dimar. Penampilannya yang hanya berkemben jarik lurik, membuat Kartijo tak lagi mampu menahan hasratnya.
Kartijo menghampiri gadis idamannya, mengecup lembut pundak yang di biarkan bebas terbuka. Sentuhannya yang tiba-tiba membuat Sulastri tersentak dari duduknya.
“Kangmas ...!” pekik gadis itu pelan.
Kartijo menatap gemas, dengan gerak cepat—ia melumat habis bibir Sulastri.
Semilir angin menyusup pada sela-sela dinding kayu, membelai tubuh yang meremang. Seiring bibir yang saling bertautan, jantung keduanya pun semakin berdegup kencang. Ciuman lembut namun dalam, mengulum penuh bibir manis, menciptakan kecapan penghias sunyi malam.
Sulastri membeku, ini pertama kali untuknya, ketidaksiapan membuat napasnya nyaris terputus.
“Belum apa-apa kok sudah ngos-ngosan to, Diajeng,” bisik Kartijo semakin menggencarkan grayangan serta kecupan-kecupan. Jari-jarinya perlahan menyusup ke balik jarik lurik, “alus bener.”
Seakan tersadar dari buaian, Sulastri secepat kilat menahan tangan Kartijo yang hampir menyentuh dadanya.
“Maaf, Kangmas. Sa—saya belum siap,” sela Sulastri.
Kartijo menghentikan sentuhannya, lalu menatap tajam pada wajah Sulastri yang pucat pasi, '“Kalau mau nunggu siap, kapan siapnya? Ini sudah lewat dua hari,” sahut Kartijo, kali ini dengan sengaja dia mendekatkan bibirnya tepat di telinga Sulastri, menguarkan napas hangat bercampur aroma wedang jahe.
Sulastri semakin pucat pasi, ''I—itu Kangmas, saya takut.''
Kartijo memiringkan kepalanya, lalu tiba-tiba ia terbahak dan kembali menatap wajah ayu sang istri.
“Jadi ... sampean minta saya menunggu itu karena takut?” tanyanya sembari menyibak rambut hitam yang menutupi wajah pucat pasi sang istri. “Jangan takut, Diajeng. Kangmas akan mengajarimu, lama-lama kamu pasti akan ketagihan sama nikmatnya,” bisiknya dengan suara rendah.
Sulastri pasrah pada janjinya, akhirnya, untuk pertama kalinya—ia menjalani bakti sebagai seorang istri, yakni melayani Kartijo di atas ranjang. Tentunya, ia melewati malam itu dengan air mata yang bersimbah.
***
Setahun berlalu.
Sore itu, Sulastri baru pulang dari desa tetangga. Sudah beberapa hari perutnya terasa tidak nyaman, membuatnya harus menempuh perjalanan hampir dua jam hanya untuk menemui bidan yang tinggal di sana.
Namun, saat langkahnya baru saja tiba di depan pintu kamar, samar-samar dirinya mendengar suara.
“Tapi, Mas, gimana kalau istrimu tidak menerima kehadiranku? Bagaimana nasib anak ini?” Suara manja seorang wanita terdengar dari kamarnya.
Sulastri tertegun, memastikan telinganya tak salah mendengar.
“Kau tenang saja, Nimas. Aku yang akan bicara padanya nanti. Sekarang, izinkan batang saktiku ini menjenguk anakku dulu—mumpung istriku belum kembali.”
Suara tawa mereka pecah, diselipi desahan penuh nafsu yang membuat telinga Sulastri memanas. Sambil menahan geram, Sulastri membuka dan mendorong pintu dengan kuat.
BRAK!
Kartijo dan gundiknya sontak terlonjak. Pria itu membeku ketika matanya menangkap sosok Sulastri berdiri di ambang pintu.
Sementara itu, wanita di sampingnya tersenyum sinis, buru-buru menarik kebayanya yang sudah setengah terbuka.
__Bersambung.
Hai pembaca yang baik ... saya kembali dengan karya baru.
Mohon dukungannya untuk author amatir ini biar terus semangat berkarya.
Terimakasih🍁