Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Langit hari itu tampak kelabu, seperti ikut merasakan duka yang menggantung di hati semua orang yang hadir. Di dalam sebuah rumah sederhana yang masih dipenuhi sisa kenangan, Aruna duduk diam di sofa dengan gaun putih sederhana tanpa aksesori mencolok. Rambutnya dikuncir lepas ke samping, wajahnya pucat, matanya sembap.
Hari itu, seharusnya menjadi hari pernikahannya dengan Rio.
Tapi Rio pergi dalam sekejap, tanpa pamit panjang, hanya menyisakan luka dan satu permintaan terakhir: agar Aruna tetap dijaga. Oleh Revan.
Kini, Aruna akan menikah. Bukan dengan pria yang ia pilih, tapi pria yang pernah ia benci.
Di ruangan yang disusun seadanya untuk upacara pernikahan, Revan berdiri tegak mengenakan jas hitam rapi. Wajahnya terlihat menahan emosi, bukan karena bahagia, tapi karena masih dihantui rasa bersalah. Di hadapannya duduk seorang penghulu dan beberapa saksi dari keluarga dekat.
“Apakah saudara Revan bin Mahendra bersedia menikahi Aruna binti Hasan dengan mas kawin logam mulia sepuluh gram dibayar tunai?”
Revan menarik napas panjang. Pandangannya sekilas menatap Aruna yang duduk di seberang, wajahnya kosong tapi tenang.
“Saya bersedia,” ucap Revan, tegas.
Tanpa pesta, tanpa tawa, tanpa tepuk tangan. Hanya sunyi, doa, dan sedikit air mata yang jatuh pelan di pipi Aruna.
Pernikahan itu sah. Tapi jauh dari kata bahagia.
Setelah semua tamu pulang, Aruna kembali ke kamar yang disiapkan untuknya di rumah baru mereka. Kamar itu terasa asing, seperti dirinya sedang tinggal di kehidupan yang bukan miliknya.
Revan berdiri di ambang pintu dengan segelas air putih di tangan.
“Ini... buat kamu. Kamu belum minum sejak tadi.”
Aruna menerimanya dengan diam. “Terima kasih.”
Revan duduk di sofa dekat ranjang. “Aku tahu, ini semua cepat dan... absurd. Aku nggak minta kamu langsung percaya atau nyaman. Tapi aku mau kamu tahu satu hal.”
Aruna menatapnya.
“Rio minta aku jaga kamu bukan karena dia ingin pergi dari hidupmu. Tapi karena dia percaya aku satu-satunya orang yang cukup waras dan cukup bodoh untuk menebus kesalahan lama. Dan aku akan mencoba memenuhi itu. Walau aku tahu kamu mungkin nggak akan pernah mencintaiku.”
Aruna menunduk. “Aku belum bisa membuka hati untuk siapa pun. Termasuk kamu.”
Revan mengangguk. “Aku tahu. Aku di sini bukan untuk memaksa. Tapi aku akan tetap di sini, kalau kamu butuh seseorang.”
Ia bangkit berdiri. “Selamat malam, Aruna.”
“Selamat malam,” jawab Aruna pelan.
Hari-hari setelahnya, Revan dan Aruna hidup layaknya dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Revan tetap masuk kantor, dan setiap pagi ia selalu menyisakan secangkir teh di meja makan, walau tahu Aruna mungkin tak akan menyentuhnya.
Aruna sendiri lebih banyak diam. Ia mulai kembali melukis di sudut ruang kerja, mencoba melarikan diri ke dunia warna yang bisa ia atur. Tapi setiap goresan kuas selalu kembali membawa ingatan pada Rio.
Hingga suatu malam, Revan pulang sedikit lebih awal. Ia membawa pulang makan malam dari restoran kesukaan Aruna dan meletakkannya di meja makan.
“Kalau kamu belum makan, mungkin bisa dicoba. Aku tahu kamu suka sup ayam dari tempat ini.”
Aruna menatapnya. “Kamu masih ingat itu?”
“Sulit untuk lupa hal-hal tentang kamu, Aruna,” kata Revan dengan jujur. “Aku mungkin dulu terlalu bodoh untuk menghargaimu, tapi aku nggak pernah benar-benar melupakanmu.”
Aruna tidak menjawab. Tapi malam itu, ia duduk di meja makan bersama Revan untuk pertama kalinya.
