Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama 32 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#6
#6
“Becus jagain cucu gak sih?!”
“Lupa? Atau Mama memang sudah pikun?!”
“Becus jagain cucu gak sih?!”
“Lupa? Atau Mama memang sudah pikun?!”
“Becus jagain cucu gak sih?!”
“Lupa? Atau Mama memang sudah pikun?!”
Marina menutup kedua telinganya dengan nafas yang terus memburu, karena kata-kata dan teriakan Diana seolah terus terdengar berulang-ulang di telinga Marina, seperti kaset rekaman yang diputar terus menerus.
Sepanjang berjalan melintasi lorong Rumah Sakit, kedua mata Marina tak henti meneteskan air mata. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri akibat ditusuk ribuan belati tajam. Sakit, hancur, sedih, dan kecewa semakin melukai jiwanya yang mulai rapuh dimakan rasa rendah diri yang semakin membesar.
Rasa sesal nya kian menjadi, beragam pertanyaan bermunculan, benarkah keputusannya dahulu adalah sebuah kesalahan? Karena dulu menikah di usia muda, kenapa dulu tak kuliah dulu? Kenapa juga ia hanya fokus mengurus rumah, suami, serta anak-anak? Tanpa berpikir untuk mengerjakan usaha sampingan.
Andai saja dulu ia memulai usaha sampingan, tentu sekarang usaha itu sudah menghasilkan sesuatu.
Dan seandainya dulu ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua yang baik, tentu Marina dengan senang hati akan mengikuti kelasnya dengan rajin.
Marina mulai teringat ketika dulu ia merawat dan menyayangi anaknya dengan sungguh-sungguh, memperhatikan setiap kebutuhan, dan cepat-cepat membantu di kala mereka kesulitan. Tanpa ia sadari hal itu terus berulang hingga mereka dewasa, sementara anak-anaknya tak pernah menyadari bahwa Marina pun semakin bertambah usia.
Ucapan dan perangai Diana yang semakin melukai perasaan Marina sebagai seorang ibu.
Diamnya Marina membuat Burhan bersikap seenaknya saja, tak ada rasa berdosa, atau bersalah ketika melemparkan pekerjaan rumah kepadanya, padahal seharusnya istrinya yang melakukannya.
Lama melamun sembari menangisi semua kekurangannya, serta masa yang telah berlalu, membuat Marina tanpa sadar tersesat di rumah sakit tersebut. Wajar saja karena Gwen menerima perawatan di Rumah sakit bergengsi, karena kedua orang tuanya berpenghasilan.
Sementara bila Marina merasa tak enak badan, ia hanya mendatangi Puskesmas, yang menyediakan obat dengan fasilitas asuransi pemerintah. Suami dan anak-anaknya terlalu sibuk, jadi ia bahkan tak sempat mengeluh jika merasa tak enak badan. Karena mereka pasti menuding Marina tak becus merawat dirinya sendiri.
Pada akhirnya Marina pun berprinsip sama seperti para ibu pada umumnya, jadi istri sekaligus ibu, memang dilarang sakit, karena sudah pasti tak akan mendapat perhatian dari suami dan anak-anaknya.
Tapi kini bukan hanya dadanya yang terasa sakit bercampur sesak, perutnya pun terasa nyeri bagai diremas dengan kuat dari dalam, kedua mata Marina berkunang-kunang, hingga akhirnya gelap gulita, dan Marina tak lagi menyadari apa yang terjadi.
Sayup-sayup ia mendengar suara memanggil dirinya, namun semakin lama suara-suara itu semakin memudar, hingga benar-benar sunyi, dan Marina kini sendiri.
•••
Kedua mata Marina terbuka Perlahan-lahan, ia menatap langit-langit ruangan, hingga melihat bahwa saat ini ia mendapatkan asupan nutrisi melalui selang infus.
“Bu, sudah sadar?” tanya seorang perawat yang kebetulan datang memeriksa keadaannya.
“Saya kenapa, Sus?” tanya Marina lirih.
“Dokter bilang, ibu kekurangan nutrisi, dan wajah ibu juga sangat pucat ketika tak sadarkan diri tadi.”
“Oh, mungkin karena Saya sedang datang bulan.”
“Ah iya, mungkin saja.” Perawat itu membenarkan pernyataan Marina, “apa yang Ibu rasakan sebelum pingsan?” tanya perawat lemah lembut.
“Dada Saya nyeri, sesak nafas, dan perut seperti diremas dengan kuat dari dalam,” ungkap Marina.
Perawat itu mengangguk, dan melepas alat tensi darah dari lengan marina. “Sudah normal tensinya, Bu. Tapi Dokter tetap menyarankan pada Ibu, untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara lengkap.”
“Apa itu perlu, Sus?”
