Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mabuk Berat
Jumat malam biasanya Melvis habiskan di ruang baca pribadinya. Menjelajah rak demi rak untuk menambah ilmu pengetahuannya dari ratusan koleksi buku yang dia kumpulkan sejak masih muda. Kalau terlalu jenuh membaca buku-buku non-fiksi, dia juga bisa melipir ke rak lain, membaca karya sastra dari beberapa sastrawan. Pekan lalu, dia membaca Jejak Langkah, bagian ketiga dari Tetralogi Buru karya sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer. Sebuah karya indah yang menceritakan perjuangan Minke dalam pergerakan nasional. Pekan ini, Melvis berencana membaca karya Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono.
Usai menyeduh kopi hitam tanpa gula menggunakan coffee maker andalan, Melvis berjalan menuju kursi bacanya. Pencahayaan di ruang baca di-set remang-remang, tetapi satu lampu dipasang fokus untuk menyorot di spot tempat Melvis akan khidmat membaca. Di sudut meja, terdapat reed defuser yang semakin mendukung kegiatannya membaca. Membantunya lebih rileks dan berkonsentrasi penuh pada penggal kata demi kata.
Sambil membalikkan halaman, Melvis sesekali menyesap kopinya. Pahit di lidah berbanding terbalik dengan rasa manis yang dia dapatkan setelah membaca puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono. Setiap baitnya terasa menyentuh sisi hati Melvis. Mengingatkannya pada seseorang—Betari.
Halaman lain hendak dibalik ketika Melvis menemukan ponselnya di atas meja menyala. Ketika sedang membaca, dia memang cenderung mematikan nada dering agar tidak berisik dan mengganggu konsentrasinya.
Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, nama Betari muncul di layar begitu saja. Seolah datangnya nama gadis itu di kepalanya beberapa saat lalu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari semesta yang sedang bekerja.
Melvis meletakkan bukunya dengan halaman terbuka. Sekali swipe, telepon diterima.
“Halo, Mbak Betari.” Dia menyapa dengan ramah.
“Pak Melvis free, nggak? Mau temenin saya minum?”
Ditembak begitu secara tiba-tiba, Melvis jelas terdiam. Dia hampir mengira dirinya salah dengar. Atau mungkin, Betari hanya sedang iseng dan kurang kerjaan.
Sampai kemudian, gadis itu kembali bersuara. ”Kalau Pak Melvis sibuk, saya bisa pergi sendiri. Maaf udah mengganggu waktu—”
“Bisa. Saya bisa temani Mbak Betari. Kasih tau aja mau minum di mana.” Melvis tak punya pilihan selain menjawab begitu.
Tidak tahu apa sebabnya. Dia mendadak khawatir Betari betulan akan pergi sendirian dan terjadi apa-apa.
“Oke, saya share location-nya sekarang.”
Telepon diputus setelahnya. Berselang tiga detik kemudian, satu pesan masuk ke ponselnya. Melvis memeriksa lokasi sambil berbenah. hanya sekadar mematikan lampu baca dan meninggalkan kopi serta bukunya tetap dalam keadaan terbuka. Bergegas ia keluar dari ruang baca membawa dompet dan jaketnya.
Melvis terburu-buru menuruni tangga. Berbelok jauh ke sisi belakang menyambangi kamar sopirnya berada. Pelan, dia mengetuk pintu.
Sang sopir muncul dari dalam dengan mengenakan kaos partai dan sarung kotak-kotak. Hati-hati Melvis berkata, “Tolong antar saya keluar, Pak Hadi. Saya hitung lembur.” Karena biasanya, Melvis tidak pernah mau merepotkan sopirnya kalau sudah di luar jam kerja. Dia menerapkan batas akhir jam kerja di jam 7 setiap harinya. Sekarang sudah hampir pukul sembilan.
Pak Hadi mengangguk cepat, masuk lagi ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan muncul di depan Melvis tak lama kemudian. Mereka pun bergegas dengan Pak Hadi memimpin jauh di depan.
Tidak seperti bar atau kelab malam yang lazim digandrungi anak muda karena dance floor dan musik energiknya, Betari menuntun Melvis ke sebuah bar intimate. Tidak ada dance floor, tidak ada lampu remang-remang berlebihan yang bisa membuat kepala berkunang-kunang, tidak ada musik yang berdentam-dentam. Jenis bar yang cocok untuk mereka yang datang untuk menikmati minuman sambil ditemani musik jazz yang mengalun lembut.
