Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda tak selalu menjawab (bagian 2)
Zean membeku. Ia tidak siap untuk itu. Suara Ayu. Suara yang seharusnya sudah hilang bersama hari-hari normal. Tapi suara itu ada, retak dan pelan, seperti pecahan kaca yang masih bisa memantulkan cahaya.
“Ayu... kamu masih hidup kan?” tanyanya, masih tak yakin.
Ayu tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap, lalu matanya berkaca-kaca. Boneka kecil di pelukannya makin ditekan ke dada.
“Aku... nunggu kalian,” gumamnya akhirnya. “Nunggu siapa pun...”
Lira perlahan maju ke samping Zean, menatap Ayu dengan campuran rasa lega dan ngeri. “Kamu tidak kenapa napa kan?,kamu sendirian disini?”
Ayu mengangguk, lalu menggeleng. Tangannya menunjuk ke arah tangga.
“Mama... masih di atas. Tapi... jangan naik.”
Zean saling pandang dengan Lira. Ayu mulai berguncang pelan, seperti trauma itu baru menyerangnya lagi. Tubuhnya terlihat rapuh, tapi di matanya, ada sesuatu yang masih bertahan. Api kecil yang belum padam.
“Ayu,” kata Zean pelan, sambil berjongkok. “Kami di sini untuk membawamu. Rumah Dini aman. Ada ayahnya. CCTV. Bubur hangat.” Ia mencoba tersenyum, gagal.
Ayu menghela napas. “Aku nggak bisa tinggalin Mama. Dia masih... kadang sadar. Kadang... enggak.”
“Dia udah...?” Lira menggantungkan pertanyaan.
Ayu menunduk. “Dia belum gigit aku. Tapi aku juga nggak berani dekat.”
Zean berdiri. “Kalau kamu tetap di sini, kamu bisa mati. Atau lebih buruk. Kita harus pergi sekarang.”
Tiba-tiba dari atas terdengar bunyi, seperti suara orang berjalan tapi tidak normal, lalu suara seretan lambat terdengar menyeramkan. Lira refleks mundur, napasnya tercekat.
Ayu berdiri terguncang. “Dia bangun. Kalian harus pergi.”
“Kita semua harus pergi,” tekan Zean. “Kami nggak bisa ninggalin kamu.”
Langkah dari atas makin dekat. Ayu panik. “Dia nggak suka suara. Dia... bisa dengar!”
Zean menoleh ke Lira. “Ambil selimut. Bungkus Ayu. Kita keluar lewat belakang.”
Lira bergegas, Ayu menahan isaknya.
Dari atas, sesosok muncul. Perempuan, atau yang dulu perempuan. Kini matanya buram, kulitnya pucat kehijauan, dan bajunya masih piyama dengan corak bunga kecil. Kepalanya miring, bibirnya terbuka separuh.
“Mama...” desis Ayu.
Sosok itu bergerak, perlahan, menuruni tangga, langkah berat dan tak stabil.
Zean berdiri di depan Ayu, memasang kuda kuda siap memukul seperti atlet base ball. “Kalau dia bergerak cepat, aku tahan. Kalian keluar dulu.”
“Mama... tolong jangan,” Ayu menangis pelan, suaranya pecah.
Tapi sosok itu... berhenti.
Tepat di ujung tangga. Mengendus. Lalu mengerang pelan.
Dan tiba-tiba, tubuhnya roboh. Tanpa suara. Jatuh ke lantai seperti karung basah.
Semua terdiam. Lira yang baru kembali membawa selimut hampir menjatuhkannya.
Zean maju perlahan. Menyentuh leher mayat itu. Dingin. Mati. Sungguh mati.
Ayu menutup mulutnya. Air matanya jatuh deras.
“Dia... dia tahan. Selama ini. Sampai sekarang.” katanya lirih.
Zean memandangi tubuh itu, lalu kembali ke Ayu dan menariknya pelan. “Dia nungguin kamu pergi dengan tenang.”
Ayu tak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan Zean dan Lira membungkus tubuhnya dengan selimut, lalu mereka menyelinap keluar lewat dapur belakang, melewati kebun yang dulu penuh bunga, sekarang dipenuhi rumput liar dan kenangan yang dibungkam waktu.
