“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pertemuan di Tepi Senja
Shailendra menunduk. Tak ada pembelaan. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia tahu tak ada kata yang bisa menghapus luka itu.
Bayu menahan napas, berusaha tak terbawa emosi, tapi suara hatinya tak bisa lagi dibungkam.
“Selama ini aku cuma pengisi nama di kartu keluarga, Pa. Tapi nggak pernah benar-benar jadi bagian dari keluarga Papa.”
Ia menarik napas panjang, lalu perlahan nada bicaranya melembut, tatapannya mengarah ke luar jendela, seolah melihat bayangan Laras di sana.
“Kalau Papa anggap Laras cuma wanita biasa... buat aku, dia lebih dari siapa pun. Laras itu... rumah, Pa. Dia satu-satunya orang yang mencintai aku tanpa tanya aku siapa, anak siapa, punya apa.”
Bayu menatap ayahnya dalam.
“Dia mencintaiku waktu aku nggak punya apa-apa. Waktu aku cuma nyanyi di kafe kecil, waktu semua orang melihatku remeh. Tapi dia tetap ada. Tetap dukung aku, tetap genggam tanganku, bahkan waktu aku nggak yakin sama diri sendiri. Dia tetap di sisiku, bahkan saat aku terbaring koma berminggu-minggu, tanpa tahu kapan aku akan sadar—dia bertahan. Dan demi biaya rumah sakitku, dia korbankan seluruh tabungannya, tanpa ragu, tanpa menuntut apa-apa.”
Suaranya mulai bergetar, bukan karena marah, tapi karena perasaan yang terlalu dalam.
“Dia nggak butuh Bayu yang punya segalanya. Dia butuh Bayu... yang apa adanya.”
Bayu menghela napas panjang, menunduk sejenak, lalu kembali menatap ayahnya.
“Jadi jangan suruh aku lupain dia, Pa. Karena ketika semua orang ninggalin aku, Laras tetap bertahan. Dia satu-satunya tempat aku merasa... cukup.”
Shailendra melangkah mendekat, untuk pertama kalinya menatap Bayu bukan sebagai beban… tapi sebagai anak.
“Papa tahu Papa salah. Papa terlalu lama percaya pada orang yang salah—istri kedua Papa dan anaknya… yang bukan darah daging Papa.”
“Tapi kau, Bayu. Kau darah Papa. Anak dari satu-satunya wanita yang Papa cintai… dan Papa terlalu bodoh membencimu karena kehilangan dia.”
Bayu diam, menatap lurus ke mata ayahnya.
“Jadi sekarang Papa sadar? Setelah semua yang sudah lewat?”
“Papa hanya ingin memperbaiki segalanya,” ucap Shailendra. “Papa ingin jadi ayah yang baik… yang dulu tak pernah Papa lakukan.”
Bayu menarik napas panjang. Ada getar samar di matanya, tapi ia segera mengendalikannya.
“Papa terlalu terlambat. Jangan harap aku akan hidup sesuai ekspektasi seorang pria yang bahkan tak pernah mengajarkan bagaimana cara mencintai.”
Shailendra menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.
Bayu menatapnya sekali lagi, sebelum berbalik.
“Dan tentang Laras… Dia mungkin istri orang. Tapi dia juga wanita satu-satunya yang jadi alasan aku bisa tetap bernapas saat semua orang, termasuk Papa, menganggap aku tidak layak dicintai.”
Langkah kaki Bayu perlahan menjauh. Tapi kata-katanya—meninggalkan luka yang lebih dalam daripada teriakan.
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara rintik hujan di luar jendela dan detak jam dinding yang terdengar. Shailendra berdiri mematung di tempatnya, sorot matanya masih tertinggal di pintu yang baru saja ditinggalkan Bayu.
Perlahan, ia melangkah ke rak buku tua di pojok ruangan. Tangannya gemetar saat menarik sebuah laci kecil di bawahnya—tempat yang sudah bertahun-tahun tidak ia buka.
Di dalamnya, tergeletak sebuah bingkai foto usang berlapis debu. Ia mengambilnya dengan hati-hati, mengusap permukaan kacanya dengan lengan jas.
Tiga sosok dalam foto itu tersenyum bahagia.
Seorang pria muda—Shailendra dua dekade lalu—memeluk erat seorang wanita cantik berwajah lembut yang sedang menggendong bayi mungil. Bayu kecil. Di mata wanita itu, terlihat cinta yang tulus. Di pelukan mereka, ada kebahagiaan sederhana yang pernah mereka miliki.
Shailendra menatap foto itu lama sekali.
“Maafkan aku, Sayang…” bisiknya lirih. “Aku terlalu tenggelam dalam kehilanganmu… sampai aku buta pada satu-satunya peninggalan berharga darimu.”
Ia menatap mata Bayu kecil dalam foto, matanya memerah.
“Aku gagal jadi ayah untuk anakmu… untuk anak kita.”
Tangannya bergetar saat menggenggam bingkai itu erat, seolah tak ingin melepaskannya. Lalu, ia menarik napas dalam, menunduk penuh penyesalan.
“Tapi belum terlambat, 'kan? Aku akan coba perbaiki semuanya… walau mungkin dia tak pernah memaafkanku.”
