Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Seribu Cara Pedekate
“Mood oke banget, nih,” celetuk Desta sambil duduk santai di sofa kantor Vincent, kakinya diangkat seenaknya.
Vincent cuma nyengir kecil, agak malu tapi gak bisa menyembunyikan rona senang di wajahnya. “Tadi malam gue ketemu Valeska,” katanya santai, meski jelas-jelas ada nada girang di ujung kalimatnya.
Desta spontan mendongak, matanya membelalak. “Yang bener lo? Ketemu gimana? Dimana?!”
“Di taman,” jawab Vincent pendek, tapi senyumnya masih merekah.
“Cerita, woy!” Desta maju sedikit, seperti anak kecil yang nungguin dongeng sebelum tidur.
Vincent menghela napas pendek, lalu mulai bercerita. “Gue juga gak nyangka sih. Lagi duduk-duduk aja di taman kota, tengah malam gitu. Eh, tiba-tiba dia muncul.”
“Kuntilanak bukan sih?” sela Desta cepat, nadanya setengah serius, setengah bercanda.
Vincent langsung melempar pulpen yang ada di mejanya ke arah Desta. “Becanda lo gak lucu, Njir!”
Desta ngakak, tidak merasa bersalah sama sekali. “Tapi serius, ngapain dia keluyuran tengah malam? Bukan jam biasa orang jalan-jalan, tau.”
“Katanya abis nganterin abangnya kerja shift malam,” jawab Vincent.
“Oh, pake motor?” Desta menebak sembarangan.
Vincent terdiam sejenak. Baru sekarang ia sadar, tadi malam Valeska cuma jalan kaki. Kalau nganter abang, kenapa gak naik motor atau kendaraan lain? Wait... Jangan-jangan yang tadi malam itu bukan Valeska... pikirnya mulai parno.
“WOY! Malah ngelamun!” Desta menjentikkan jari di depan wajah Vincent, membuatnya tersadar.
Vincent menghela napas dan menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan pikiran absurdnya. Tapi Desta sudah memicingkan mata curiga. “Mikirin apa lo? Nggak yakin ya kalau yang ketemu sama lo tadi malam itu bukan manusia?”
Vincent cuma mendesah. “Gue gak peduli dia kuntilanak atau bukan. Yang penting, gue dapat kontak WhatsApp-nya,” jawabnya sambil mengangkat ponsel.
Desta langsung bersorak. “Nah, gitu dong! Terus udah lo chat, belum?”
“Belum.” Jawaban Vincent datar.
“LOH? Terus ngapain lo minta kontaknya?” Desta membanting punggungnya ke sofa, jelas frustasi.
“Gue bingung mau chat dia pakai alasan apa,” jawab Vincent sambil mengangkat bahu, terlihat gak pede untuk ukuran cowok sekelas dirinya.
“Dia gak tau lo siapa, kan?”
“Kayaknya enggak.”
Desta mendecak. “Hmm ... seru juga nih. Jadi, waktu lo minta kontaknya, alasan lo apa?”
“Gue bilang kalau ada kerjaan, nanti gue hubungi dia,” jawab Vincent.
Desta menyandarkan dagu di tangannya, berlagak serius seperti detektif. “Gue ada ide!” katanya tiba-tiba, penuh semangat.
Vincent langsung memicingkan mata dan menaikkan satu alisnya, setengah skeptis. “Apa?”
“Bilang aja lo butuh seseorang buat merawat lo,” jawab Desta dengan percaya diri yang terlalu tinggi.
Vincent melongo. “Hah?!”
Desta langsung sadar kekonyolannya. “Maksud gue, apartemen lo, bukan lo! Ya kali, emangnya lo kuda perlu dirawat segala,” katanya sambil terbahak, puas dengan leluconnya sendiri.
Vincent mendengus sambil geleng-geleng kepala, tapi ia gak bisa sepenuhnya mengabaikan usulan Desta. “Jadi maksud lo gue pura-pura cari ART?”
“Bukan ART juga, Vin. Kesannya kasihan banget dia kalau lo bilang begitu,” jawab Desta santai. “Bilang aja lo butuh orang buat rapiin apartemen lo tiap weekend. Gak lebay, kan?”
Vincent memiringkan kepalanya, mempertimbangkan. “Tapi alasan kayak gitu rada maksa, gak sih?”
“Namanya juga biar dia ada kerjaan. Anggep aja lo lagi jadi pahlawan buat bantu dia keuangan,” Desta mengangkat bahu, cuek.
Vincent mengusap dagunya, berpikir. Di satu sisi, usulan Desta masuk akal. Di sisi lain, ia gak mau kelihatan terlalu nekat. Tapi, kalau ini satu-satunya cara buat deketin Valeska, maka ….
