Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Naik Jabatan?
Shinta mencoba melawan Lisa yang berusaha mengatur kehidupan di rumah Ardi. Enak saja sekarang dia di usir dari rumah orangtuanya sendiri, pikirnya. Dia protes dengan tidak lagi memakai nada manis seperti biasanya. "Dari dulu aku numpang di sini juga nggak pernah jadi masalah."
"Ya kamu harus tahu diri dong. Rasanya ditumpangin terus tuh kayak gimana? Sekali-sekali coba jadi orang yang ditumpangi. Cari duit sendiri, jangan cuma enak-enakan aja. Sekarang, mending kamu sama suamimu pergi dari sini!"
Alih-alih petantang-petenteng seperti saat menghadapi Amira, keluarga Ardi justru terlihat bingung melihat sikap Lisa yang seperti ini. Ibu hanya diam, tidak berkata apa-apa. Sebelumnya pun, dia sempat dibuat down oleh ucapan-ucapan Lisa.
Sebelum Lisa mulai berulah mengusir Shinta dari rumah itu, sang ibu sebenarnya sempat memberi kode, meminta Lisa membantu pekerjaan rumah. Karena menurutnya, itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawab seorang istri.
Tapi jawaban Lisa membuat ibu tercengang.
"Ibu juga seorang istri, kan? Ya sudah, kerjain aja sendiri kalau memang mau."
Ibu tercekat mendengarnya. Dia terus menasehati Lisa dengan cara yang lebih pelan daripada ke Amira, karena ibu merasa Lisa ini agak keras, sulit untuk disetir.
"Nak Lisa, selain ini memang bagian dari tugas istri, rasanya kurang baik kalau semua dibebankan ke ibu. Ibu kan sudah tua, tenaganya nggak sekuat dulu. Kalau kamu memang sibuk kerja, ya nggak apa-apa. Tapi sebaiknya kamu rekrut pembantu saja, ya, Nak. Ibu nggak bakal bilang kamu pemalas kok, ibu paham kamu sibuk cari uang."
Lisa terlihat serius menanggapi. "Rekrut pembantu?"
"Iya." Ibu mengangguk-angguk penuh harap. Dalam hati, ia senang juga punya menantu yang berduit, apa-apa bisa diselesaikan dengan uang. Tapi harapannya langsung pupus saat Lisa berkata,
"Silakan aja, asal ibu yang bayar."
"Hah? Kenapa bukan dari anggaran kamu aja, Nak?"
Lisa tertawa kecil, nadanya mencemooh.
"Ya udah kalau gitu, nggak usah nyuruh-nyuruh aku ngerjain pekerjaan rumah, dan juga nggak usah mempengaruhi aku untuk mengeluarkan uang buat bayar pembantu. Mama aku aja yang udah ngelahirin, nggak pernah tuh nyuruh-nyuruh aku ini itu. Terus ibu sekarang dengan enaknya minta aku capek buat ngurus rumah ini, emangnya ibu siapa?" Sambil nunjuk-nunjuk.
Begitulah sekilas kejadian antara ibu Ardi dan Lisa. Tidak disangka, ucapan Lisa sampai masuk ke dalam lubuk hati ibu. Ia jadi diam, termenung, meski dalam benaknya berkecamuk pertanyaan kenapa Lisa bisa bersikap seperti ini?
Nasibnya kini tak jauh beda dengan Shinta. Mereka berdua hanya bisa menerima perlakuan Lisa dengan hati dongkol dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya.
Ia tidak punya kuasa untuk melawan. Mau minta bantuan Ardi pun, ketika pria itu datang, yang terjadi justru drama.
"Ada apa ini?" tanya Ardi, bingung melihat suasana panas.
Lisa langsung berubah sikap. Ia bergegas mendekat dan bergelayut manja di lengan suaminya
Shinta yang tidak tahan lagi langsung angkat bicara, dia mengadu dengan semangat tinggi "Ardi, masa Lisa sudah usir aku dari rumah ini."
Namun respon Ardi justru membuat Shinta terpukul.
"Bukan ngusir, Kak. Istriku cuma ngasih pengertian. Selama ini kamu memang nggak seharusnya terus numpang tinggal di sini. Oh iya satu hal lagi, tolong kembalikan uang yang kamu pinjam buat bikin rumah, Kak. Aku tunggu sampai minggu depan." Begitu katanya. Disamping Ardi, Lisa meledek Shinta dengan gerakan bibirnya tanpa suara. Dia mengeja kata 'mampus' kepada Shinta.
Shinta menelan ludah. Pada akhirnya, Shinta pun terpaksa keluar dari rumah itu, mengikuti keinginan Lisa.
