Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Bab 15. Nadine cemburu dan usaha Metha
Beberapa bulan berlalu. Perut Sharon semakin membesar, menyiratkan usia kandungannya yang memasuki trimester ketiga. Aura keibuan mulai memancar dari wajahnya. Meski masih sering diselimuti cemas akan masa depannya dan anak dalam kandungan, Sharon tetap menunjukkan semangat bekerja. Namun kini, ada Dirga yang selalu ada di sisinya—menjadi sosok pelindung yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
Dirga jadi semakin perhatian, lebih dari biasanya. Ia sering muncul di sekitar Sharon tanpa alasan jelas, hanya sekadar memastikan Sharon makan tepat waktu atau pulang tidak terlalu larut. Terkadang ia juga mengantar Sharon ke rumah jika hari sudah terlalu malam. Perlahan, Sharon mulai merasa nyaman dengan perhatian itu.
Namun, tidak semua orang melihat hubungan mereka dengan sudut pandang yang sama. Bila hampir semua karyawan di restoran Lumiere tidak mempermasalahkan itu, namun ada saja yang tidak suka. Terlebih karena mengetahui Sharon hamil sebelum menikah. Meskipun ada yang tidak mempermasalahkan, tetapi ada yang menganggap Sharon sebagai perempuan murahan yang sedang mencoba mencari celah untuk mendekati Dirga. Namun, Sharon tidak begitu memusingkan hal tersebut. Toh apa yang mereka katakan itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar juga.
Nadine, adik Dion yang beberapa kali datang ke restoran, mulai menunjukkan gelagat berbeda. Diam-diam, ia menyukai Dirga. Dan setiap kali melihat pria itu tersenyum lembut pada Sharon atau menunjukkan perhatian lebih, hatinya terasa tercekat. Rasa cemburu itu mengendap pelan, menjelma menjadi kecurigaan yang membuatnya gelisah. Kebencian perlahan tumbuh, ia tak rela bila sampai Dirga menjalin hubungan dengan Sharon.
...***...
Di sisi lain, Metha belum menyerah. Meski dihina secara tak langsung oleh Leon pada malam makan malam itu, dia tidak berniat mundur. Baginya, mendapatkan Leon bukan hanya tentang cinta—tapi juga prestise, pengakuan, dan kepuasan pribadi. Ia tahu Leon bukan tipe pria yang mudah ditaklukkan, tapi Metha juga bukan wanita biasa.
Setelah berbagai usahanya tak membuahkan hasil, Metha mendatangi rumah Meylania.
“Aunty, aku tahu aku mungkin bukan wanita yang Leon inginkan sekarang. Tapi aku yakin, dia hanya sedang bingung. Jika diberi waktu bersama, aku bisa membuat dia berubah pikiran," ucap Metha di suatu siang, saat mereka sedang makan siang bersama.
Meylania menatap Metha cukup lama. Ada rasa iba, tapi juga kelelahan. Namun akhirnya ia mengangguk. “Baiklah, Metha. Ikut Aunty ke kantor besok. Aunty akan pastikan kalian punya waktu bersama.”
Mendengar apa yang Meylania katakan membuat Metha tersenyum lebar. Iya sudah tak sabar lagi ingin menjadikan Leonardo Xavier Reynaldi sebagai miliknya.
---
Keesokan harinya, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Leon sudah tahu rencana ibunya. Ia menatap pintu ruangannya dengan waspada, dan ketika pintu itu terbuka, benar saja—Meylania masuk bersama Metha yang berdandan rapi dengan blazer putih dan senyum menggoda.
“Metha akan magang di divisi PR selama dua minggu,” ucap Meylania tegas.
Leon mengerutkan alis. “Mama serius?”
“Ini demi masa depan kita. Kau tak akan rugi dengan sedikit kerja sama,” ucap ibunya, lalu melangkah pergi, meninggalkan Leon dengan Metha.
Leon mendengkus. Ingin menolak, tapi ia tahu, ibunya bukan tipe wanita yang bisa ditolak begitu saja.
...***...
Hari-hari berikutnya, Metha mulai gencar menjalankan "misinya" mendekati Leon. Ia tidak main-main. Dari mengirimkan makanan favorit Leon ke kantor, hingga sengaja mampir ke ruangannya dengan dalih ingin meminta bimbingan. Semua ia lakukan dengan senyum manis dan tatapan menggoda yang selalu ia sematkan pada setiap pertemuan mereka.
Pagi itu, Leon baru saja keluar dari ruang rapat ketika ia menemukan sebuket bunga segar di mejanya. Buket itu disusun dengan rapi—dominan mawar putih dan biru laut, warnanya kontras namun elegan. Ada kartu kecil yang diselipkan di antaranya. Leon membukanya dengan malas.
"Untuk mengawali harimu dengan aroma yang manis. Semoga harimu menyenangkan. —Metha."