Langit mulai terang. Tapi bukan terang yang menenangkan. Hanya cukup cahaya untuk melihat betapa rusaknya dunia.
Mereka bertiga berjalan cepat, diam-diam, tanpa menoleh ke belakang.
Dan di bawah langit kelabu itu, Ayu melangkah keluar dari rumahnya yang terakhir kali... sebagai rumah,di campur dengan tetesan air mata yang perlahan lahan.
...
[di tempat dini dan Johan]
Dini menyusuri lorong sempit di antara dua rumah kosong, langkahnya pelan tapi pasti.menggendong tas di punggungnya,berisi botol minuman dan mie instan hasil jarahan sebelumnya,dan terdapat senter kecil di saku samping tas. Di tangan kanannya, sebilah pisau dapur yang diasah ayahnya malam sebelumnya. Johan menyusul di belakang, matanya tak lepas dari bayangan-bayangan yang berubah bentuk tiap kali angin bertiup.
"Tempat ini dulu penuh anak-anak main sepeda," gumam Johan lirih. “Sekarang... bunyi ranting patah aja kayak alarm perang.”
“Berhenti ngomong. Fokus,” bisik Dini, tidak menoleh.
Mereka berhenti di belakang sebuah minimarket kecil yang gerbang besinya sudah setengah terbuka. Dindingnya penuh coretan,bukan vandalisme biasa, tapi tulisan panik:
“JANGAN MASUK!”, “MEREKA DI DALAM!”, dan satu tulisan merah besar: “MAKANAN SUDAH HABIS. JIKA MASUK, MATI.”
Johan menelan ludah. “Yakin mau coba sini?”
“Kalau kita nggak coba, kita tetap mati. Karena lapar.” Dini menarik senter dan menyorot ke dalam celah pintu. Bau lembap langsung menyergap hidungnya. “Kamu awasi pintu. Aku masuk dulu.”
“Enggak. Aku dulu. Kamu jaga di luar,” potong Johan, nada suaranya untuk pertama kali tak bercanda.
Dini menatapnya. “Kamu serius?”
“Selama ini aku cuma ngomel dan nyusahin. Sekali-kali... biar aku yang jalan dulu.” Johan tersenyum miris.
Dini akhirnya mengangguk. “Kalau kamu nggak keluar dalam lima menit, aku masuk.”
“Kalau aku nggak keluar dalam lima menit, kamu kabur.”
“Mimpi.”
Johan masuk, pelan-pelan, membawa senter dan besi pengungkit yang ia temukan di garasi rumah Dini. Bayangan tubuhnya segera lenyap di dalam kegelapan.
Dini berdiri di samping pintu, gelisah. Ia menatap jam digital kecil yang disematkan di pergelangan tangannya. Detik terasa seperti menit. Ia menggigit bibir, lalu mulai menghitung napasnya, satu-satu.
Tiba-tiba,suara benda jatuh dari dalam.
Dini refleks melongok. “Johan?” bisiknya, tegang.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang terlalu penuh.
“Johan!” kali ini lebih keras.
Masih tidak ada jawaban.
Tanpa pikir panjang, Dini menyelinap masuk. Lampu senter dinyalakan. Rak-rak berantakan. Beberapa sudah dibalik. Bau busuk bercampur debu. Tapi tidak ada tanda-tanda Johan.
Hingga akhirnya... dari balik lemari es yang tumbang, terdengar suara.
“SSSTTTT!!! DIAM!!!”
Dini menghampiri cepat-cepat. Dan di sana, ia melihat Johan, berlutut, tangannya menahan pintu kulkas besar yang terayun terbuka... dan di dalamnya,seekor tikus besar menggigit bungkus mi instan.
Dini ingin marah. Tapi matanya melihat sesuatu lain, kotak kecil berisi vitamin, air mineral botol, dan, ya Tuhan, dua kaleng sarden yang masih fresh.
Johan menoleh, pelan, dan berbisik, “Worth it?”
Dini menghela napas. “Belum tentu. Kalau kita mati di sini, nggak worth sama sekali.”
Tapi saat mereka keluar dengan bawaan kecil tapi penting itu, sesuatu terasa sedikit berubah.
Tidak lebih aman.
Tapi Setidaknya memberikan rasa kelegaan.