Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 DBAP
Langkah Naya terasa berat saat menapaki jalan setapak menuju rumah. Malam begitu hening, tapi tidak dengan batinnya. Di dalam sana—riuh, semrawut, dan sesak. Tapi ia tidak tahu harus meluapkan ke mana. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis, terlalu remuk untuk mencari pengertian.
Setibanya di depan rumah, ia membuka pintu perlahan. Suara engsel mengerang pelan, seperti ikut menahan napas bersamanya. Lampu ruang tamu sudah menyala. Di sana, duduklah Arsen. Seperti biasa. Dingin, kaku, dan nyaris tanpa ekspresi. Lengannya bersilang, pandangan tertuju pada televisi yang menyala tanpa suara.
Mata mereka bertemu. Tapi tidak ada sapaan. Hanya sekelebat tatapan asing dari dua orang yang seharusnya saling mengenal.
Naya melepaskan sepatu tanpa suara, lalu berjalan melewati Arsen menuju kamar. Tapi langkahnya tertahan oleh suara itu.
“Dari mana?”
Naya tidak menjawab. Matanya menunduk, bibirnya terkunci rapat. Bukan karena tidak mau, tapi ia sama sekali tidak memiliki tenaga lagi, yang Naya inginkan saat ini segera sampai dikamarnya lalu beristrahat, tubunya terlalu lemah untuk menghadapi Arsen yang sudah bisa dipastikan hanya akan meninggalkan jejak luka dihatinya.
Arsen berdiri, nada suaranya naik sedikit. “Naya, aku tanya. Kamu dari mana?”
Naya tetap diam.
“Jangan pikir cuma karena aku diam, kamu bisa seenaknya keluar malam. Di rumah ini tetap ada aturan. Aku—”
Kalimat Arsen terhenti seketika. Pandangannya menangkap wajah pucat Naya. Tubuh itu limbung, seperti boneka yang kehilangan penopangnya.
“Naya?”
Dalam sekejap, dia melangkah cepat dan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. Hangat. Tidak—panas. Terlalu panas.
Tanpa pikir panjang, Arsen menggendong Naya. Untuk pertama kalinya, tubuh mungil itu terasa begitu ringan, seolah membawa luka yang tak terlihat. Ia membawanya ke kamar yang selama ini dipilih gadis itu—kamar sempit di pojok rumah, dengan ranjang kecil dan matras tipis. Seperti kamar pembantu.
Arsen mendecih, samar. Ia tidak pernah mengerti kenapa Naya memilih tinggal di ruang sempit seperti ini, padahal ia bisa saja meminta lebih.
Setelah meletakkan tubuh Naya di ranjang, ia segera kembali ke ruang kerja untuk mengambil tas medis. Saat kembali, gerakannya cepat dan terlatih. Infus. Obat penurun panas. Kompres dingin. Semua dilakukan nyaris tanpa ekspresi.
Sampai akhirnya... tangannya berhenti.
Naya menggeliat pelan, masih setengah sadar. Tangannya berpindah, memeluk perutnya. Erat. Seolah melindungi sesuatu yang sangat berharga.
Alis Arsen berkerut. Pandangannya tak lepas dari gerakan kecil itu. Pelan-pelan, tangannya terulur, menyentuh tangan Naya yang melingkar di sana. Panas. Lemah. Tapi teguh.
Itu bukan sekadar tangan yang memeluk perut. Itu adalah tangan seorang ibu yang menjaga sesuatu yang belum lahir—belum berwujud sempurna, tapi sudah dipeluk seolah nyawa itu nyata.
Dada Arsen terasa sesak. Jantungnya berdetak tak beraturan.
“Kenapa kamu segigih ini, kamu masih muda, bisa saja kamu memilih untuk tidak membawa janin itu jika ayahnya tidak bertanggung jawab...” bisiknya pelan. Nyaris tak terdengar, seolah kalimat itu bukan untuk Naya, tapi untuk dirinya sendiri.
Naya mulai meracau. Suaranya lirih dan patah-patah.
“Ayah... jangan tinggalin Naya... Naya... belum sempat bilang makasih...”
Tubuh Arsen menegang. Tatapannya jatuh pada wajah Naya yang basah oleh air mata, meski matanya masih terpejam. Ia menarik napas dalam, berat. Berdiri, mencoba menjauh. Tapi kakinya tetap di tempat. Seperti tertambat oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Tangannya mengepal. Suaranya dingin, tapi kali ini terdengar bergetar. Seolah ada sesuatu yang pecah—pelan, tapi nyata.
“Kenapa kamu bisa sekacau ini... dan kenapa aku...”
Arsen tidak menyelesaikan kalimatnya. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arsen merasa... ada yang retak dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan ketenangan palsu. Apa benar gangguan emosionalku selama ini… karena Naya dan bayinya?
