NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:762
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 19(Persimpangan Letta dan Zidan)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇ 

Setelah pembicaraan yang cukup menegangkan semalam, pagi harinya Letta langsung meminta Etan untuk menjemput Zidan. Namun, proses itu tentu tidak berjalan mulus. Ada drama kecil saat Letta menelepon Zidan dan memintanya untuk segera bersiap.

Zidan terdiam cukup lama di ujung telepon. Ia tidak langsung menyanggupi, dan Letta bisa merasakan kegelisahan dari nada suaranya.

Bagaimana tidak? Ibunya, Bu Puspa, baru saja pulang dari rumah sakit semalam. Kondisinya belum benar-benar pulih, dan kini Zidan harus meninggalkannya di rumah bersama adik perempuannya, Aya.

Beban Zidan semakin berat ketika mengingat satu hal yang belum juga ia selesaikan—menjelaskan alasan perceraian dengan Felicia kepada sang ibu. Hingga detik ini, ia masih mencari cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran yang rumit itu.

Dan sekarang, Letta memintanya untuk pergi ke daerah J, tanpa tahu bagaimana ia harus menjelaskan kepergiannya yang mendadak pada keluarganya.

Zidan menghela napas panjang setelah menutup telepon. Wajahnya tampak cemas, seolah ia sedang dihimpit oleh pilihan yang sama-sama menyulitkan: antara tanggung jawab sebagai anak dan tanggung jawabnya sebagai seorang pria.

Pada akhirnya, Zidan tak mampu menolak permintaan Letta. Meski pikirannya masih dipenuhi keraguan, ia tetap mulai menyiapkan ransel dan kebutuhan pribadinya untuk ke kota J. Setelah semua barang terkemas rapi, ia pun melangkah menuju kamar ibunya, Bu Puspa, yang masih beristirahat.

Tok... tok... tok...

"Bu..." panggil Zidan pelan sambil mengetuk pintu.

Begitu pintu terbuka, Zidan mendapati ibunya sedang duduk di ranjang, ditemani oleh adiknya, Aya. Tatapan mereka langsung tertuju pada Zidan, yang masuk dengan raut serius.

"Kenapa, Bang?" tanya Aya, mewakili ibunya yang hanya menatap tenang.

Zidan tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang, menatap dua perempuan yang paling berarti dalam hidupnya.

"Gimana kondisi Ibu?" tanyanya lembut.

"Ibu baik-baik saja, Nak," jawab Bu Puspa, tersenyum menenangkan.

Zidan menarik napas pelan, berusaha merangkai kalimat dengan hati-hati.

"Bu... maaf. Zidan nggak bisa jagain Ibu selama beberapa hari ke depan."

Kening Bu Puspa dan Aya langsung mengerut, bingung dengan maksud ucapannya.

"Maksudnya gimana, Bang?" tanya Aya cepat.

Zidan menatap adiknya lalu beralih pada ibunya. "Aya, jagain Ibu ya. Abang ada urusan penting di kota J. Abang belum tahu pasti berapa lama, tapi abang janji akan segera pulang setelah semuanya selesai."

Bu Puspa mengangguk tenang. "Ibu sudah jauh lebih sehat, Bang. Nggak usah khawatir. Kamu fokus saja sama kerjaan kamu, ya."

Zidan mengembuskan napas lega. Setidaknya, sang ibu tidak menanyakan terlalu banyak hal. Ia mengangguk dan berdiri, hendak meninggalkan kamar untuk melanjutkan persiapannya.

Namun baru saja ia melangkah ke arah pintu, suara Bu Puspa membuatnya terhenti.

"Bang... Ibu kok nggak lihat Felicia, ya, dari kemarin? Ke mana istrimu?"

Zidan terdiam. Ia tahu pertanyaan itu akan datang cepat atau lambat. Bu Puspa bukan orang yang mudah dibohongi, dan selama dirawat di rumah sakit hingga pulang, ia memang tak pernah melihat menantunya itu lagi.

Zidan berbalik perlahan dan mencoba tersenyum, meski wajahnya terasa kaku. "Maaf, Bu. Zidan lupa kasih tahu. Beberapa hari yang lalu, Felicia menerima tawaran kerja di luar kota... di daerah S."

Jawaban itu setengah jujur. Felicia memang pergi, meski Zidan sendiri tidak yakin ke mana sebenarnya ia pergi.

Mendengar jawaban itu, Bu Puspa tampak tenang. Dalam hatinya, ia sempat menduga yang tidak-tidak tentang hubungan Zidan dan Felicia. Tapi kini, ia memilih mempercayai anaknya.

“Ya sudah… Semoga pekerjaan Felicia lancar di sana,” ucapnya akhirnya.

Zidan hanya mengangguk, walau dalam hatinya muncul perasaan bersalah. Ia sadar, kebohongan kecil ini bisa menjadi benih masalah besar. Tapi untuk saat ini, ia tak punya pilihan lain.

