Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan
Bu Tere begitu menyayangi kalung dan gelang itu, karena itulah hasil kerja keras pak Guntur.
Tapi sekarang demi kelangsungan hidup keluarga, semua harus direlakan.
"Nanti kalau ada uang, kita beli lagi" ujar bu Tere menghibur lak Guntur yang seketika tersadar dari lamunannya.
"Tidak, aku akan usahakan dulu kas bon sama bos." selama ini aku tidak pernah kasbon, jadi rasaku masih bisa lah.
"Aku akan coba pinjam peralatan masak ibu, aku bisa jualan juga, kan selama ini jualan ku jg cukup laku, aku yakin sebentar lagi uang kita bisa terkumpul membangun lagi rumah itu." jawab bu Tere juga.
"Ya, sekarang istirahat lah dulu. Ini ada nasi bungkus untuk kamu dan anak-anak, kalau lapar makan saja dulu" ujar pak Guntur teringat nasi bungkus yang dibelikan Herman adiknya.
"Ya, aku baru merasa lapar sekarang. Ayo anak-anak, cepat cuci tangan dan makan nasi ini." perintah bu Tere kepada kedua anaknya.
Nita masih aman karena susu kalengnya diselamatkan Mita, jadi susu Nita masih ada.
"Besok aku izin dulu pinjam perkakas dapur ibu sekalian menumpang memasak risol" gumam bu Tere.
"Istirahat lah dulu, lusa baru mulai jualan lagi" saran pak Guntur.
"Tidak bisa. Jika sekali kita kosong, nanti diincar pula jualan kita sama orang, banyak sekarang yang begitu, kita jualan apa laku, pas kita libur jualannya, tau-tau mereka nitip jualan yang persis sama, karena rasanya beda, langganan jadi kabur" jelas bu Tere sambil memasukkan suapan pertama nasi bungkus lauk ikan goreng nya.
"Ho...ada juga yang begitu?" pak Guntur sedikit kaget.
"Ya, zaman sekarang orang makin licik" timpal bu Tere.
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bicara ke ibu perihal pinjam alat dapur" usul pak Guntur.
"Jangan, nanti ibumu mengira aku yang menyuruh" sanggah bu Tere ngga enak ati dengan mertuanya.
"Ngga, nanti aku yang bilang sama ibu. Mana tau memang ada kompor yang tidak terpakai, dan beberapa alat tidak terpakai." jawab pak Guntur.
"Eh, tapi modal risol darimana ya?" jawab bu Tere lagi tiba-tiba.
"Iya..." pak Guntur tertunduk lesu.
"Aku lupa, kemarin aku kan nitip risol, jadi hari ini harusnya antar yang baru, lalu ambil uang penjualan kemarin" jelas bu Tere menepuk jidatnya.
"Kalau begitu aku ambil dulu uang penjualan risolnya" ungkap bu Ter langsung membungkus nasi dan mencuci tangan ke dapur.
"Jangan buru-buru, aku pinjam motor Herman dulu, jadi kita bisa cepat sampainya." ujar pak Guntur bangkit keluar kamar menuju kamar Herman.
Tak lama mereka sudah berboncengan keluar menuju pasar tempat bu Tere menitipkan risol beserta donat buatannya. Biasanya ada yang tidak laku 2 atau 3 risol. Tapi entah kenapa siang itu semua tempat titipan bu Tere habis ludes.
Jadilah mereka pulang dengan gembira dan membeli bahan membuat risol lagi dengan uang jualan itu.
"Syukurlah, Tuhan selalu menolong kita." Senyum bu Tere sembari melangkah masuk ke rumah.
Pak Guntur segera mencari ibunya untuk meminjam perkakas dapur
"Bu, apakah ibu sedang sibuk?" tanya pak Guntur kepada ibu Yuli.
"Hmmm? Tidak kok, hanya sedang merajut saja" ujar bu Yuli menurunkan kacamata bacanya dan meletakkan rajutannya. "Ada apa?" tanya bu Yuli lagi.
