Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 ( Hari Pertama di Puncak)
Pagi itu, sinar matahari mulai menyelinap melalui jendela vila, memberikan sentuhan hangat pada udara dingin di puncak. Di ruang tamu, beberapa teman sudah sibuk bersiap-siap untuk berangkat menikmati suasana pagi. Sasa, Clara, Andin, Aldrin, Algar, dan yang lain tampak bersemangat, sibuk mengecek kamera, minuman, dan jaket tebal mereka.
Namun, jam sudah menunjukkan pukul 6.50, dan satu orang masih terlelap dengan nyenyaknya—Radit. Padahal, mereka semua telah sepakat untuk berangkat pukul 7 tepat. Saat semua orang mulai gerah dan khawatir akan kehilangan momen sunrise, tiba-tiba terdengar langkah kaki yang berat dari lorong. Radit akhirnya muncul dengan wajah polos, rambut acak-acakan, dan senyum lebar.
“Pagi, guys!” sapanya dengan nada riang, tanpa sedikit pun merasa bersalah karena terlambat bangun.
Clara langsung melotot padanya, kedua tangannya terlipat di dada, sementara yang lain menahan tawa. “Pagi, Radit? Ini sudah mau jam 7, kita hampir berangkat tanpa kamu!” omelnya.
Aldrin mengangguk setuju, “Astaga, Dit! Kita udah pada nunggu dari tadi. Janjinya bangun lebih pagi, bukan lebih siang!”
Radit hanya terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang masih sedikit kusut. “Yah, namanya juga semangat tidur, guys. Biar tenaga cukup buat naik puncak, kan?”
Sasa tertawa, mencoba menenangkan Clara dan Aldrin yang masih terlihat kesal. “Udah, udah. Untung dia akhirnya bangun juga. Kalau enggak, bisa kita tinggal beneran, nih.”
Awan yang dari tadi diam ikut berseru dari sofa, “Ayo, Radit, cepat sana mandi. Kita udah nggak sabar nih buat lihat pemandangan puncak!”
Radit mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah. “Oke, oke. Gue langsung mandi, kok. Tunggu aja lima menit lagi!”
Clara menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, “Lima menit itu janji, ya, Dit? Jangan sampai kita tunggu lagi setengah jam!”
Radit tertawa kecil lalu segera berlari ke kamar mandi. Sambil menunggu, teman-temannya hanya saling menatap dan tertawa, merasa lucu sekaligus gemas dengan kebiasaan Radit yang selalu bisa tidur lebih lama dari yang lain. Bagi mereka, meskipun hal kecil seperti ini terasa menyebalkan, tetap saja—tanpa Radit, mungkin pagi itu tak akan terasa sehangat dan menggelikan seperti sekarang.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya Radit muncul kembali, kali ini sudah berpakaian lengkap dengan jaket tebal dan syal yang melilit lehernya. Ia berjalan santai menuju teman-temannya yang sudah berkumpul di depan vila, seolah-olah lupa dengan janji "lima menit"-nya tadi.
Clara yang sudah mulai tak sabar langsung mengomel saat melihat Radit keluar. “Radit! Katanya lima menit? Ini udah lebih dari sepuluh menit, tahu!”
Radit hanya tersenyum kecil, menahan tawa, “Eh, ya maaf, Clar. Tadi dinginnya keterlaluan, jadi butuh waktu buat mandi cepet-cepet.”
Aldrin hanya geleng-geleng kepala sambil menepuk pundak Radit, “Ayo, ayo, udah siap semua kan? Jangan sampai kita kehilangan momen pagi di puncak cuma gara-gara satu orang ngulur waktu.”
Teman-teman lainnya hanya tertawa sambil menyuruh Radit untuk segera bergabung. Mereka mulai berjalan kaki menuju puncak, menyusuri jalan setapak yang masih basah dengan embun pagi. Udara di sekeliling mereka terasa sejuk, dengan aroma pinus yang menyegarkan. Percakapan santai dan tawa riang menemani langkah mereka menuju puncak, sementara kabut tipis masih menyelimuti pepohonan di sekitar.
Setelah sekitar sepuluh menit berjalan, mereka akhirnya sampai di titik puncak. Pemandangan yang terbentang di hadapan mereka seolah menyapu semua kelelahan. Langit biru cerah membentang luas, matahari mulai muncul dari balik gunung, memancarkan cahaya keemasan yang lembut. Awan-awan tampak melayang di bawah mereka, seakan mereka sedang berdiri di atas dunia.
“Wow…,” bisik Sasa dengan mata berbinar, “Ini indah banget.”
Andin mengangguk, matanya terpaku pada lanskap yang memukau. “Kayak lukisan ya, tapi ini nyata. Aku nggak pernah nyangka kalau pemandangannya bakal seindah ini.”
