NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 - Istana Yang Asing

Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan gerbang besi tinggi yang menjulang, dihiasi ornamen emas dan inisial “K” besar di bagian tengahnya. Gerbang otomatis itu membuka perlahan, memperlihatkan jalan masuk sepanjang hampir lima puluh meter yang diapit pepohonan rapi dan taman bergaya Eropa. Di ujungnya, berdiri sebuah rumah megah berarsitektur American Classic, putih berkilau dengan tiang-tiang besar, jendela tinggi, dan balkon lebar.

Tari menelan ludah. Dunia di hadapannya seperti cuplikan dari film keluarga konglomerat, bukan kenyataan yang pernah ia bayangkan akan ia masuki.

Rumah itu tampak seperti istana. Dengan luas tanah hampir seribu meter persegi, bangunan utama berdiri gagah tiga lantai, lengkap dengan garasi berkapasitas sepuluh mobil, halaman belakang dengan kolam renang memanjang, gym pribadi yang dikelilingi kaca, empat dapur besar, dan balkon yang menghadap langsung ke lapangan golf hijau terbentang luas.

Security dengan seragam hitam berbaris rapi di sepanjang sisi rumah, dan beberapa pelayan berdiri di depan pintu utama menunggu kedatangan Tari. Saat mobil berhenti, salah satu pelayan membukakan pintu dengan sopan, membungkuk ringan.

“Selamat datang di rumah, Nona Tari,” sapa seorang pelayan kepala.

Tari melangkah turun dengan koper di tangannya, merasa langkah kakinya terlalu ringan untuk lantai marmer yang begitu bersih dan mengilap. Matanya menelusuri setiap sudut rumah: langit-langit tinggi, lampu gantung kristal berkilau, dan hiasan-hiasan dinding berbingkai emas. Di beberapa titik, matanya menangkap foto seorang wanita muda yang sangat mirip dengan dirinya—ibunya.

“Intan Sukma,” kata suara dari belakang.

Tari menoleh dan melihat Tirtamarta berdiri anggun di depan tangga besar. Wajahnya tenang, tapi matanya menyiratkan emosi yang dalam.

“Itu foto ibumu. Aku tidak pernah menghapus jejaknya dari rumah ini,” lanjutnya pelan.

Tari menatap foto itu lebih lama, merasakan dadanya menghangat dan sesak sekaligus.

“Dia cantik,” gumamnya.

“Sepertimu,” kata Tirtamarta.

Lalu, dari balik pilar, muncullah sosok tinggi kurus berjaket linen krem dan celana kain gelap. Gilang. Rambutnya masih disisir rapi ke belakang, sorot matanya tetap tenang dan dalam, dan sikapnya seperti biasa—datar dan sulit ditebak.

“Dia akan mengantarmu berkeliling rumah. Gilang yang bertanggung jawab atas semua kebutuhanmu mulai sekarang,” ujar Tirtamarta sebelum berbalik naik ke lantai dua. Diikuti asistennya tentu saja.

Tari nyaris tak sempat menyela.

Kini hanya dia dan Gilang yang berdiri di tengah aula besar yang dingin dan megah itu.

Gilang menatapnya sejenak. “Ayo.”

Nada suaranya seperti biasa—datar, singkat, tanpa basa-basi.

Tari mengangguk, menarik koper kecilnya dan mengikutinya menyusuri lorong besar dengan dinding putih dan panel kayu gelap.

“Rumah ini dibangun lima belas tahun lalu, dua tahun setelah ibu kandungmu pergi,” kata Gilang sambil berjalan. “Semua sistem otomatis. Ada lift, sensor keamanan, dan sistem suara untuk pelayan.”

Tari merasa seperti turis dalam museum seni. Setiap ruangan memiliki tema. Ada ruang musik dengan grand piano hitam mengilap, ruang baca dengan rak buku setinggi langit-langit, bahkan ruang rias dengan cermin-cermin antik.

Ketika mereka tiba di lantai dua, Gilang berhenti di depan pintu putih besar.

“Ini kamarmu,” katanya sambil membuka pintu.

Kamar itu lebih besar dari seluruh rumah Tari di Bandung. Tari masuk perlahan, meletakkan kopernya di ujung tempat tidur.

“Dan ini…” Gilang menunjuk pintu di seberangnya. “Kamarku.”

Tari menoleh cepat, kaget. “Di sebelah?”

Gilang mengangguk singkat. “Ya. Supaya kalau kamu butuh apa-apa, aku bisa langsung bantu. Ibu yang memutuskan begitu.”

Tari mengangguk pelan, lalu menunduk menatap karpet lembut di bawah kakinya. “Kamu… nggak keberatan?”

Gilang menatapnya. “Aku hanya menjalankan tugas.”

Jawaban itu terdengar dingin. Tapi entah kenapa, Tari merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kalimat itu. Sesuatu yang belum siap diungkap.

Gilang memutar tubuh menuju kamarnya dan secara reflek tari memegangi pergelangan tangannya, “Eh tunggu.”

Gilang mengibaskan jemari Tari, “Jangan menyentuhku.” Suaranya lebih tajam.

“Maaf, aku cuma mau tanya. Yang selalu sama Bu Tirta itu, siapa?”

Gilang memasukan tangannya ke kantong celana, “Bu Rahma, dia tangan kanan Ibu untuk urusan rumah dan pribadi. Kenapa?”

“Enggak, nanya aja.”

“Baiklah. Oh iya, satu lagi. Ganti ponsel usangmu. Sudah aku taruh di meja kamar.“ Gilang berkata sambil berlalu ke kamarnya. Meni ggalkan Tari penuh tanda tanya.

Tari melihat koper-koper besarnya sudah berada dikamar. Ia menyimpan koper kecilnya disebelah koper-koper besar itu lalu tak berhenti mengagumu kamarnya.

