SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Chocolate Almond Cinnamon
Anja
Ia membuka kaca samping kanan dengan tangan gemetaran. Sambil mempersiapkan diri jika orang yang mengetuk akan marah-marah lalu memaki-makinya. Mulutnya sedari tadi komat kamit menyusun kalimat pembelaan yang akan diucapkannya jika orang tersebut mulai membentak. Namun begitu kaca turun dengan sempurna dan memperlihatkan keseluruhan wajahnya, orang yang memakai helm full face dengan kaca tertutup itu justru tertegun sebentar. Untuk kemudian bertanya,
"Kenapa berhenti? Mesin mati?"
Ia masih berusaha menenangkan diri dari rasa takut yang melanda. Sama sekali tak menyangka akan mendengar pertanyaan yang jauh diluar perkiraan. Ia tadi sudah sangat yakin akan mendapat makian atau bentakan, tapi ternyata tidak.
"Nyalain lagi!" orang itu memberi isyarat dengan tangan memintanya agar segera menyalakan mesin. "Macet di belakang!"
Ia buru-buru mengangguk. Namun lagi-lagi mesin tak bisa menyala. Membuatnya putus asa dan menggelengkan kepala dengan wajah pias. Tapi ia masih berusaha mencoba, off/on/menyala/masuk gigi/lepas kopling/injak gas/mati lagi. Begitu terus sampai telinganya tak lagi sanggup mendengar lengkingan klakson yang membabi buta.
DIIIN! DIIIN! DIIIN!
DIIIIIIIIIIIIINNNNN!!!!
Ia masih berusaha mencoba menyalakan mesin dengan tangan berkeringat yang gemetaran, ketika orang itu membuka helm yang sedang dipakai lalu memintanya untuk turun.
"Sini biar gua aja."
Kini gantian ia yang tertegun demi mendengar nada suara yang sepertinya pernah didengar namun entah dimana. Dan masih tertegun sampai orang itu berinisiatif membuka central lock untuk kemudian membuka pintu samping kanan.
"Lo pindah ke samping."
Ia pasti sekarang sedang terlelap di atas tempat tidur dan tengah mengalami mimpi buruk. Namun lonjakan degup jantung yang bertalu-talu dan tangan gemetaran yang dipenuhi keringat dingin membuatnya sadar jika ini benar-benar kenyataan buruk yang sedang dihadapinya.
Ia masih terlolong ketika Cakra dengan cepat menyuruhnya untuk turun, "Buruan! Tambah macet di belakang!"
Dengan tergopoh-gopoh ia turun untuk pindah ke pintu sebelah kiri. Diiringi tatapan kesal semua orang dan lengkingan klakson yang tiada henti.
DIIIN! DIIIN! DIIIN!
DIIIIIIIIIIIIINNNNN!!!!
DIIIIIIIIIIIIINNNNN!!!!!
"Iya, sabar...sabar!" sungut Cakra sembari menyalakan mesin dan....langsung berhasil.
Busyet.
Dengan sigap Cakra segera melajukan mobil ke depan agar antrian kendaraan di belakang bisa terurai. Setelah yakin arus lalu lintas telah kembali normal, tak lama kemudian Cakra menepikan mobil di pinggir jalan yang kosong lumayan lebar.
Ia hanya bisa memilin-milin jemari tangan sambil menunduk demi menyadari Cakra telah membantunya melewati kejadian paling tak menyenangkan di jalan raya barusan.
Cakra menghembuskan napas sebelum berkata, "Lo gimana sih, kalau nggak bisa bawa sendiri jangan nekat!"
For sure? Ia yang awalnya telah menyiapkan ucapan beribu terima kasih langsung menguap begitu saja digantikan oleh kekesalan demi mendengar omelan Cakra.
"Eh, bacot lo!" ia melotot kesal. "Suka suka gue mau bawa kek mau enggak kek! Kenapa jadi lo ngatur-ngatur gue?!?"
"Lepas koplingnya jangan semua! Itu yang bikin mesin langsung mati!" telunjuk Cakra mengarah ke belakang tempat insiden tadi terjadi. "Sampai bikin macet!"