Melvis mengedarkan padangan sebentar, untuk menemukan Betari sudah duduk di salah satu stool bar dengan minuman di tangan. Dia mendekat, menarik stool bar di sisi kiri dan segera duduk.
“Oh, Hai,” sapa Betari.
Kesan kasual yang muncul datang dari pengaruh alkohol yang gadis itu sudah tenggak. Entah sudah berapa banyak, yang jelas Melvis bisa mencium aroma alkohol menguar begitu pekat dari embusan napas gadis itu.
“Tolong yang sama,” pinta Melvis pada bartender di depannya.
Sambil menunggu minumannya, Melvis mencurahkan perhatiannya penuh pada Betari. Sorot mata gadis itu tampak redup, tidak berbinar seperti biasanya. Dari situ saja, Melvis bisa mengerti bahwa Betari sedang tidak baik-baik saja.
Otak Melvis mendorongnya untuk bertanya apa yang terjadi, barangkali dia bisa membantu. Namun, hati kecilnya berbisik untuk tetap diam dan membiarkan Betari mengatakan apa yang dia inginkan, menyimpan yang ingin dia simpan sendirian.
Maka, ketika minumannya tiba, Melvis langsung menyesapnya perlahan.
“Makasih udah mau datang, Pak Melvis.” Suara Betari terdengar serak.
Melvis mengangguk kecil. “My pleasure,” sahutnya.
“Saya lagi merasa nggak nyaman sekarang,” adu sang gadis tiba-tiba.
Melvis menurunkan lagi gelas yang sudah hampir menyentuh bibirnya. Dia sedikit memutar tubuh, mencurahkan lebih banyak fokus pada Betari.
“Ada seseorang, nggak, dua. Ada dua orang yang akhir-akhir ini bikin saya nggak nyaman. Rasa-rasanya saya pengin mereka menghilang aja dari dunia ini.”
Dengan tenang dan hati-hati, Melvis bertanya, “Rekan kerja? Ada selisih paham soal job desk or something?”
Betari tersenyum kecut, menggeleng pelan. “Rekan kerja saya semuanya manusia. Yang dua orang ini titisan iblis,” sarkasnya. Diakhiri kekehan yang terdengar menyedihkan di telinga Melvis.
“Apa yang mereka perbuat sama Mbak Betari? Would you like to talk about it?”
Dari cara Betari membuang napas dengan begitu berat, Melvis mengerti bahwa masalahnya bisa jadi cukup serius. Terlebih saat gadis itu tidak kunjung menjawab dan malah memutus kontak mata, sibuk memainkan gelas yang es batu di dalamnya sudah hampir habis mencair.
“Nggak masalah kalau Mbak Betari keberatan buat cerita sekarang,” kata Melvis kemudian. “Tapi kalau nanti butuh seseorang buat tempat curhat, Mbak Betari boleh datang ke saya kapan aja.” Lanjutnya, lalu kembali menyesap minumannya.
Di belakang, musik jazz masih mengalun begitu lembut. Menelan kebisuan yang timbul setelah tidak ada lagi percakapan di antara keduanya.
Seharusnya Melvis segera menghentikan Betari ketika mulai minum berlebihan. Karena sekarang ketika gadis itu sudah kehilangan kesadaran, Melvis jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu harus memulangkan Betari ke mana. Memeriksa kartu identitas untuk tahu alamat rumahnya juga rasanya tidak sopan karena dilakukan tanpa persetujuan. Dia tidak ingin dianggap lancang.
“Bukain kamar hotel aja, Pak.” Pak Hadi memberi saran. Cukup peka pada kebingungan yang majikannya rasakan, sekaligus iba melihat lelaki itu membopong seorang gadis sendirian.
Melvis tampak mempertimbangkan saran tersebut. Kedengaran cukup oke, tapi dia tetap mendapati ganjalan di hatinya.
Sampai akhirnya,
“Kita bawa pulang aja, Pak Hadi. Tolong kasih tahu Mbok Wati, minta tolong bersihin kamar tamu.”
Sebuah keputusan yang Melvis tidak tahu akan menimbulkan huru-hara di kemudian waktu.
.
.
.
Bersambung.