Leon menghela napas panjang, lalu tanpa pikir panjang, ia memasukkan bunga itu ke tempat sampah yang terletak tak jauh dari mejanya. Sekretarisnya yang melihat adegan itu hanya bisa melongo, tidak tahu harus berkomentar atau tidak.
“Pak Leon ... Itu dari Nona Metha, ya?”
Leon menatap sekilas. “Kau mau bunganya? Silakan ambil kalau kau suka. Aku alergi parfum berlebihan.”
Sekretarisnya mengangguk cepat, buru-buru menyelamatkan bunga itu dari nasib sialnya.
Siang harinya, ketika Leon turun ke kantin kantor untuk makan siang, ia mendapati Metha sudah duduk di meja sudut favoritnya. Seolah tahu Leon akan datang, Metha langsung berdiri dan melambai.
“Leon! Aku sengaja datang supaya kita bisa makan siang bareng.”
Leon terdiam sejenak. “Maaf, aku ada meeting online sebentar lagi.”
Metha tidak menyerah. Ia segera mendekat, tangannya menyentuh lengan jas Leon dengan lembut. “Cuma lima belas menit saja. Aku kangen ngobrol sama kamu.”
Leon menatap tangan Metha di lengannya, lalu menyingkirkannya perlahan. “Aku tidak lapar. Dan aku juga tidak suka dipaksa.”
“Leon ... Kamu masih marah tentang malam itu?”
“Aku nggak marah. Aku hanya nggak tertarik.”
Metha tercekat. Leon berbalik, melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Metha berdiri sendirian di tengah kantin, dilihat oleh beberapa karyawan lain yang berusaha pura-pura tak memperhatikan.
---
Beberapa hari kemudian, Leon sedang berada di lobi perusahaan saat pintu lift terbuka. Meylania dan Metha keluar bersama, dan Leon tahu ia tak bisa lagi menghindar.
“Leon, kebetulan. Mama ingin kamu ikut makan malam bersama kita malam ini. Metha sudah pesan tempat, kan?” ucap Meylania dengan nada tak terbantahkan.
Leon menatap sang ibu, lalu Metha yang tersenyum penuh harap.
“Ma, aku sibuk. Lagipula, aku rasa ini tidak perlu.”
Meylania menyipitkan mata. “Leon, jangan mempermalukan Mama di depan tamu. Metha sudah berusaha keras.”
Leon menatap ibunya, lalu menghela napas. “Baik, tapi hanya sebentar.”
Metha tersenyum puas.
***
Namun saat malam tiba di restoran mewah itu, Metha kembali kecewa. Leon hanya duduk diam sepanjang makan malam, sibuk menatap ponselnya dan membalas email. Ia bahkan tak menyentuh makanannya. Metha yang mencoba membuka pembicaraan pun hanya mendapatkan anggukan atau jawaban singkat yang dingin.
“Leon, kamu kenapa sih? Sebenarnya apa salah dan kurangku sampai kau tak mau memberikanku mendekat sama sekali?" tanya Metha dengan suara bergetar nyaris putus asa.
Leon menatap Metha dengan datar. “Salah. Kau sangat salah. Kau tau aku tak mau didekati jadi jangan salahkan aku kalau aku selalu menghindar."
“Iya, tapi kenapa? Apa alasannya?"
“Karena aku tidak ingin memberi harapan palsu. Metha, aku tidak tertarik dengan hubungan ini. Kita tidak pernah punya apa-apa sejak awal.”
Metha terdiam. Wajahnya mengeras, tapi masih mencoba tersenyum.
“Tapi kamu pernah bilang aku menarik.”
“Menarik?" Leon mencoba mengingat-ingat kapan ia pernah mengatakan itu, tapi sayangnya ia tak ingat. Atau jangan-jangan memang ia tak pernah mengatakannya sama sekali. Bisa jadi ibunya sendiri yang berbohong pada Metha agar wanita itu senang. "Menarik, iya. Tapi bukan untuk dijadikan pasangan.”
Kata-kata Leon seperti cambuk. Metha tak bisa menahan air matanya yang mulai menggenang, tapi ia tahan agar tak jatuh. Ia bangkit dari kursinya, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Leon dan Meylania yang terdiam.
Meylania menatap Leon dengan sorot penuh kekecewaan. “Kenapa kamu harus sekejam itu?”
“Karena lebih baik menyakiti sekarang daripada terus membuat orang berharap, Ma.”
Leon berdiri. “Aku capek dengan semua permainan ini. Aku tahu siapa yang ingin kuperjuangkan. Dan itu bukan Metha.”
Leon pun berjalan keluar restoran, menghirup udara malam yang dingin. Dan tanpa sadar, tangannya menyentuh saku jasnya—masih ada ikat rambut biru beludru di sana. Ia genggam erat, dan bayangan wajah Sharon kembali menyelinap di pikirannya.
Bersambung