***
Keesokan paginya, kelopak mata Naya perlahan-lahan terbuka. Rasanya berat, seolah dunia masih menggenggamnya agar tetap terpejam. Sebenarnya, ia tak ingin bangun. Tapi sinar matahari pagi terlalu gigih menyusup lewat celah jendela, mengusik damainya.
Ia memejamkan mata lagi, mencoba mengumpulkan sisa-sisa ingatan dari hari kemarin.
Ujian yang tak bisa ia ikuti. Ibunya yang menolak memberi uang lagi. Arsen... yang tak ingin ia repotkan. Tapi—tunggu. Arsen?
Dada Naya tiba-tiba menghangat oleh kegelisahan. Ingatan samar tentang semalam perlahan kembali. Suhu tubuhnya yang tinggi. Kepalanya yang terasa melayang. Arsen yang... menangkapnya saat ia hampir tumbang. Tapi itu nyata atau hanya mimpi?
Dengan pelan, ia menggerakkan tangannya. Seketika ia meringis—urat di pergelangan tangannya terasa nyeri. Saat menoleh, ia melihat bekas infus yang masih membekas samar di kulitnya.
Ada hening yang menggantung beberapa detik, sebelum bibirnya bergerak, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut didengar dunia.
“Apa semalam Paman yang merawatku?” Nada suaranya dipenuhi kebingungan.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang kembali menelan kamar sempit itu.
Naya menoleh pelan ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Hanya tirai jendela yang bergoyang pelan diterpa angin pagi dan aroma samar alkohol medis yang masih tertinggal di udara. Tapi sesuatu dalam ruang itu terasa berbeda—seperti jejak seseorang yang pernah duduk lama di sana.
Naya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantung yang tiba-tiba tak karuan. Perlahan ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa lemas.
Begitu ia bersandar pada dinding, pintu kamar berderit pelan.
Arsen masuk, masih mengenakan kemeja yang sama dengan semalam. Beberapa kancing bagian atas terbuka, rambutnya berantakan, dan wajahnya terlihat lelah… tapi matanya langsung menatap Naya dengan tajam—bukan marah, lebih seperti… memastikan.
"Kamu sudah sadar," ucapnya singkat.
Naya mengangguk pelan. Matanya menunduk. Entah kenapa, ia merasa canggung.
“Tadi... aku tanya,” bisiknya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Apa semalam Paman yang merawatku?”
Arsen tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di sisi ranjang, menatap bekas infus yang masih membekas di tangan Naya. Jemarinya nyaris terangkat, seolah ingin menyentuh… tapi akhirnya hanya mengepal di sisi tubuhnya.
“Kalau bukan aku, siapa lagi?” gumamnya, datar.
Tapi bagi Naya, itu cukup. Senyap yang tercipta justru terasa lebih berarti dari seribu kalimat manis.
Ia memberanikan diri membuka suara. “Maaf… sudah merepotkan.”
Arsen menghela napas pelan, lalu menatapnya sebentar—tatapan yang sulit ditebak, entah jengkel, lelah, atau… khawatir.
“Kalau kamu tahu itu merepotkanku, jangan ulangi lagi,” ucapnya dingin. “Jangan paksakan diri sampai jatuh seperti semalam.”
Naya menunduk, bibirnya bergetar. “Maaf, Paman… dan… terima kasih.”
Arsen mendengus pelan, hampir seperti ingin menertawakan ucapan itu.
“Sudahlah. Aku tidak butuh kata terima kasih,” katanya, masih dengan nada dingin yang sama. “Aku melakukan ini bukan karena aku peduli padamu sebagai istri. Tapi karena kamu sekarang cuma seperti pasienku.”
Kalimat itu menggantung, menyakitkan… tapi bukan itu yang membuat dada Naya tercekat.
Arsen menoleh sedikit, nada suaranya tetap datar, tapi kali ini terdengar lebih berat, seperti ada sesuatu yang ia tahan agar tak terlalu nyata.
“Dan kamu sedang hamil,” lanjutnya. “Mau seburuk apapun hubungan kita, di dalam perutmu tetap ada darah keluarga Alastair. Setidaknya, aku masih punya tanggung jawab untuk menjaga itu.”
Naya menggigit bibirnya. Dadanya sesak. Kalimat itu terdengar tajam… tapi ada sesuatu di baliknya. Sebuah bentuk kepedulian yang dibungkus rapi dalam dinginnya tanggung jawab.
Sementara Arsen berdiri kaku di sisi pintu, tak menoleh lagi. Namun sebelum ia benar-benar pergi, ia masih sempat berkata, "Bereskan barangmu jangan pilih kamar ini."
Setelah pintu kamar tertutup, benak Naya terus berpikir, "Apa maksudnya?"
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih