Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
“Kamu udah nggak bisa ke mana-mana lagi, Aza.”
Lelaki itu berpura-pura tidak mengerti dengan menekuk kedua alisnya, “Maksudnya?”
“Aku tahu kamu ada di kafe beberapa hari yang lalu. Aku tahu kamu adalah orang yang memakai hoodie abu-abu, topi pet yang menutup mata, serta masker hitam. Orang yang langsung beranjak keluar setelah melihatku berada di bingkai pintu masuk. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk mencarimu. Nomormu nggak pernah aktif, nggak pernah kelihatan di warung yang biasa juga, apalagi di jembatan. Sampai pada akhirnya aku bertemu denganmu di tempat biasa kamu mengisi pengajian. Anehnya, aku malah tidak kepikiran untuk ke sini.”
Seolah tidak ingin terlihat seperti seseorang yang terkejut akan kehadiran Fly, Aza tetap berdiri tegak sambil memasang wajah senormal mungkin.
“Ada apa, Fly? Senang sekali kamu bisa menyelesaikan target di kegiatan itu.”
“Tapi aku yang nggak senang. Kenapa kamu nggak jadi ikut hanya gara-gara aku. Kenapa kamu nggak bilang keikutansertaankku adalah gangguan untukmu. Kalau tahu begitu, lebih baik aku memikirkan cara lain dan melanjutkan skripsi. Sekarang kamu malah menghindar dariku. Hei, katakan sesuatu?”
“Tidak seperti itu, Fly. Aku sama sekali nggak menghindar.”
“Sebagai seorang penceramah, kamu pasti tahu bagaiman kebohongan bekerja bagi yang mengatakannya. Kamu yakin tidak berbohong?”
Napas berat Aza berembus. Ia merapatkan bibir serta mengeraskan rahang. Sambil terus melayangkan pandang ke arah sembarang. Lidahnya kelu untuk mengaku. Namun ia tak mungkin bisa mengelak lagi. Sudah jelas Fly pasti tahu, mana jawaban palsu dengan jawaban sebenarnya.
Lantai masjid yang sejuk seperti menggelitik kaki Aza untuk mengaku. Namun angin yang merasuki telinga berbisik agar Aza tetap merahasiakan.
Banyak rasa beradu dalam pikiran Aza. Sebab ada rahasia seseorang yang ia ketahui, sedangkan tidak dengan Fly.
“Apa saja yang kamu omongin sama Yui?” Fly bertanya.
“Bukankah seharusnya ia sudah menceritakannya secara detail? Sebagai seorang sahabat, ia pasti menjelaskannya secara rinci. Adapun semua detail kecil yang pernah aku ucapkan pasti akan ia simpan lekat-lekat pada memorinya.”
“Terserah saja. Tolong katakan yang jelas. Apakah kamu tidak lagi ingin mengenalku? Sampai kamu rela mengganti nomor dan menutup wajahmu agar aku tidak mengenali. Tapi sebelumnya, aku mau ngucapin terima kasih atas apa yang kamu lakukan selama ini. Aku sangat menghargai itu. jika keputusanmu memang demikian, maka aku akan ikut menghindar,” urai Fly dengan suara sedikit bergetar.
Aza menggeleng cepat-cepat. Ia tak tahan dengan lantai masjid yang membuatnya ingin mengakui semua rahasia. Sehingga ia langsung turun dan Fly mengikutinya dari belakang. Mereka menuju halaman masjid yang luas. Dengan alas kaki. Sehingga berganti menjadi kehangatan pada kaki.
“Aku tidak ingin mengganggu pikiranmu, Fly. Setelah perjuanganmu memperbaiki pikiran selama satu tahun terakhir. Ini demi kebaikanmu. Aku tidak juga ingin menghindar. Mungkin, paling lambat kamu akan tahu satu tahun lagi. Setelah kamu wisuda. Bukankah kamu sudah kembali sekarang? Lantas memulai untuk mengerjakan skripsi lagi?”
“Itu bukan jawaban yang aku inginkan,” tegas Fly, kemudian beranjak dari tempat itu. meninggalkan Aza sendirian.
Lelaki itu juga tidak mengejar, sehingga Fly enggan untuk menengok.
“Dasar menyebalkan!” gumam Fly.
___ ___ ___
Fly memegang sebuah buku berukuran A7. Sebuah benda yang pernah mempermalukannya kala itu. Sempat hendak ingin ia bakar. Namun gagal gara-gara lampu mati tiba-tiba. Setelah itu pula, ia tidak pernah lagi menyentuh buku itu, dan lupa akan niatnya untuk membakarnya. Buku harian yang isinya penuh dengan nama Gen. Kini, akhirnya Fly memegangnya lagi setelah sekian lama.