Setelah berpamitan dengan Bu Puspa dan Aya, Zidan kembali ke kamarnya. Ia harus segera bersiap sebelum orang suruhan Letta datang menjemputnya. Beberapa pakaian tambahan dan dokumen penting dimasukkannya ke dalam tas ransel. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, ia tak punya pilihan selain mengikuti alur yang sudah dimulai.

Selesai bersiap, Zidan kembali menghampiri ibunya dan Aya untuk berpamitan sekali lagi.

"Bu, Zidan berangkat dulu ya," ucapnya pelan, menundukkan kepala penuh hormat. "Aya, jagain Ibu baik-baik selama abang nggak di rumah."

Aya mengangguk dan tersenyum kecil. “Hati-hati, Bang.”

Zidan membalas senyuman itu, lalu berjalan menuju pintu depan. Namun begitu membuka pintu, langkahnya langsung terhenti. Matanya membulat ketika melihat Etan sudah berdiri tegak di depan rumahnya, mengenakan setelan formal serba hitam.

Dengan cepat, Zidan menutup kembali pintu rumah, tak ingin ibunya melihat kedatangan Etan yang bisa memunculkan pertanyaan tak perlu.

"Siang, Tuan," sapa Etan sopan, menundukkan kepala sedikit.

Meski Etan hanyalah asisten pribadi Letta, ia tahu posisi Zidan kini bukan sembarang orang. Statusnya sebagai calon suami Letta—putri dari keluarga Beryl—membuat Etan harus bersikap penuh hormat.

Tanpa banyak kata, Zidan mengikuti Etan menuju mobil hitam elegan yang sudah terparkir di depan rumah. Segalanya sudah dipersiapkan. Ia hanya tinggal duduk dan menjalani apa pun yang sudah Letta rancang untuknya.

Dan di situlah, perjalanan Zidan ke kota J pun benar-benar dimulai. Jika Zidan mulai menikmati perjalanannya ke kota J maka lain hanya dengan Letta yang tengah dibuat gelisah.

Siang itu, Letta tengah menikmati makan siang bersama kedua orang tuanya. Suasana tampak tenang, namun sedikit kaku. Hari ini, Tuan Sebastian sengaja meliburkan diri dari pekerjaannya. Bukan tanpa alasan—ia ingin menyambut kedatangan calon suami Letta secara langsung.

Sejak percakapan mereka malam sebelumnya, hubungan antara Letta dan Tuan Sebastian terasa dingin. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah percakapan itu masih membekas di hati keduanya.

“Lho, kok suasananya suram begini sih?” celetuk Nyonya Ana tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. “Papi sama Letta nggak lagi berantem, kan?”

Tuan Sebastian hanya menghela napas, lalu menjawab singkat, “Enggak kok, Mi.”

Ucapan itu cukup untuk sedikit melonggarkan ketegangan. Nyonya Ana pun mulai mengobrol ringan, membuat suasana di ruang makan sedikit lebih hidup. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

“Jadi, kapan calon suami kamu itu sampai?” tanya Tuan Sebastian tiba-tiba, suaranya tenang namun tajam. Seketika, Letta dan Nyonya Ana saling berpandangan, suasana pun kembali tegang.

“Mungkin malam ini, Pi,” jawab Letta pelan, berusaha tetap tenang.

“Sebentar, sebentar... kok mami kayaknya ketinggalan info, ya?” sela Nyonya Ana dengan nada bingung. “Calon suami Letta mau datang ke sini? Bukannya dia tinggal di daerah A?”

“Papi yang minta dia datang ke rumah,” jawab Tuan Sebastian tenang namun tegas.

“Tapi kenapa tiba-tiba, Pi?” tanya Nyonya Ana lagi, kini mulai merasa sedikit kesal karena tidak diberi kabar.

“Bukankah ini hal yang wajar?” sahut Tuan Sebastian, lalu menatap Letta tajam. “Biasanya, pihak pria datang ke rumah pihak wanita... untuk melamar.”

Nada tegas di akhir kalimat itu membuat Letta terdiam. Kata-kata sang ayah seperti menampar kenyataan di depan wajahnya—bahwa jika seorang pria sungguh mencintai, maka melamar adalah bentuk keseriusan yang nyata.

Menyadari ketegangan kembali muncul, Nyonya Ana cepat-cepat mengambil alih suasana. “Oke, kalau begitu... hari ini mami akan masak spesial buat calon mantu,” ucapnya dengan semangat, berusaha menghidupkan kembali nuansa hangat di antara mereka.

Letta hanya tersenyum tipis, sementara Tuan Sebastian kembali fokus pada makanannya. Dan makan siang itu pun berlanjut dalam diam yang tak sepenuhnya hening.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!