Shailendra duduk pelan di sofa, masih memeluk foto itu seperti memeluk kenangan yang terlalu lama ia abaikan.
Dan di luar sana, hujan terus turun… seolah langit ikut menumpahkan air mata yang tak pernah bisa Shailendra keluarkan.
APARTEMEN BAYU – MALAM HARI
Bayu berdiri di depan jendela besar apartemennya, memandang lampu-lampu kota yang basah oleh hujan. Secangkir kopi dingin tak disentuh di meja. Pikirannya terlalu bising untuk sekadar menyeruput kafein.
Percakapan dengan ayahnya tadi terus terngiang. Kalimat Shailendra, "Berhentilah mengejar istri orang", menggema di kepalanya. Tapi semakin keras suara larangan itu, semakin kuat pula bayangan Laras dalam benaknya.
Tatapan itu.
Tatapan Laras sore tadi, saat mereka berdiri di pinggir jalan sunyi. Tatapan yang dulu selalu ia lihat saat mereka masih saling memiliki. Tatapan yang penuh cinta—yang bahkan tak bisa sepenuhnya Laras sembunyikan meski bibirnya terus menyangkal.
Bayu mengusap wajahnya kasar, frustrasi.
"Kalau kau benar-benar mencintainya, kenapa ada kesedihan di matamu ?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Tapi ia tahu jawabannya.
Laras pantas mendapatkan yang lebih baik—seseorang yang tak menyandang masa lalu sekusut dirinya, seseorang yang bisa memberi hidup normal dan bahagia, bukan penderitaan.
Namun sekarang ia tahu.
Laras tidak hidup bahagia. Mungkin ia tak mencintai pria itu. Mungkin ia menikah demi kompromi, demi ayahnya.
Dan fakta itu menghancurkan Bayu.
Ia duduk di kursi dekat jendela, menunduk, menatap kedua tangannya.
"Kau tetap mencintaiku, 'kan, Ras?" bisiknya lirih. “Meski kau menyangkal… aku tahu.”
Air mata nyaris jatuh, tapi Bayu menahannya.
“Kau satu-satunya wanita yang mencintaiku saat aku bukan siapa-siapa. Tanpa tahu siapa aku sebenarnya. Tanpa peduli aku cuma penyanyi kafe yang ngamen dari satu sudut kota ke sudut lain.”
Ia menarik napas dalam-dalam, mengusap wajahnya sekali lagi.
“Dan sekarang… aku tak akan diam saja melihatmu terus tersiksa dalam pernikahan palsu itu.”
Tatapannya kini tajam. Tegas. Meski dunia memusuhinya, bahkan ayahnya sendiri, Bayu tahu satu hal:
Ia tidak akan menyerah. Bukan kali ini. Bukan untuk Laras.
***
TAMAN SEPI – SENJA HARI
Bayu berdiri di sisi bangku taman, menunggu. Laras muncul dari balik pepohonan, langkahnya berat tapi tegas. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan embusan angin yang dingin.
Begitu Laras tiba, Bayu langsung bicara.
“Terima kasih sudah mau datang. Aku tahu kau pasti—”
“Aku ke sini untuk bilang ini yang terakhir kalinya,” potong Laras tajam.
Bayu tertegun. Laras berdiri di depannya, dengan sorot mata yang dingin tapi menyimpan duka dalam.
“Bayu, kita tidak bisa terus begini. Kamu harus berhenti mencariku. Jangan pernah temui aku lagi.”
Bayu menarik napas, mencoba tetap tenang. “Kenapa? Karena aku tahu kamu menikah karena kompromi? Karena kamu pikir aku nggak bisa menerimamu seperti ini?”
Laras menggertakkan rahangnya. Tapi ia tetap berdiri tegak, menahan guncangan di dadanya.
“Karena aku istri orang, Bayu. Dan kamu berhak dapat wanita yang layak, bukan seseorang sepertiku. Aku bukan wanita yang bisa membahagiakanmu. Aku rusak. Fisikku, hidupku, semuanya.”
Bayu melangkah maju, tapi Laras mundur satu langkah.
“Laras, aku nggak peduli—”
“AKU PEDULI!” seru Laras akhirnya, air mata mengalir deras di pipinya.
“Aku peduli harga dirimu! Aku peduli keselamatanmu! Kamu pikir suamiku akan diam saja? Dia bisa menyakitimu, Bayu. Dan aku... aku nggak sanggup kalau kamu kenapa-kenapa karena aku.”
Bayu terpaku. Sorot matanya berubah sendu.
Laras menyeka air matanya, mencoba mengatur napas.
“Kamu terlihat berbeda sekarang. Punya mobil mewah, pakaian rapi... Mungkin kamu bukan orang biasa seperti dulu. Tapi semua itu nggak penting. Yang penting, kamu hidup, kamu aman... dan kamu bahagia. Walaupun bukan denganku.”
“Laras....”
“Kumohon....” Laras kembali memotong, suaranya lebih lembut tapi tegas. “Berhentilah mencariku. Jangan rendahkan dirimu dengan mengejar istri orang. Kau layak mendapatkan yang lebih baik dariku. Kau layak bahagia.”
“Laras dengar—”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka