Kevin Darmawan pria berusia 32 tahun, ia seorang pengusaha muda yang sangat sukses di ibukota. Kevin sangat berwibawa dan dingin ,namun sikapnya tersebut membuat para wanita cantik sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanannya. Banyak wanita yang mendekatinya namun tidak sekalipun Kevin mau menggubris mereka.
Suatu hari Kevin terpaksa kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar jika kakeknya sedang sakit. Dengan setengah hati, Kevin Darmawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Desa Melati, sebuah tempat kecil yang penuh kenangan masa kecilnya. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan desa itu, fokus mengejar karier dan membangun bisnisnya hingga menjadi salah satu pengusaha muda yang diperhitungkan di ibukota.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk ke dalam perangkap
Sementara itu, tanpa mengetahui badai yang mendekat, Andy dan Alya menghabiskan hari mereka dengan memperbaiki dekorasi toko bunga kecil itu. Andy bahkan membuat papan nama baru, bertuliskan: "Bloom & Hope. Tempat dimana Bunga dan Harapan Tumbuh." Alya menatap papan itu dengan mata berkaca-kaca.
"Nama ini indah sekali," bisik Alya.
Andy tersenyum kecil, merapikan rambut yang tertiup angin dari wajah Alya.
"Aku ingin kamu selalu ingat, Alya. Di sini, kamu selalu punya tempat untuk tumbuh tanpa takut lagi."
Alya mengangguk pelan, merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Rasa takut yang selama ini menghantuinya perlahan memudar setiap kali Andy ada di dekatnya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dua hari kemudian, tanda-tanda pertama serangan Kevin mulai terasa.
Pelanggan setia mereka, yang biasanya memenuhi toko setiap pagi, mendadak berhenti datang. Pesanan-pesanan tetap dibatalkan satu per satu. Andy awalnya berusaha santai, mengira hanya kebetulan.
Tapi saat sore itu tak ada satu pun pelanggan yang mampir, bahkan untuk membeli setangkai bunga, hatinya mulai diselimuti kegelisahan. Alya juga menyadarinya. Ia berdiri di dekat etalase, memandang keluar dengan mata cemas.
"Andy... kenapa sepi sekali, ya?" tanyanya lirih.
Andy mengusap belakang kepalanya, berusaha tersenyum.
"Entahlah. Mungkin ada event besar di tempat lain?"
Tapi di dalam hatinya, Andy tahu ini bukan sekadar kebetulan. Seseorang sedang bermain di belakang layar. Terpikir sebuah nama dibenaknya, Kevin.
Dan saat malam itu Andy menerima telepon dari salah satu supplier utama mereka, yang mengatakan bahwa mereka harus menghentikan kerja sama atas "perintah atasan baru," Andy akhirnya sadar. Ada seseorang berkuasa yang ingin menghancurkan mereka. Andy memandang Alya yang masih berusaha merapikan bunga di rak.
Semakin hari toko bunga semakin sepi,bahkan bunga-bunga semakin layu, Alya menatap Andy dengan iba. Senyum bahagia tak terlihat lagi di wajah pria itu. Dirinya tampak murung. Namun Andy berusaha tak menunjukkannya dihadapan Alya.
Tapi Alya tahu. Ia tahu betul, bagaimana mata Andy kini lebih sering menunduk, bagaimana senyumnya terasa dipaksakan. Dan sore itu, saat hujan deras mengguyur luar toko, Alya tak tahan lagi.
Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan Andy yang tengah pura-pura sibuk menyusun pot bunga yang sudah layu.
"Andy," panggil Alya pelan.
Andy mendongak, mencoba tersenyum lagi-lagi senyum itu tidak sampai ke matanya.
"Aku baik-baik saja, Alya," katanya cepat, seolah membaca kekhawatiran di wajah gadis itu.
Alya menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca.
"Jangan bohong... aku tahu kamu terluka," ucapnya, suaranya hampir bergetar.
"Aku tahu kamu berusaha kuat... untuk aku."