"Ilmu dasar gini aja lo ngeblank!" gerutu Cakra sambil memukul kemudi. "Itu artinya lo grogi, kagok, nggak biasa di jalan raya!"
"Lo mau dimarahin orang sekampung berhenti di pertigaan begitu?! Kalau tadi gua nggak datang, bisa habis dimaki-maki orang lo!"
"Ish!" ia melotot semakin marah. "Lo habis nolongin orang malah maki-maki sih?! Dari tadi nggak ada tuh orang maki-maki! Paling cuman klakson klakson doang! Elo sekarang malah yang maki-maki gue!"
Ia pun menunjuk pintu sebelah kanan dengan penuh emosional, "Turun!"
"Enak aja! Eh, Maemunah!" Cakra mendelik marah. "Gua mau turun di tempat tadi," Cakra mulai menyalakan mesin. "Motor gua disana!"
"Enak aja nyuruh gua balik jalan kaki. Ini udah sekilo lebih kita jalan!"
Ia hanya mengkerut mendengar omelan Cakra. Tak berniat untuk membalas karena memang ia yang salah. Namun sikap diamnya justru membuat Cakra terheran-heran, "Kenapa lo? Mo nangis?!"
Kalimat Cakra kembali menyulut emosinya, "Lo bisa jadi orang bener nggak sih?!" jeritnya kesal. "Sopan dikit sama orang bisa nggak sih?!"
Cakra hanya mendesis sebal sambil mengarahkan kemudi ke tempat insiden tadi. Kemudian menepikan mobilnya di depan sebuah ruko dengan plang lampu neon besar bertuliskan nama sebuah jasa pengiriman. Jika matanya tak salah mengidentifikasi, ia melihat motor yang dipakai Cakra malam itu terparkir di depan ruko.
"Udah malam," ujar Cakra sambil mematikan mesin. "Mending lo pulang, daripada ntar kejadian kayak tadi lagi."
Ia hanya menelan ludah sambil mengkerut.
"Bisa pulang sendiri?"
Ia melotot marah, "Apa tuh maksudnya?!"
"Jam segini tuh lagi padat-padatnya arus lalu lintas. Kalau lo masih kaget sama kejadian tadi, biar gua antar ke rumah," Cakra menatapnya sungguh-sungguh.
Ia kembali mengkerut sambil memilin-milin jari jemari sembari beberapa kali menelan ludah. Tawaran Cakra jelas sangat menggiurkan. Terus terang ia masih gemetar mengingat kejadian tadi. Mesin mati di pertigaan yang padat. My God.
Benar kata Cakra tadi, jika saja dia tak muncul untuk menolongnya, mungkin sekarang ia masih di pertigaan tadi sedang dimaki-maki oleh banyak orang.
"Tik tok tik tok," Cakra menggumam sebal sambil menunjuk pergelangan tangan kanan dimana melingkar sebuah jam.
"Buruan putusin! Tawaran cuma sekali! Gua mesti pulang udah mal...."
"Anterin gue," jawabnya cepat sambil mengkerut.
"Oke, tapi nanti bayarin ojek dari rumah lo kesini ya," ujar Cakra sambil tersenyum lalu mulai menyalakan mesin. "Soalnya gua mesti ambil motor kesini."
"Bukan ke rumah," ia masih mengkerut. Bayangan chocolate almond cinnamon masih memenuhi benaknya. Melambai-lambai agar segera didatangi. Percuma saja sudah jauh-jauh kesini, sampai mesin mobil mati di tengah jalan dan ia hampir digeruduk orang sekampung, kalau harus pulang dengan tangan kosong.
"Anterin gue ke Mall, baru ke rumah!"
***
Cakra
Ia baru selesai mengembalikan faktur, menandatangani kartu absen, lalu menerima tiga lembaran merah dari Bang Fahri dengan mata berbinar.
"Ini bonus karena lo kerjanya bener."
"Makasih Bang."
"Salam buat Mamak."
Ia mengangguk dan mulai memakai helm, ketika rentetan bunyi klakson memekakkan telinga dan keriuhan para pengemudi di pertigaan yang terletak tak jauh dari ruko Bang Fahri menarik perhatiannya.