“Sangat perlu, Bu, apalagi di usia-usia yang sudah masuk 40 tahun keatas. Maaf, usia ibu berapa?”
“Hampir 50 tahun, Sus. Tepatnya 47.”
“Haid masih lancar?”
“Masih, Sus.”
“Masih aktif berhubungan intim dengan pasangan?”
“Masih,” jawab Marina pelan dan ragu, karena ia sudah hampir lupa kapan terakhir kali Johan menyentuhnya.
“Baiklah, ini surat rekomendasi Dokter untuk melakukan general check up. Boleh minta nomor telepon keluarga? Saya akan bantu menghubungi suami atau anak Ibu.”
“Tak perlu, Sus, mereka semua sibuk. Saya biasa melakukan semuanya sendiri,” tolak Marina.
“Tapi, Bu.” Perawat itu terlihat khawatir, padahal yang berada di hadapannya bukanlah siapa-siapanya. Andai yang berada di hadapannya adalah Diana, atau Burhan, atau Johan. Tentu Marina akan sangat bahagia karena disaat sakit, ada keluarga yang membersamai.
Tapi, harapan hanya tinggal angan semata, Marina sadar selama ini tak ada yang mengkhawatirkan dirinya, karena ia selalu menunjukkan dirinya yang kuat dan sehat. Kendati pekerjaan rumah tak kunjung berkurang, dan tekanan batin terus mendera.
“Tidak apa-apa, Sus. Boleh kan Saya istirahat sejenak di sini? Kalau sudah merasa lebih baik, Saya bisa pulang sendiri.”
Perawat itu mengangguk lagi, kemudian menutup tirai pembatas, agar Marina bisa beristirahat dengan tenang.
•••
Marina turun di halte bus dekat rumahnya, sengaja ia naik angkutan umum, karena ia sedang ingin berada di keramaian, karena hidupnya terasa sangat sepi.
Sepanjang jalan, orang-orang yang ia kenal menyapa dirinya dengan ramah, mereka basa-basi menanyakan kabar Marina, membuat hati Marina terasa hangat.
Marina sangat menyesalkan, kenapa keluarganya tak pernah bersikap sehangat ini kepadanya, mereka hanya bersikap sedikit manis bila butuh bantuan, dan ketika mendapatkan apa yang mereka inginkan, sikap mereka berubah seperti kacang lupa kulitnya.
Malam belumlah larut, para tetangga masih ramai berada di luar rumah, karena cuaca sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Marina tiba di rumah dan melihat suaminya sedang berkacak pinggang menatap kedatangannya.
“Dari mana Kamu!?”
“Cari angin,” jawab Marina acuh.
Johan terkejut, “Cari angin? Bukankah seharusnya Kamu di rumah, dan menyiapkan keperluan suamimu setelah lelah bekerja?!”
“Iya, Aku tahu, anggap saja hari ini aku sedang cuti.” Marina duduk di salah satu kursi yang berada di ruang makan, ia meneguk perlahan air untuk menyegarkan tenggorokannya.
Sikap acuh Marina membuat Johan semakin geram. “Cuti, memang apa kerjamu di rumah? Dasar tak berguna! Sudah untung aku memberimu nafkah setiap bulan, tapi begini caramu memberikan hakku?!”
Tak kalah geram dari sang suami, Marina pun menatap Johan dengan tatapan tajam menghunus. “Dan Kamu, Mas, apa pernah berterima kasih padaku, setelah puluhan tahun Aku melayani kebutuhanmu?!” seumur-umur baru kali ini Marina bersuara lantang di hadapan suaminya. “Apa di rumah ini Hanya Mas yang berhak mendapat penghormatan?!”
“Aku pun memiliki hak yang sama di rumah ini, jika Kamu ingin dihormati, setidaknya hargai jerih payahku selama ini,” keluh Marina sembari memukuli dadanya sendiri. “Asal Kamu tahu, Mas, hari ini Aku mengantar cucumu ke Rumah Sakit, dan Diana dengan enteng memarahiku, mengatakan padaku jika Aku tak becus menjaga Anaknya.”
Johan cukup terkejut mendengar cucunya di rawat di rumah sakit, “Apa? Gwen sakit? Kenapa tak mengatakannya sejak tadi?” tanya Johan panik. Marina hanya bisa tersenyum miris, karena Johan tak menanyakan padanya penyebab ia pulang malam. “Lalu, bagaimana keadaan Gwen saat ini?”
“Mana Aku tahu, tanyakan saja pada Diana!!”
Karena siang tadi Diana mengusir Marina dari ruang perawatan Gwen.
bawang jahatna ya si Sonia
aku ngakak bukan cuma senyum2
itu bapak Gusman kira kira puber keberapa ya🤣🤣🤣
tp sayangnya aku malah dukung banget tuan Gusman sama Marina .. semangat tuan Gusman ..para pembaca mendukungmu