Kamar itu luas dan megah, memancarkan kemewahan khas gaya Amerika klasik. Dindingnya berlapis panel kayu putih gading dengan aksen molding elegan, dan langit-langit tinggi dihiasi chandelier kristal yang menggantung tepat di tengah ruangan, memantulkan cahaya lembut ke seluruh penjuru.

Di sisi kanan kamar, terdapat sebuah walk-in closet yang pintunya terbuka lebar, memperlihatkan barisan rak sepatu, gantungan baju berlampu, dan laci-laci kayu mengilap. Semuanya tertata rapi, dengan beberapa pakaian didalamnya.

Dekat jendela besar yang dibingkai gorden beludru tebal berwarna navy, berdiri sebuah meja rias besar dengan cermin oval bergaya vintage, dikelilingi lampu-lampu kecil yang menambah kesan glamor. Di atas meja, berjejer botol parfum, kuas makeup , dan kotak perhiasan kaca.

Di sisi lain ruangan, ada meja kerja kokoh dari kayu cherry dengan kursi kulit berwarna cokelat tua. Di atasnya tergeletak laptop, set pena mahal, dan beberapa dokumen dalam map kulit. Sebuah rak buku kecil berdiri di sampingnya, penuh dengan jurnal dan buku-buku bisnis.

Tengah ruangan didominasi oleh kasur king size dengan headboard tinggi berlapis kain beludru abu-abu lembut. Kasur itu tampak sangat empuk, diselimuti comforter putih bersih dan tumpukan bantal dekoratif. Sebuah bangku panjang bergaya chesterfield berada di kaki ranjang, menambah sentuhan klasik yang berkelas.

Karpet bulu halus membentang di lantai kayu parket, dan aroma lembut lavender menguar dari diffuser di sudut kamar, menciptakan suasana nyaman sekaligus mewah. Kamar ini bukan hanya tempat tidur, tapi lebih lengkap dari apa yang ada di rumahnya di Bandung.

Tari berjalan menuju meja kerja, melihat tiga buah dus, sebuah macbook air, ipad dan iphone terbaru. Mata Tari langsung berbinar, sudah lama Ia menginginkan barang-barang ini dan dalam sekejap terwujud, Ia merasa dalam mimpi. Atau memang apakah semua ini jawaban doanya?

Setelah makan malam singkat dengan menu lengkap yang dihidangkan oleh lima pelayan berbeda, Tari kembali ke kamarnya. Ia berdiri di balkon, menatap lampu-lampu kecil di kejauhan dan hamparan lapangan golf yang gelap. Bandung terasa begitu jauh dari tempat ini.

Ia tak bisa tidur malam itu.

Ia memandangi langit-langit putih di atas tempat tidurnya, merasa asing dengan bantal lembut yang terlalu empuk dan sprei sutra yang terlalu licin. Ia merindukan kasur tipis di rumahnya, bunyi keran bocor di dapur, dan suara pelan Aline yang mampir tanpa pemberitahuan.

Pukul dua dini hari, ia bangkit, berjalan pelan menyusuri lorong.

Lampu otomatis menyala seiring langkah kakinya. Di ujung koridor, ia melihat lampu di bawah pintu kamar Gilang masih menyala.

Rasa penasaran menyeret langkahnya. Ia berdiri di depan pintu itu beberapa detik, lalu hendak mengetuk, tapi urung. Ia berbalik, namun saat itu pintu terbuka dari dalam.

Gilang berdiri di sana, mengenakan kaus tipis dan celana panjang. Wajahnya tampak terkejut, tapi tak berkata apa-apa.

Tari juga terdiam.

Akhirnya, ia berkata, “Kamu belum tidur?”

Gilang mengangguk kecil. “Belum.”

“Aku juga.”

Gilang menatapnya beberapa detik. “Kamu bisa ke dapur bawah. Kadang aku bikin teh di sana kalau susah tidur.”

Tari mengangguk. “Oke. Makasih.”

Ia berbalik dan berjalan menjauh, tapi mendengar langkah Gilang menyusul.

“Aku ikut. Aku juga butuh teh,” katanya singkat.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, mereka turun ke dapur bersama, dalam keheningan yang terasa… anehnya nyaman.

Dapur bawah, salah satu dari empat dapur rumah itu, bernuansa rustic dengan dominasi kayu dan tembaga. Gilang membuat teh hitam sementara Tari duduk di stool tinggi dekat meja bar.

“Rumah ini terlalu besar,” gumam Tari sambil memandang sekeliling.

Gilang mengangguk. “Tapi Ibu suka. Dia merasa aman kalau semuanya bisa dia kontrol.”

Tari menatap Gilang. “Kamu sudah lama tinggal di sini?”

“Dua puluh tahun,” jawab Gilang. “Sejak aku sepuluh tahun.”

“Kamu nggak pernah mau pergi?” tanya Tari pelan.

Gilang menatapnya, mata gelapnya dalam. “Pernah. Tapi Ibu menahanku. Katanya, aku bagian dari perusahaannya. Dan aku… percaya padanya.”

Tari mengangguk pelan, lalu bertanya hati-hati, “Dan sekarang, saat dia menemukan aku… kamu masih percaya padanya?”

Gilang tak langsung menjawab. Ia mengangkat cangkir teh dan menyesapnya pelan.

“Percaya dan patuh… kadang dua hal yang berbeda,” katanya akhirnya.

Tari terdiam. Kalimat itu menusuk, lebih dalam dari yang ia sangka.

Malam itu berakhir tanpa jawaban lebih banyak. Tapi Tari tahu, di balik wajah datar dan sikap dingin itu, Gilang menyimpan sesuatu. Dan ia akan menemukan apa itu cepat atau lambat.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!