Andy terdiam. Jemarinya berhenti bergerak di atas pot bunga. Hujan di luar semakin deras, memantulkan suara gemuruh yang mengisi keheningan di antara mereka. Alya mendekat, menggenggam tangan Andy yang dingin.
"Kalau kamu lelah... kamu boleh bersandar padaku, Andy. Kita bisa hadapi ini... sama-sama."
Andy menunduk, merasakan kehangatan dari genggaman Alya. Sebuah tembok di hatinya yang selama ini ia pertahankan perlahan retak.
Ia ingin berkata banyak hal. Tentang ketakutannya, tentang marahnya, tentang rasa bersalah karena tak bisa melindungi tempat ini, tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi Alya. Tapi saat ia menatap mata Alya yang penuh kepercayaan itu, kata-kata itu menguap.
Sebagai gantinya, Andy menarik Alya ke dalam pelukannya erat, seolah takut gadis itu akan menghilang jika ia melepasnya. Alya membalas pelukan itu dengan lembut, membiarkan air matanya jatuh diam-diam di dada bidang Andy.
Mereka berdiri begitu lama di tengah toko yang kosong dan berbau tanah basah, berpelukan dalam keputusasaan yang perlahan berubah menjadi tekad.
Dari kejauhan Kevin menatap mereka,tangannya terkepal. Ia semakin tak kuasa menahan kemarahannya. Namun, Kevin menahan dirinya untuk tidak bertindak gegabah.
Ia menarik napas panjang, memalingkan wajahnya dari pemandangan yang menusuk hatinya itu, lalu kembali masuk ke dalam mobil hitamnya. Di dalam kendaraan itu, Bane menunggu sambil melirik cemas lewat kaca spion.
"Tuan, kita lanjutkan rencana kedua?" tanya Bane hati-hati.
Kevin diam sejenak. Pikirannya berkecamuk antara amarah, kecemburuan, dan rasa kepemilikan yang begitu dalam terhadap Alya. Baginya, Alya bukan hanya masa lalu yang hilang. Ia adalah miliknya dan Andy telah mencuri segalanya. Wajah Kevin mengeras. Ia membenarkan duduknya, lalu menatap lurus ke depan.
"Lanjutkan," jawabnya dingin.
"Aku mau pria itu benar-benar jatuh. Bukan cuma sepi... Aku mau pria itu tak punya pilihan selain menyerah."
Bane mengangguk pelan, lalu menyalakan mesin mobil. Malam itu, dalam hujan deras yang membasahi kota, Kevin menetapkan langkah berikutnya. Menggunakan kekuasaan dan uangnya untuk menguasai bangunan tempat toko Alya dan Andy berdiri.
Jika Andy dan Alya tak bisa mempertahankan tempat itu, maka cepat atau lambat, Kevin tahu, Alya akan kehilangan 'rumah' barunya. Dan saat itu tiba, ia akan datang sebagai 'penyelamat' memaksa Alya kembali ke sisinya.
Yang Kevin tidak tahu, adalah bahwa cinta yang tumbuh dari luka tidak bisa dibeli dengan kekuasaan. Dan Andy, dengan segala keterbatasannya, takkan tinggal diam.
***
Keesokan paginya, Andy menerima surat peringatan dari pemilik gedung. Sebuah pemberitahuan bahwa sewa mereka akan dinaikkan tiga kali lipat ,angka yang mustahil mereka bayarkan dalam kondisi toko seperti sekarang.
Andy meremas kertas itu erat-erat, lalu menatap Alya yang datang membawa dua cangkir kopi.
"Ada apa, Andy?" tanya Alya, bingung melihat wajahnya yang kaku.
Andy menahan napas, berusaha tetap tenang. Ia tidak ingin membuat Alya panik. Tapi kali ini, ia tahu, ia tidak bisa menyembunyikan kebenaran.
"Kita... mungkin harus siap kehilangan toko ini, Alya," ucap Andy perlahan.
Gelas kopi di tangan Alya hampir terjatuh.
"Apa...?" bisiknya, nyaris tak percaya.
Andy bergegas memegang tangan Alya, menenangkannya.