Dari kejauhan ia bisa melihat sebuah mobil berwarna hitam metalik berhenti tepat di pertigaan menuju Jl. Kembang Kencana. Sialan, ada amatir baru turun ke jalan, gerutunya sambil setengah berlari menghampiri. Ingin berusaha membantu karena antrian kendaraan di belakang semakin mengular. Meski beberapa driver ojek online telah ikut membantu mengatur arus lalu lintas. Namun biang kemacetan masih belum terselesaikan, yaitu mobil hitam metalik yang menghalangi jalan.
Ia lalu mengetuk kaca pintu samping sebelah kanan sebanyak beberapa kali dan meminta pengemudi mobil nahas itu untuk membuka kaca. Sekilas dari bayangan hitam kaca yang gelap ia melihat seorang gadis sedang kerepotan menyalakan mesin.
Namun begitu kaca terbuka seluruhnya justru ia yang terkejut. Anja?
Tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan cewek berisik ini di tengah jalan yang ribut dengan suara klakson memekakkan telinga dalam suasana kemacetan yang mengular seperti sekarang ini. Sekilas matanya menangkap wajah Anja masih pucat seperti saat ia menjenguk ke rumah sakit. Lebih pucat malah. Dengan tulang pipi yang semakin menonjol. Anja benar-benar telah berubah menjadi sangat kurus dibanding kali pertama mereka bertemu di Retrouvailles.
Dan sekarang cewek berisik kurus ini memintanya untuk mengantar ke Mall? Yang benar saja.
"Sori, nggak bisa," ia menggeleng.
"Gua harus cepet pulang. Udah ditungguin," ia sudah berjanji pada Icad, Umay, dan Sasa untuk pulang cepat hari ini. Sambil membawa jajanan kesukaan mereka. Ia tentu tak ingin ingkar janji hanya gara-gara harus mengantar cewek berisik yang manja ini ke Mall.
"Ntar gue bayarin ojek dari rumah ke sini."
"Bukan itu," ia menggeleng. "Gua beneran ada janji."
"Janji sama siapa sih?!" Anja menggerutu. "Pacar?" tuduh cewek berisik itu sengit.
"Ada deh," ia tersenyum simpul pura-pura terlihat misterius. "Kalau antar ke rumah ayo, tapi kalau ke Mall nggak bisa."
Diluar dugaan wajah Anja mendadak berubah keruh, untuk kemudian mulai terlihat seperti mau menangis.
"Ya udah lo turun sekarang!" salak Anja galak dengan wajah memerah. Matanya bahkan sudah mulai berkaca-kaca. Ah, sial! Ia paling tak bisa menghadapi cewek menangis.
"Trus lo pulangnya gimana?" selidiknya heran.
"Bukan urusan lo!" bentak Anja dengan suara bergetar menahan tangis sambil membuka pintu sebelah kiri. "Buruan turun!"
Namun sebelum pintu terbuka seluruhnya ia buru-buru mengulurkan tangan kiri untuk menutupnya kembali. Dengan badan sedikit membungkuk ke depan agar bisa mencapai handle pintu. Membuat wajahnya bisa mencium lutut Anja.
"Cakra!" pekik Anja marah. "Lo apa-apan sih?! Kalau gue kejepit gimana?!?"
"Buktinya enggak kan?" ia mencoba tersenyum.
"Mau diantar ke Mall mana?" ia bertanya dengan tangan masih memegang handle pintu hingga lengannya hampir menyentuh wajah mungil Anja.
"Nggak usah!" jawab Anja dengan muka ditekuk. "Nggak jadi! Udah lo turun! Biar gue pulang sendiri!"
Ia tersenyum sambil kembali memposisikan diri duduk di belakang kemudi, lalu menekan central lock. "Taman Anggrek apa Central Park?"
Ia pun melajukan kendaraan menuju Mall sesuai dengan permintaan Anja. Sepanjang perjalanan yang hanya sebentar, karena memang sudah dekat, mereka hanya berdiam diri. Tak ada seorangpun yang berminat untuk membuka pembicaraan.