Mereka makan dalam diam, tapi keheningan itu tidak seburuk yang mereka bayangkan. Justru ada sedikit kelegaan. Aruna tidak lagi sendirian. Dan Revan tidak lagi diabaikan.
Beberapa hari kemudian, saat Aruna sedang merapikan lukisan-lukisan lamanya, ia menemukan sebuah amplop kecil. Di dalamnya, ada tulisan tangan Rio.
"Aruna... jika aku tidak bisa jadi orang yang menemanimu sampai akhir, kumohon jangan biarkan dirimu kembali hancur. Revan bukan pria sempurna, tapi dia mencintaimu... lebih dari yang dia tahu. Berikan dia kesempatan yang tidak pernah aku punya. Karena kamu pantas bahagia, bahkan setelah aku pergi."
Air mata Aruna jatuh satu per satu. Surat itu terasa seperti pelukan terakhir dari Rio.
Dan malam itu, ia keluar dari kamarnya. Ia mendapati Revan di ruang tengah, duduk sambil membaca dokumen kantor.
“Revan…”
Revan menoleh. “Ya?”
“Boleh temani aku di balkon?” tanyanya.
Ia bangkit tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil dan mengikuti Aruna ke luar.
Mereka duduk berdampingan, angin malam menyapu pelan wajah mereka. Tak ada obrolan panjang. Tapi pelan-pelan, dinding di antara mereka mulai retak.
Bukan karena cinta yang langsung tumbuh, tapi karena keheningan yang tak lagi terasa menyakitkan.
Dan mungkin, di sanalah awalnya dimulai.
Malam itu, langit tampak lebih cerah dari malam-malam sebelumnya. Revan baru saja pulang dari kantor, membawa pekerjaan yang menumpuk dan secangkir kopi hangat yang ia buat sendiri. Terkadang, ia merasa seperti hidup di dua dunia yang berbeda. Di dunia luar, ia adalah seorang CEO yang tangguh, tetapi di rumah, ia hanyalah seorang suami yang berusaha melakukan hal yang benar, meski kadang ia merasa asing dalam perannya itu.
Saat ia membuka pintu rumah, ia mendengar suara ketukan pelan dari kamar Aruna. Langkahnya terhenti sejenak. Sejak pernikahan mereka yang sederhana, hubungan mereka terasa seperti dua orang asing yang tinggal bersama. Aruna masih menyimpan jarak, dan Revan tidak pernah memaksakan untuk terlalu dekat. Ia tahu, ia harus sabar.
Tanpa mengetuk, ia membuka pintu pelan. Aruna sedang duduk di meja kerjanya, memandangi sebuah lukisan yang belum selesai. Wajahnya terfokus, tapi ada sesuatu yang berubah di ekspresinya, sebuah keheningan yang lebih tenang.
“Lukisan baru?” tanya Revan pelan.
Aruna menoleh, sedikit terkejut, tapi segera tersenyum tipis. “Iya. Aku sedang mencoba mengekspresikan sesuatu… tentang diriku.”
Revan berjalan mendekat, meletakkan cangkir kopinya di meja. “Apakah ini tentang Rio?”
Aruna mengangguk pelan. “Aku nggak tahu. Tapi setiap kali aku melukis, ada sesuatu yang hilang dan… aku merasa seperti ini adalah cara aku mengingatnya, meskipun dia sudah nggak ada.”
Revan duduk di dekatnya, memandangi lukisan itu dengan seksama. “Kamu sangat berbakat, Aruna. Dan Rio pasti bangga melihat kamu melanjutkan ini.”
Ada keheningan beberapa detik di antara mereka, sebelum akhirnya Aruna membuka suaranya lagi.
“Terima kasih, Revan. Untuk semua yang sudah kamu lakukan. Aku… aku tahu aku belum bisa menerima semua ini dengan mudah. Tapi aku mencoba.”
Revan tersenyum. “Kita semua mencoba, Aruna. Aku juga nggak tahu harus bagaimana. Tapi yang jelas, aku nggak akan pernah berhenti ada di sini untuk kamu.”
Aruna menatapnya dengan tatapan lembut, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa ada sedikit kedekatan, sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia pahami. Tidak ada janji-janji manis, tidak ada ikatan yang mengikat selain sebuah kenyataan: bahwa mereka berdua sedang berusaha membangun kembali kehidupan ini.