"Ini, apakah aku boleh meminjam perkakas dapur untuk Tere? Yang tidak terpakai saja" ujar pak Guntur.
"Yang kalian perlukan apa? Kompor? Apa lagi?" tanya bu Yuli sembari menuju dapur.
"Kuali, tempat penggorengan kalau ada, wadah mengaduk adonan, talenan." ujar pak Guntur mengingat-ingat.
"Ya sudah, begini saja kalian ambil saja mana yang diperlukan. Semua yang dibagian ini jarang dipakai, aku juga jarang memasak karena makanan ku selalu dikasih kalau ngga dari Andi ya dari Herman" ujar bu Yuli pusing mengingat-ingat.
"Baiklah bu, nanti kalau sudah dibeli yang baru, ini kami pulangkan ya." ujar pak Guntur lagi mengangkat perkakas yang diperlukan.
"Pakai saja dulu, ngga usah banyak cing cong" kata bu Yuli lagi.
"Hehehe..." pak Guntur hanya bisa cengegesan.
Akhirnya pak Guntur membawa semua itu ke kamar mereka. Bisa saja sih mereka memakai dapur bu Yuli tapi sungkan juga dengan ipar yang lain, kadi lebih baik memasak di kamar. Toh kamar ini cukup besar dan luas.
"Ini sudah kubawakan semua keperluan mu sayang" ujar pak Guntur hampir tersandung di depan pintu kamar.
"Wah, ibu tidak memakai ini semua?" tanya bu Tere heran.
"Ngga, ibu kan jarang masak, selama ini kan bang Andi dan Herman yang beri makan ke ibu, jadi ngga repot memasak lagi" jelas pak Guntur.
"Kita jarang ya kasih ke ibu, jadi ngga enak ke saudara-saudaramu" ujar bu Tere sedih.
"Ya mereka kan lebih sukses dari aku, wajarlah mereka memberikan lebih" jawab pak Guntur santai.
"Lagian cuma makan ibu doank, kan nda seberapa" jawab pak Guntur lagi.
"Iya sih, cuma kayak gini kan nda enak, kita juga numpang disini, baju juga minta ke mereka." jelas bu Tere.
"Udahlah, nda usah dipikir, sekarang kita berjuang dulu untuk anak-anak kita. " hibur pak Guntur.
"Nanti kalau ada rejeki lebih, baru deh kita balas kebaikan mereka" jawab pak Guntur lagi.
"Baiklah" jawab Bu Tere, bertekad membantu juga ipar-iparnya kelak dengan tenaga.
"Ya sudah, kita makan dulu deh, sudah siang." ujar pak Guntur mengeluarkan 3 bungkus nasi.
"Lah? Darimana dapat nasi? Kita kan tadi ngga ada beli nasi" tanya bu Tere Heran.
"Tadi ibu belikan untuk kita. Jadi pas aku ambil perkakas ini, ibu langsung kasih ke aku" ujar pak Guntur santai.
"Kita jadi merepotkan ibu lagi." bu Tere tertunduk lesu.
"Kondisi kita kayak gini ya disyukuri saja. Masih ada keluarga yang peduli. Nanti kita bantu juga ibu kalau sudah bisa membantu." jawab pak Guntur sembari membuka bungkus nasi dan memberikan kepada Joni dan Doni yang dari pagi sibuk menemani Nita.
Mereka anak-anak yang benar-benar tahu bagaimana menjaga adik, juga tahu menolong orangtua. Joni bahkan sudah merendam pakaian kotor, Doni membantu menyapu lantai. Bu Tere merasa bersyukur sekali mendapatkan anak-anak yang patuh dan baik begini.
Coba kalau mereka nakal dan susah diatur, mungkin bu Tere juga kelimpungan dan tidak berani mengadopsi Nita. Tapi karena anaknya baik-baik semua, jadilah dia berani mengadopsi.
Tapi siapa menyangka musibah tiba-tiba datang menghampiri kehidupan mereka.
"Yah, aku akan berusaha semaksimal mungkin demi masa depan anak-anak" gumam bu Tere dalam hatinya, dia bertekad akan melakukan yang terbaik