"Lo tunggu disini!" bentak Anja begitu mobil yang dikendarainya memasuki lobby Mall. "Nggak usah ikut! Gue cuma sebentar! Nggak lama!"
Ia hanya menghela napas lalu mengangguk, "Lo nggak takut gua bawa kabur nih mobil?" ledeknya sambil tertawa sumbang.
Namun Anja tak menjawab, hanya mencibir sinis lalu buru-buru menutup pintu dengan membantingnya.
Eh, dasar Maemunah nih cewek! gerutunya kesal demi melihat reaksi Anja yang kasar. Lalu kembali melajukan mobil ke tempat parkir terdekat dengan lobby. Untung pengunjung Mall sedang tak terlalu ramai, hingga ia bisa menemukan tempat parkir sesuai dengan yang diinginkan.
Eh, brengsek! gerutunya lagi merasa semakin kesal demi mengingat mereka bahkan tak pernah berkomunikasi melalui ponsel. Karena nomornya keburu di blok Anja, dan saat itu juga ia langsung menghapus nomor kontak Anja. Jadi bagaimana cara cewek berisik itu memberi tahu padanya kalau sudah selesai urusan di Mall dan ingin pulang?
Ah, sialan! ia pun memaki-maki kebodohannya sendiri. Untuk kemudian menyetel alarm, jika dalam setengah jam Anja tak menghubungi nomornya, ia akan masuk ke dalam Mall dan mencari keberadaan Anja. Terpaksa harus dilakukan. Daripada saling menunggu tanpa kejelasan begini.
Haduh! Nambah-nambahin kerjaan aja sih tuh cewek! makinya semakin kesal.
Tepat di menit ke 35 ia pun terpaksa masuk ke dalam Mall untuk mencari keberadaan Anja. Gila, gila, gila! batinnya sebal. Darimana ia harus mulai mencari di Mall setinggi tujuh lantai ini? Ah, bener-bener ya tuh cewek ngeselin banget!
Atau ia harus mendatangi information center untuk memberitahukan tentang orang hilang seperti yang biasa dilakukan oleh orangtua yang kehilangan anaknya saat di Mall?
Ia justru tertawa sendiri menyadari ide cemerlang ini. Yang pasti akan membuat cewek berisik itu malu tujuh turunan jika sampai namanya diinformasikan melalui pengeras suara. Tapi nanti ia lagi yang kena getahnya. Ah, brengsek emang.
Ia pun mulai berpikir kemana kira-kira cewek sekurus itu pergi? Membeli baju? Aksesoris? Atau makanan?
Demi menyadari betapa kurusnya Anja sekarang ini, ia memutuskan untuk mencari di lantai tempat makanan berada. Dan sialnya di Mall ini setiap lantai ada makanannya. Ampun dah!
Ia pun menyusuri lantai upper ground. Melewati etalase fashion pria, jewelry, departemen store, deretan optik. Ah ya, ia baru ingat, di lantai ini hanya terdapat sebuah cafe. Ia pun memutuskan langsung naik ke lantai 3, dimana food court berada. Banyak pilihan tempat makan yang bisa dikunjungi.
Ia baru menginjakkan kaki ke tangga eskalator paling atas dan mendarat di lantai tiga ketika dalam waktu yang sama melihat sekelebatan bayangan Anja yang hendak menuruni eskalator.
"Haish!" ia mendecak kesal demi menyadari itu memang Anja. Dengan setengah berlari ia pun mengejar Anja dan mensejajarkan diri tepat di sampingnya.
"Lo kemana aja sih?! Gua cariin muter-muter?!" gerutunya kesal.
Anja sedikit terkejut saat mendengar suaranya, namun jelas terlihat buru-buru menetralkan diri. "Salah sendiri!" cibir Anja dengan wajah mengkerut tanpa sedikitpun melihat kearahnya. "Gue kan udah bilang suruh tunggu! Kenapa malah nyusul?!"
"Ck!" ia mendecak kesal. "Ya udah lo tunggu di lobby, gua ambil mobil dulu!" sungutnya kesal begitu menginjakkan kaki di tangga terakhir eskalator. Lalu setengah berlari menuju pintu keluar.
