Raina cantika gadis berusia 23 tahun harus menerima kenyataan jika adiknya sebelum meninggal telah memilihkannya seorang calon suami.
Namun tanpa Raina ketahui jika calon suaminya itu adalah seorang mafia yang pernah di tolong oleh adiknya.
Akankah Raina menerima laki-laki itu untuk menjadi suaminya?
Apakah Raina dapat bahagia bersama laki-laki yang tidak dia kenal?
Ikuti kisah mereka selanjutnya, ya!
Jangan lupa untuk follow, like dan komentarnya!
Terima kasih 🙏 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10 Kesedihan Raina
Arsenio masuk ke dalam, kamar Raina. dia pun menghampiri jendela kamar. dan benar saja, Raina terlihat bergelantungan pada tirai. arsenio yang di bantu, oleh beberapa anak buahnya menarik tirai itu dengan kuat, dan membuat Raina kembali ke kamar itu.
"Biarkan aku pergi! Kalian tidak bisa menahan, ku!" Rania berteriak, saat arsenio berhasil menangkapnya.
Anak buah arsenio keluar, dari kamar itu. kini hanya tinggal dirinya dan Raina, yang berada di sana.
"Biarkan aku pergi. Aku mohon.... " Raina mencoba memohon kembali, berharap arsenio mau membebaskannya.
"Diam!" bentak, arsenio marah.
Raina seketika terdiam, saat pertama kalinya melihat arsenio yang begitu marah. dia tidak menyangka, jika di balik sikap dinginnya, tersimpan kemarahan yang amat besar.
"Jika kamu mencoba, untuk melarikan diri dari sini. Jangan harap, kamu dapat melihat rumah dan makam keluarga mu lagi! Karena, saat ini juga aku akan meratakan semuanya, tanpa tersisa sedikit pun! " ucap Arsenio menatap tajam, pada Raina.
Raina seketika terdiam, saat mendengar ancaman dari arsenio. dia tidak ingin, rumah peninggalan orang tuanya di hancurkan, begitu saja. apalagi dengan makam keluarganya, dia tidak akan memaafkan dirinya jika semua itu terjadi.
"Lebih baik, sekarang kamu diam dan jangan membuat keributan. Ingat, sekali lagi kamu mencoba lari dari sini. Aku tidak akan segan-segan, melakukan apa yang sudah aku katakan tadi!" ucap arsenio, penuh penekanan. setelah itu, dia pun pergi meninggalkan Raina sendirian, di kamar itu.
Raina menjatuhkan diri, di lantai. tangisannya seketika pecah, meratapi hidupnya sekarang ini. kini dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, kecuali suami yang tidak dia kenal bahkan, terlihat sangat kejam. Raina hanya bisa berharap, semoga laki-laki yang menjadi suaminya itu dapat memberikan kebahagiaan padanya. meskipun, dia rasa tidak mungkin.
Malam hari...
Seorang pelayan, mengetuk pintu kamar Raina. namun tidak terdengar sahutan, dari dalam. pelayan itu meminta izin, untuk masuk ke sana.
"Permisi nona, saya membawakan makan malam untuk anda." ucapnya sopan.
Tidak ada sahutan dari Raina. pelayan itu pun, menghampiri Raina yang ternyata sedang tertidur.
"Nona, bangun. Sebaiknya, anda makan malam dulu." Pelayan itu pun, menepuk pundak Raina.
Raina yang merasa terusik pun, membuka matanya. "Siapa kamu?!" Raina yang terkejut pun, menjauhkan diri dari pelayan itu.
Pelayan tersenyum. "Maaf nona, saya sudah masuk ke kamar anda. Tadi saya, sudah mencoba memanggil anda. Tapi tidak ada sahutan. Sehingga, saya memutuskan untuk masuk, ke sini." ujarnya tegas.
Raina terdiam, kini tatapannya beralih pada nampan yang di bawa oleh pelayan itu. hal itu pun, di sadari oleh pelayan itu.
"Saya di suruh tuan arsenio, untuk mengantarkan makanan ini." Pelayan pun, memberitahu maksud kedatangannya, seakan tahu apa yang sedang di pikirkan oleh Raina.
Raina memalingkan wajahnya. "Bawa saja makan itu. Aku tidak lapar!" ucapnya dingin.
Pelayan itu hanya tersenyum tipis. dia tidak mendengarkan perkataan Raina, dan menyimpan nampan itu di atas meja. setelah itu pelayan pamit pergi, meninggalkan Raina yang sama sekali tidak melihat ke arahnya.