"Tapi aku janji, aku akan cari jalan. Kita tidak akan menyerah begitu saja," katanya tegas, matanya membara dengan tekad baru.
Alya mengangguk, meski air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia percaya pada Andy. Seberat apa pun badai ini, selama mereka berdiri bersama, Alya yakin akan ada jalan. Namun di sudut lain kota, Kevin sudah menyiapkan langkah selanjutnya: Mengirimkan seseorang untuk menawarkan "bantuan" dengan syarat yang mengikat Alya ke dalam dunia Kevin lagi.
***
Sore itu, saat hujan baru saja reda, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan toko "Bloom & Hope." Dari dalam, keluar seorang pria berbadan tegap mengenakan setelan jas rapi. Wajahnya asing bagi Andy dan Alya, namun sikapnya penuh keangkuhan segera membuat keduanya merasa tidak nyaman.
Pria itu berjalan masuk ke toko dengan langkah mantap. Suasana di dalam mendadak terasa berat.
"Selamat sore," sapa pria itu singkat, suaranya dalam dan berwibawa.
"Saya perwakilan dari Kevin Corp."
Mendengar nama itu, Alya refleks menegang. Andy pun langsung berdiri lebih tegak di belakang meja kasir, matanya waspada.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya Andy, menjaga nada suaranya tetap sopan meski hatinya mendidih.
Pria itu tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebuah map cokelat dan meletakkannya di meja.
"Saya datang membawa tawaran. Tuan Kevin tertarik... untuk 'menyelamatkan' toko ini," katanya, seolah mereka adalah orang-orang malang yang harus berterima kasih.
Andy menahan diri untuk tidak merobek map itu di tempat.
"Tawaran?" ulang Andy, nadanya mengeras tanpa bisa ia kendalikan.
Pria itu mengangguk tenang.
"Benar. Tuan Kevin bersedia melunasi semua tunggakan, bahkan membeli gedung ini agar toko ini tetap buka."
Ia berhenti sejenak, menatap Alya.
"Tapi tentu saja... dengan syarat. Tuan Kevin berharap Nona Alya bersedia bekerja langsung di bawah supervisinya."
Alya terbelalak. Nafasnya tercekat. Andy maju setengah langkah, menempatkan dirinya sedikit di depan Alya, seperti hendak melindunginya.
"Dan kalau kami menolak?" tanya Andy, suaranya rendah namun berbahaya.
Pria itu masih tersenyum, tapi matanya dingin.
"Maka toko ini akan ditutup. Satu minggu dari sekarang."
Sunyi. Yang terdengar hanya suara detik jam di dinding. Alya menunduk, menggenggam erat ujung apron yang dipakainya. Ia merasa tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan marah. Andy menatapnya sekilas, membaca ketegangan di wajah gadis itu.
Namun,Alya yang tak ingin melihat segala usaha yang telah dirintis Andy dari nol harus pupus. Ia pun dengan cepat menerima tawaran itu.
Cinta datang tanpa qta sadari,, dia tumbuh d dlm hati dlm kelembutan dan kasih sayang...,, bila kau memaksanya utk tumbuh dan d sertai dgn ancaman atwpun kebohongan ,, cinta itu akan berbalik menjauhimu.... Jangan lakukan sesuatu yang akan semakin membuatmu menyesal lebih dalam lagi tuan Kevin.
Tapi,, ga ap2 sih biarlah semua mengalir apa adanya,, biar waktu yg akan mengajarkan kedewasaan,, kebijaksanaan dan kesabaran serta keikhlasan utk Alya dan tuan Kevin. Karna aq yakin...,, mau kemana pun kaki melangkah,, dia tetap tau dimana rumahnya,, kemana pun hati akan berselancar,, dia akan tetap tau dimana rumah utk kembali.
Trus,, pelan2 dekati alyanya...,, jangan maksa2....,, ntar Alya kabur lagi.
Tapi,, Alya jangan mau d ajak pulang sama tuan Kevin yaaa,, Krn masih ad si ular Soraya d rumah.