Ketika ia menepikan mobil di depan lobby, Anja terlihat sedang berdiri menunggu sambil memainkan ponsel dengan wajah mengkerut. Membuatnya harus membunyikan klakson untuk memberitahu bahwa ia sudah berada disana.
Anja terlebih dulu membuka pintu tengah untuk menyimpan beberapa kantong plastik besar entah berisi apa. Setelah itu baru mendudukkan diri di samping kirinya.
"Udah?"
Anja mengangguk, lagi-lagi tanpa melihat kearahnya.
"Pakai seatbeltnya!" tegurnya menggunakan dagu.
Anja hanya diam namun menurut memakai seatbelt.
"Langsung pulang ke rumah?" tanyanya begitu keluar dari area Mall.
Anja mengangguk.
"Rumah lo belom pindah kan?"
Kali ini Anja menengok kearahnya sambil melotot marah, "Nggak usah banyak nanya! Buruan jalan!"
Ia hanya terkekeh dan mulai melajukan mobil menuju rumah Anja. Yang meski belum ia ketahui rumahnya yang mana, namun beberapa kali sempat tak sengaja melihat Anja berada di sekitar kompleks perumahan tersebut. Pasti rumah Anja berada tak jauh dari sana.
"Kasih tahu beloknya dimana," ujarnya ketika mobil yang dikendarainya mulai mendekati kompleks perumahan.
Ternyata benar, rumah Anja berada tak jauh dari tempat ia pernah melihat Anja waktu itu.
"Langsung masukkin," gumam Anja lebih seperti perintah ketika pintu gerbang setinggi dua meter itu dibuka oleh seseorang dari arah dalam.
"Parkirnya hadap keluar," gumam Anja lagi begitu mereka memasuki halaman rumah yang sangat luas dan asri.
"Baik nyonya," desisnya setengah mendongkol.
"Lo mau cash apa mau dipesenin ojeknya ke tempat tadi?" tanya Anja ketika ia telah selesai memarkirkan mobil tepat seperti keinginan Anja.
"Terserah," jawabnya sambil membuka seat belt dan menguap. Setelah ini ia harus mampir membeli oleh-oleh dulu. Sepertinya bakalan lebih malam sampai di rumah. Hoahm.
"Gue pesenin aja," lanjut Anja cepat. "Dimana tadi alamatnya?"
Ia pun menyebut alamat lengkap ruko Bang Fahri.
Lima detik kemudian Anja membuka seatbelt sambil berkata, "Udah dipesenin, tinggal nunggu di depan." Lalu membuka pintu dan berkata, "Nggak usah bayar, udah gue bayarin pakai gopay."
Ia hanya mengangguk-angguk. Lalu mengikuti langkah Anja keluar dari mobil.
"Aduh, Neng, Alhamdulillah bisa pulang ke rumah," ujar seorang wanita paruh baya antusias demi menyambut kepulangan Anja.
Membuatnya tertawa kecil, nih cewek beneran baru belajar udah berani ke jalan raya. Dasar keras kepala. Pantesan tadi sempat chaos di jalan.
"Apa lo ketawa!" bentak Anja ketika wanita paruh baya itu telah kembali masuk ke dalam rumah sambil membawa beberapa kantong plastik.
Ia hanya mencibir, "Nih kuncinya!" sambil mengangsurkan kunci ke tangan Anja. "Lain kali belajar nyetir dulu yang bener. Baru turun ke jalan."
Anja hanya mendelik kesal dan tak membalas ejekannya. Tanpa menunggu ucapan terima kasih, ia pun memutuskan untuk berjalan ke arah pintu gerbang karena siapa tahu ojeknya sudah datang. Namun sebelum ia sempat melangkah Anja lebih dulu bicara,
"Makasih udah nganterin gue," sambil mengangsurkan dua kantong plastik yang berukuran paling besar.
"Ini buat adik-adik lo. Anak-anak bilang, lo punya adik banyak. Sori kalau salah," lanjut Anja terburu-buru dan langsung membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah tanpa sekalipun menengok kearahnya.
***
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