“Hei, memangnya kamu nggak mau dilenyapkan?” tanya Fly pada benda mati itu.
Ia tidak membukanya. Sebab tidak sanggup membayangkan dirinya yang dulu menulisnya dalam keadaan berbunga-bunga. Berbanding terbalik dengan saat ini. Saat di mana ia tak asyik lagi membayangkan cinta.
“Kalau sekarang aku bakar kamu, apakah lampu akan mati lagi? Atau aku boleh melenyapkanmu dengan cara yang lain? Digunting misalnya.”
Sejenak, Fly menatap lekat pada sampul buku catatan tersebut. Beberapa saat. Hingga dalam khayalnya, ekspresi buku itu muncul. Seperti sedang menangis ketakutan. Ia memohon kepada Fly agar jangan menyakitinya.
“Pandai sekali kamu memasang ekspresi itu. karena hari ini aku sedang baik hati, maka aku akan membiarkanmu hidup kali ini. Tapi maaf saja. Kalau aku tidak ingin berbaik hati suatu saat, maka aku akan melenyapkanmu,” ucap Fly pada buku itu dengan tawa jahatnya, seperti sedang bepura-pura menjadi tokoh antagonis pada film.
Yui datang beberapa menit kemudian. Ia membawa beberapa bungkus makanan ringan dan menumpahkannya pada karpet.
“Wah, banyak banget Yui.”
“Jujur aku capek lihat kamu berkerut mulu. Masih muda udah lemes mulu. Nanti cepet tua, loh. Padahal di hari pertama kamu kembali dari kota itu, kamu kelihatan semangat banget. Sekarang malah kembali. Dasar, Aza datang sok-sokan jadi pahlawan. Padahal cuma penambah beban. Gen juga sama. Ah, itu membuatku makin malas sama laki-laki. Pergi aja mereka semua. Dasar, laki-laki memang susah ditebak,” omel Yui dengan greget.
“Tenang aja, Yui. Setelah sibuk dengan skripsi, aku psti akan melupakan mereka. Aku tidak akan menjadi orang yang terjebak jadi budak cinta lagi,” ujar Fly sambil tersenyum mantap.
Saat Fly duduk, Yui langsung menarik buku catatan itu dari tangan Fly, lantas dilemparkannya ke arah kasur, “Jangan pegang itu. Kotor, tahu. Kita ‘kan mau ngemil.”
Kemudian, mereka memakan camilan yang dibawa Yui sambil tertawa bersama. Yui benar-benar seperti seseorang yang melepaskan rindu dengan sahabatnya setelah satu tahun tidak bertemu.
“Ngomong-ngomong, waktu jemput aku kemarin. Kamu pakai kerudung siapa, Yui?”
“Punya Isa.”
“Loh, kok bisa?”
“Waktu mau berangkat, dia memanggilku dari teras. Terus pas aku kasih tahu mau jemput kamu, dia suruh aku tutup rambut. Biar nggak jadi pusat perhatian di sana. soalnya ‘kan di sana nggak ada yang nampakin rambut.”
“Ada, kok.”
“Masa?”
“Iya, yang laki-laki.”
Yui memajukan bibir, sebal.
“Terus, aku nggak habis pikir sih sama si Ana,” ujar Yui.
“Ana siapa?”
“Itu, yang katanya sahabatan sama Cua. Kok bisa orang sebaik itu sahabatan sama orang paling julid sedunia.”
Fly tertawa renyah, sembali memukul Yui.
Sambil menahan sakit, Yui menampakkan wajah bingung.
“Itu namanya bukan Ana. Tapi namanya Rafiqa. Ana itu bahasa arab, artinya aku.”
Yui mengangguk tanda mengerti, “Aku mana ngerti bahasa arab.”
“Tapi aku nggak heran sih kalau dia sampai Cua sahabatan sama Rafiqa. karena dipikir-pikir, kalau bertemu orang yang nyaris tanpa celah seperti Rafiqa. Siapapun akan senang padanya. Seperti halnya Cua, mungkin ia tidak mampu menemukan celah untuk bisa membenci Rafiqa. maka mereka bisa bersahabat. Aku bisa membayangkan bagaimana positifnya Cua jika bersama dengan Rafiqa. Aku bisa merenungkan hal itu beberapa hari yang lalu.”