Algar tersenyum kecil, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. “Nah, makanya tadi aku bilang buat datang pagi-pagi. Pemandangan kayak gini susah ditemuin kalau kesiangan.”
Radit yang tadinya iseng justru tampak takjub kali ini. Ia menatap jauh ke cakrawala, lalu berkomentar, “Seumur hidupku, ini pertama kalinya aku lihat pemandangan seindah ini dari puncak. Worth it banget, guys.”
Mereka semua saling memandang, sejenak hening, terpesona oleh keindahan alam yang terbentang. Di sekeliling mereka hanya terdengar suara angin yang berembus lembut, disertai kicauan burung yang menyambut pagi. Suasana begitu damai, seakan dunia hanya milik mereka saat itu.
Gilang akhirnya membuka suara, “Kita duduk di sini aja dulu, nikmatin pemandangan ini sambil ngobrol. Sayang kalau langsung balik.”
Awan setuju dan langsung duduk di atas rumput, mengajak yang lain untuk ikut duduk di sekitarnya. “Ini momen yang nggak akan kita lupa, kan? Dari perjalanan yang penuh drama sampai akhirnya sampai di sini.”
Clara tertawa kecil dan mengangguk. “Aku nggak nyangka perjalanan ini bakal jadi momen yang sangat berkesan buat kita. Apalagi sama orang-orang kayak kalian.”
Mereka semua tertawa, menikmati momen kebersamaan dan keindahan alam di puncak itu. Sambil duduk-duduk di sana, mereka saling berbagi cerita, bercanda, dan sesekali hanya terdiam menikmati keindahan alam yang terbentang. Mereka tahu, pagi itu akan selalu menjadi kenangan yang tersimpan di hati mereka, momen di mana mereka merasa benar-benar hidup, berada di antara sahabat, di puncak dunia.
Selesai berfoto-foto, Sasa merasa lelah dan memutuskan untuk duduk di dekat Algar, yang tampak asyik bersandar pada batang pohon besar di bawah naungan dedaunan yang lebat. Di dekatnya, sebuah ayunan bergoyang perlahan, digerakkan oleh angin pagi yang sejuk. Pemandangan sekitar terlihat memukau, dengan kabut tipis yang mulai tersingkap oleh sinar matahari yang menembus pepohonan. Sementara itu, teman-teman mereka masih sibuk mencari sudut terbaik untuk berfoto, tertawa, dan bercanda di kejauhan.
Setelah beberapa saat menikmati suasana, Sasa akhirnya membuka suara. "Eh, Al, kenapa kamu nggak ikutan foto-foto lagi?" tanyanya, sedikit heran.
Algar menoleh padanya, tersenyum tipis. "Kan tadi udah foto bareng-bareng," jawabnya santai, seolah merasa cukup dengan momen yang sudah mereka abadikan sebelumnya.
Sasa mengerutkan alisnya, lalu terkekeh pelan. "Itu kan foto bareng, Al. Maksudku, foto sendiri, loh. Biar ada kenangan sendiri gitu," ujarnya sambil mengangguk ke arah teman-temannya yang masih sibuk mengambil foto dari segala sudut.
Algar mengangkat bahunya, matanya tetap tenang menatap pemandangan. "Ya buat apa, Sa? Udah cukup kok tadi. Lagian, aku lebih suka lihat kalian seneng foto-foto daripada aku yang ikut sibuk sendiri," katanya sambil tersenyum lembut ke arah Sasa.
Sasa terkekeh, merasa geli dengan jawaban Algar yang selalu sederhana namun menyentuh. "Ih, Al, kamu ini. Masak nggak pengen punya foto keren di puncak begini? Kan nanti bisa dipamerin," godanya sambil mendorong pelan bahu Algar.
Algar tertawa kecil, menggoyangkan kepala. "Kalau aku butuh foto kenangan, cukup liat kamu aja udah cukup, kok," jawabnya setengah bercanda, meski ada nada serius di matanya.
Sasa tertegun, lalu tertawa, merasa pipinya sedikit memerah. "Ih, gombal banget, sih!" katanya sambil memukul pelan lengan Algar. "Kamu tuh, selalu aja bisa bikin orang baper."
Algar hanya tersenyum, menatapnya sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah pemandangan luas di depan mereka. "Kadang, ada hal-hal yang lebih berharga buat disimpan di hati daripada di kamera," ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik, seolah hanya ingin Sasa yang mendengarnya.
Suasana seketika terasa hening namun nyaman. Angin bertiup lembut, membawa aroma dedaunan basah dan udara segar dari puncak. Sasa merapatkan jaketnya, lalu menyandarkan punggungnya ke batang pohon di samping Algar, merasakan ketenangan yang jarang ia temukan di tengah kebersamaan yang penuh makna.
Di kejauhan, teman-teman mereka masih tertawa dan saling memanggil, namun di sudut ini, Sasa dan Algar menikmati keheningan yang penuh arti.