“Oke, gue coba,” katanya akhirnya, meski senyumnya agak ragu.
Desta mengangkat tangannya untuk tos. “Good! Kalau berhasil, traktir gue kopi, ya.”
“Lo numpang ide aja udah minta bayaran? Kayak kaum jelata aja lo.”
“Hahaha!!”
***
Valeska duduk di atas ranjang UKS, memainkan ujung blazer seragamnya sambil sesekali melirik keluar jendela. Di lapangan, teman-temannya sedang heboh dengan pelajaran olahraga. Tapi dia? No, thanks. Alasan klasik: nggak enak badan.
Di sampingnya, Vidya duduk memeluk botol air hangat di perut. Wajahnya lesu banget, kayak habis kalah taruhan.
“Bener-bener gue benci banget sama hari pertama haid,” keluh Vidya sambil menghela napas dramatis. Tangannya mengusap perut yang jelas lagi nggak kooperatif.
Valeska mendengus kecil. “Bukannya bagus kalau lo masih haid?” Terdengar nada sarkas di ucapan Valeska.
Vidya mengerling, senyum tipis muncul di wajahnya. “Artinya gue nggak hamil, kan?” sahutnya santai, tapi matanya jelas membaca pikiran Valeska.
“Menurut lo?” balas Valeska sambil memutar bola matanya. “Gue nggak mau punya ponakan secepat ini, ya.”
Vidya tertawa pelan, meski wajahnya masih menahan sakit. Sejak Valeska tahu hubungan dia sama Keenan, abang Valeska sendiri, sikap sahabatnya itu berubah 180 derajat.
“Keenan bukan tipe cowok yang pengen punya anak sekarang, kok,. Jadi, kita mainnya secara aman,” kata Vidya mencoba meredakan suasana.
“Artinya dia bukan tipe cowok yang baik,” potong Valeska. “Masa iya dia mau ‘itu’ sama lo, tapi nggak mau konsekuensinya? Lo nggak mikir, Vid?”
Vidya melirik Valeska dengan tatapan sabar, seperti menghadapi anak kecil yang lagi ngambek. “Lo tuh, ya. Keenan itu kakaklo. Nggak perlu sejudes ini juga sama dia.”
Valeska mendengus. “Justru karena dia kakak gue, makanya gue sebel banget. Kayak nggak ada cewek lain aja, dia harusnya mikir, dong.”
“Lagian kenapa sih lo mau-maunya sama Keenan?” lanjut Valeska, kali ini nadanya lebih pelan, kayak nyari jawaban yang nggak dia ngerti.
Vidya menunduk, senyum kecil muncul di wajahnya. “Karena gue nyaman sama dia, Val. Sesederhana itu.”
Valeska mendesah panjang. “Nyaman, nyaman. Sampai lo nyerahin sesuatu yang berharga dari diri lo buat dia. Itu nggak masuk akal sama sekali.”
“Karena cinta, Val,” imbuh Vidya, masih dengan suara tenang.
“Cinta bikin lo kehilangan akal, ya?” Valeska mengembuskan napas kasar. Matanya menatap Vidya seolah mencari secuil logika yang hilang.
“Lo kenapa sih semarah itu sama kita berdua?” tanya Vidya akhirnya, nadanya penasaran.
Valeska diam. Dia membuang pandangan, seolah dinding ruangan ini lebih menarik daripada tatapan Vidya.
“Gue dan kakak lo saling cinta. Kenapa lo segitu murkanya?” tanya Vidya lagi, kali ini lebih lembut
“Karena lo sahabat gue dan dia kakak gue,” jawab Valeska tegas. “Itu cukup bikin gue nggak terima, Vid.”
Vidya hanya menghela napas, menatap lantai sambil menggosok-gosok perutnya. “Jadi gue harus apa dong? Putus sama Keenan?”
“Gue nggak minta lo putus,” gumam Valeska pelan, tapi cukup bikin Vidya menoleh dengan alis terangkat.
Belum sempat Vidya membalas, ponsel Valeska tiba-tiba bergetar di saku roknya. Dia segera merogoh dan menatap layar. Nomor nggak dikenal. Hening beberapa detik, sebelum dia menggeser tombol hijau.
“Halo,” sapa Valeska, sedikit ragu.
“Halo, Val … ini gue, Vincent.” Suara di ujung sana terdengar santai, tapi cukup bikin jantung Valeska sedikit berdetak lebih cepat.
Valeska menegakkan punggungnya, senyum kecil muncul di wajahnya. Ini pasti soal uang. Vincent nggak mungkin nelpon tanpa alasan.
***