Raina menghela nafas kasar, setelah melihat pelayan itu keluar dari sana. dia pun turun dari ranjang, dan memutuskan untuk membersihkan diri. hatinya sangat lelah, namun dia juga tidak bisa selamanya seperti ini. Raina pun memilih berendam, berharap beban hati dan pikirannya perlahan berkurang.
(Di ruang makan)
"Apa dia memakan makanannya," tanya arsenio pada pelayan, yang mengantarkan makanan untuk Raina.
Pelayan menundukkan kepala. "Maaf tuan. Nona Raina menolak makanan, yang saya bawa. Tapi saya sudah menyimpan makanan itu, di atas meja," jawabnya tegas.
Arsenio menghela nafas. "Pergilah." ucapnya dingin.
Arsenio kembali merenung, memikirkan kehidupannya yang terasa rumit setelah kehadiran Raina. dia harus mencari cara, supaya Raina dapat tinggal di sana dengan nyaman.
"Apa kita akan berangkat sekarang, arsen?" Morgan tiba-tiba saja, menghampiri arsenio.
Arsenio melirik sekilas. " Kita berangkat hari ini," jawabnya tegas.
Morgan pun mengangguk pelan, kemudian pergi dari sana untuk mempersiapkan kebutuhan, selama mereka pergi ke luar negeri.
Arsenio pun melangkahkan kaki menuju, ke kamarnya. saat melewati kamar Raina, arsenio melirik sekilas ke arah pintu itu. suasana di dalam sangat sepi, bahkan arsenio tidak mendengar suara apapun di dalam sana. dia pun melanjutkan lagi langkahnya, menuju ke kamarnya.
Di kamar Raina
Setelah membersihkan diri, Raina segera memakai baju. dia pun memutuskan untuk, duduk kembali di ranjang. bahkan Raina sama sekali, tidak menyentuh makanan yang sudah di siapkan oleh pelayan tadi. tidak ada keinginan dari Raina untuk memakan makanan itu. bahkan untuk memoles wajahnya saja, dia merasa enggan.
Cklek
Pintu kamar Raina terbuka. Arsenio pun, masuk dan menghampiri Raina.
Saat tahu, siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Raina sontak terkejut, sebab dia mengira jika yang masuk ke dalam kamarnya adalah pelayan tadi.
"Kenapa kamu tidak makan?" Arsenio melirik sekilas, pada makanan di atas meja yang masih utuh.
Raina memalingkan wajahnya. "Aku tidak lapar!" jawabnya dingin, bahkan singkat.
Arsenio menatap tajam Raina. "Jika itu kemauan mu, tidak masalah. Aku harap, kamu tidak membuat lagi kekacauan di sini." balasnya, dingin.
Setelah mengatakan hal itu arsenio pun, segera keluar dari kamar Raina. dia sebenarnya ingin mengatakan, bahwa dirinya akan pergi cukup lama ke luar negeri. namun semua itu dia urungkan, karena melihat sikap Raina yang masih sama membuatnya memilih, untuk diam saja.
Kali ini, arsenio harus pergi ke Brazil untuk mengantarkan pesanan senjata, yang di pesan oleh salah satu pelanggannya. dia akan tinggal di sana cukup lama, sebab memberikan senjata pada pelanggannya memang tidak semudah itu.
Setelah Arsenio benar-benar pergi dari kamarnya, Raina kembali menangis. semakin sering bertemu dengan arsenio, maka semakin sakit hatinya. sebab, saat melihat arsenio, Raina selalu membayangkan bagaimana menderitanya fikri saat itu.
"Fikri. Sebenarnya ada hubungan apa, kamu dengan laki-laki kejam itu? Kenapa kamu memilih dia, sebagai suami kakak?" ucap Raina, terisak.
*
*
*
Pukul 02.00
Arsenio sedang berdiri, di atas gedung rumahnya. dia terlihat sedang menunggu sesuatu. tak berselang lama, sebuah helikopter pun tiba di sana dan mendarat. arsenio dan Morgan pun, masuk ke dalam helikopter dengan di temani lima buah anak buahnya.
"Apa kamu yakin, meninggalkannya sendiri di sini?" Morgan menatap arsenio, yang terlihat memperhatikan ke luar jendela.
"Aku yakin," jawab arsenio acuh.
Morgan mengangguk pelan. tak lama kemudian pesawat helikopter pun, kembali terbang meninggalkan gedung mewah milik arsenio.
*
*
*
Di kamar Raina
"Fikri, jangan tinggalkan kakak." ucap Raina, bermimpi. "Kakak tidak mau di sini, fikri! Biarkan kakak ikut bersama mu...!" racau Raina, saat bermimpi buruk.