...****...
Amira baru saja kembali ke rumah megah milik Tuan Arga setelah menikmati jatah liburnya. Uang ‘hukuman’ yang pernah diberikan padanya kini telah habis. Setiap rupiahnya ia gunakan untuk merawat diri demi memperbarui penampilan.
Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, semua mata langsung tertuju padanya. Aura Amira kali ini benar-benar berbeda. Rambutnya yang cuma dikuncir asal-asalan, sekarang jadi tergerai dengan lebih bergaya. Mukanya glowing parah bahkan kusam tidak berani nampak disana setitik pun.
Beberapa staf bahkan sampai menatapnya tanpa berkedip. Ada yang berbisik-bisik, "Itu beneran Amira?" Ada pula yang tidak tahan untuk langsung menghampiri, menyapa dengan ramah, dan bertanya ini-itu. Seketika, Amira seperti selebriti dadakan di rumah tersebut.
Namun dari sekian banyak yang menyambut, tidak ada satu pun staf pria yang berani mendekat. Mereka hanya diam, mengagumi dari jauh. Tidak terkecuali Pak Genta. Pria itu sempat memandangi Amira cukup lama dari kejauhan, sebelum akhirnya ia berbalik dan pergi dari sana.
"Mbak Amira cantik banget... beda banget, ih, aku sampai pangling," puji Ika dengan mata berbinar. Tak henti-hentinya dia memandangi Amira dari ujung kepala sampai kaki.
"Terima kasih, Mbak Ika, jadi malu nih, hehe. Oh iya, aku mau ketemu Tuan Kecil dulu, ya. Nggak apa-apa kalau aku tinggal duluan?"
"Gapapa banget, Mbak Amira. Sok, silakan."
Amira pun melangkah menuju tempat di mana Tuan Kecil berada, tangannya membawa sebuah kantong kecil berisi hadiah sebuah upluk lucu yang baru saja ia beli khusus untuk si kecil.
Sesampainya di sana, ia disambut oleh tawa ceria para pengasuh. Entah kenapa, suasana hari itu bagi Amira terasa lebih hangat. Mereka menyapa Amira dengan semangat yang tidak biasa, seakan ikut bahagia melihat Amira kembali. Tapi Amira tidak menaruh curiga apapun.
Setelah menyerahkan hadiahnya pada Tuan Kecil, Amira kembali ke kamarnya. Ia bebenah ringan sebelum akhirnya melangkah ke dapur. Tujuannya bukan untuk menyantap makanan sehat yang biasanya disiapkan untuknya, tapi hanya ingin melihat-lihat suasana.
Matanya langsung menangkap kesibukan para koki yang tampak hectic memasak. Panci berdentang, aroma harum mulai menyeruak.
Tumben banget para koki udah mulai masak jam segini. Biasanya baru mulai gerak malam, sekitar jam tujuh. Hmm, apa mungkin Tuan Arga mau pulang lebih awal?
Rencana awalnya pun bubar. Ia tadinya ingin mencoba resep baru semacam eksperimen kecil untuk mengasah keterampilannya memasak. Belakangan ini, Amira memang sering memikirkan kemungkinan membuka warung makan sederhana kalau suatu saat kontraknya di rumah ini berakhir.
Seorang koki sempat bertanya ramah, "Ada keperluan apa, Nona Amira?"
Amira langsung tersenyum. "Oh, nggak apa-apa, cuma mau lihat-lihat aja," ujarnya singkat, lalu memilih keluar dari dapur.
Baru saja berjalan ke arah ruang tengah, pandangannya tertuju pada dua pengasuh Tuan Kecil. Mereka menanggalkan seragam kerja dan kini memakai pakaian biasa. Wajah mereka cerah, langkahnya juga tergesa-gesa seakan sedang mengejar waktu. Mereka berjalan cepat ke arah pintu keluar, meninggalkan rumah megah ini.
Penasaran, Amira menyetop salah satu staf yang sedang lewat. Kebetulan yang ia panggil adalah Fitri.
"Maaf, Mbak… eh, ternyata kamu, Mbak Fit. Aku mau tanya, itu mereka mau ke mana, ya? Jatah libur? Tapi kok sore-sore begini?"
Fitri mengikuti arah pandang Amira lalu mengangguk pelan. "Oh, itu. Mereka baru aja diberhentikan kerja, Mbak Amira."
Amira terkejut. "Diberhentikan?" Ia belum sempat bertanya lebih jauh, ketika tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari sistem informasi internal rumah.
Ke ruangan saya sekarang, membahas soal naik jabatan untuk Nona.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus